Maria Sara Hanifa
Untuk kesekian kali dalam bulan ini aku kembali terbangun pukul 04.00 WIB. Entah apa maksud malam menginterupsi tidurku. Atau apa maksud Tuhan yang menggerakkan langkahku untuk berjalan menuju balkon, memandang sendu titik-titik kecil yang menghiasi kelam, menggagalkan rasa kuat dan tegarku saja, tapi biarlah. Aku juga menyukai malam. Sempurna menutup apa yang terlihat. Sempurna membungkus apa yang biasa terpampang. Menjadi topeng paling keren dengan modus gemintang dan rembulannya. Aih, mungkin kali ini aku harus belajar banyak dari malam.
Mataku terarah pada bingkai foto yang sengaja kuletakkan di belakang vas bunga. Langkahku terpancing untuk mendekat, meraihnya, lantas mengusap benda itu. Apa yang sebenarnya sedang kulakukan sekarang? Kenapa rasanya sulit? Kenapa aku tidak sekuat yang kuinginkan? Kenapa aku tidak kunjung bisa membenci? Kenapa? Kenapa hatiku selalu sesak saat mengingat sosoknya?
Lagi-lagi air mataku ruah. Tak kuhapus, biarlah. Biarlah malam menjadi saksi betapa aku lemah dan tak berdaya. Biarlah malam menjadi saksi bahwa aku menangisi orang yang sama. Biarlah malam menutupi tiap sedihku.
Aku kembali meletakkan pigura. Kali ini kusembunyikan di laci nakas. Akan lebih baik sepertinya.
"Kalau hati Sara sempit, gelar sajadahnya. Berdoa sama yang menciptakan kamu. Allah punya banyak cara untuk angkat beban yang Sara punya." Perkataan yang pernah Ibu lontarkan terdengar jelas bagai rekaman audio yang kuputar ulang.
Kugelar sajadah. Setelah menyempurnakan wudhu, kuraih mukena kuning berbahan katun, lantas memulai takbir. Bahkan belum habis surah wajib yang kubaca, air mata ini terus meleleh. Kepalaku terasa berputar. Berat. Kakiku seakan juga lemas tak berdaya. Sesedih itukah? Kulanjutkan rakaat selanjutnya. Kali ini aku harus meminta tolong pada-Nya.
Ya Allah, kenapa harus sesakit ini? Bukankah Engkau menjamin kebahagiaan? Bukankah Engkau mengerti pasal hati? Lalu mengapa rasanya semua jadi rumit? Kenapa selalu saja Kauhujam hatiku dengan setumpuk rindu? Apa Kau tak lelah melihatku menangis? Tak lelahkah Kau melihatku merindu? Lakukan apa pun agar aku dapat melupakannya. Apa pun. Kumohon.
Kuseka air mata. Menarik dan melepaskan napas berkali-kali. Berusaha menenangkan diri, tapi sekarang kepala malah terasa berputar. Apa tekanan darahku sedang rendah? Ah biarlah. Aku juga sudah biasa sedikit pusing setelah menangis.
🌠
Aku mematut diri, berkali-kali menatap cermin. Mengeluhkan lingkar bawah mata yang sedikit menghitam serta kelopak yang sedikit bengkak. Aih, harus kututupi dengan apa? Malah untuk urusan make up, aku buta. Membedakan brush untuk blush on dan lainnya saja tidak tahu. Ah biarlah, aku bisa membuat alasan. Belajar. Ya, walaupun alasan itu tak mempan jika kutujukan pada Aya.
Saat turun dan menyambangi ruang makan, mataku membola sempurna. Lututku rasanya lemah tanpa daya. Aku mengucek mata beberapa kali hingga kurasakan sedikit perih. Itu Ayah? Hendak apa ia di sini? Berbicara hangat dengan Ibu dan Fairuz, menyelingi dengan tawa receh.
"Eh, ini dia anak gadis Ayah. Sini, sarapan. Udah lama enggak sarapan bareng," ajaknya. Aku mencebik. Mataku memanas. Sungguh aku rindu hal ini, sarapan di satu meja yang sama, tapi aku hanya bisa melengos kuat. Menghalau perasaan sendu yang muncul.
"Oh iya, malam ini ayah kamu nginap di sini, ya. Katanya kangen Sara sama Fairuz," tutur Ibu lembut sambil mengolesi rotinya dengan selai stroberi.
Apa ini? Kenapa harus menginap segala?
"Sara pergi dulu," pamitku lalu menyalami Ibu. Wanita itu tampak kebingungan.
"Loh? Enggak sarapan dulu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Merengkuh Liku
Teen Fiction(COMPLETE) "Aya ... gue ... boleh nangis?" "Boleh, Ra. Selalu boleh." Aya beringsut dari tempatnya berdiri, memangkas jarak lebih dekat. "Gue boleh marah?" Aya kembali menangis dan mengangguk. "Boleh, Ra." "Gue boleh lepas topeng gue?" Aya terdi...