Pulang

147 22 34
                                    

Maria Sara Hanifa

Ibu menarik napas dalam, menatapku lurus.

"Ayah benci ya, sama Sara? Fairuz tau, tapi Sara enggak tau. Atau apa Ayah sengaja nutupin ini supaya Sara benci aja sama Ayah? Supaya Ayah bisa jauh-jauh?" Tidak ada lagi Sara yang memiliki logika. Tidak salah, bukan, jika aku sedikit bersifat kekanakan hari ini?

Segala yang telah terjadi hari ini, membuat lelah. Hati dan raga.

Yang kudapatkan adalah gelengan dari Ibu. Seberkas senyuman terbit di sana, lalu jemari lentik itu beralih mengusap kepalaku. Lembut, pelan.

"Ayah enggak mau Sara kepikiran banyak hal. Karena Ayah bilang, Sara punya jiwa yang lebih dominan untuk memberontak, enggak kayak Fairuz."

"Tapi, Bu! Dengan begini juga, Ayah udah buat Sara berpikir yang enggak seharusnya Sara pikir! Sara malah berusaha membenci Ayah karena itu. Sara memelihara hati supaya enggak menerima Ayah lagi. Tapi?! Sara ... bisa-bisanya sedurhaka ini," ucapku lirih. Sesuatu di dalam kepalaku berdentum hebat.

Mengapa tidak sejak awal diluruskan? Bukankah itu akan jauh lebih baik?

"Ayah bilang, lebih baik Sara membenci Ayah, daripada membenci Ibu, Sayang."

"Atas dasar apa aku harus membenci Ibu?"

"Karena sejak awal, Ibu yang nyuruh Ayah menikahi Tante Alya. Tadi, sudah Ibu bilang, 'kan?"

Ah, benar. Aku akan tetap berujung menyalahkan orang lain, apa pun kondisinya. Jika tidak menyalahkan Ayah dengan keadaannya, aku akan otomatis menyalahkan Ibu dengan keputusannya.


Akan tetapi, bukankah keduanya telah salah terlalu lama menyimpan rahasia?

"Ada banyak hal yang Ayah pahami tentang Sara dan Fairuz. Bukan perihal siapa yang paling disayang, tapi bagaimana caranya Ayah melindungi kita supaya tetap satu dan membiarkan dirinya aja yang terbakar. Bukankah memang begitu tugasnya sebagai kepala keluarga? Setidaknya, itulah yang ayah pikirkan."

Aku menggigit bibir bawah, sebisa mungkin tidak lagi menitikkan air mata. Memahami pemikiran Ayah selalu rumit. Bijak, selalu memikirkan banyak hal sebelum mengatakan apa pun.

Bukankah dia hebat? Lantas mengapa aku meragukannya? Bahkan saat Ibu menasihati atau Fairuz berceloteh sebagai peringatan, aku masih saja keras kepala.


Langkah yang selama ini kutempuh, salahkah? Mengapa begini akhirnya? Jadi sebenarnya, apa yang membutakanku?

"Em ... Sara, dipanggil Ayah. Cepat ya, Nak." Aku tersentak ketika sosok Tante Alya menghampiri. Jelas di dua sisi pipinya ada jejak air mata. Kelopak mata yang menebal dan memerah, serta pucuk hidung dengan warna yang sama.

Entahlah harus merasa kasihan atau bersalah. Setelah mendengar cerita Ibu, kusadari bahwa Tante Alya adalah sosok yang paling tersakiti sejak lama dan aku membuatnya tambah menderita. Ayah, adalah milik kami semua. Aku, Fairuz, Ibu, dan Tante Alya.

Aku bangkit, menghapus bekas bulir bening di pipi, memaksa berdiri tegak walaupun kepala rasanya seakan hampir meledak. Bahkan dari hidung, dapat kucium sedikit aroma amis.

Jangan mimisan sekarang, batinku berharap. Mendongakkan kepala sebisa mungkin dengan waktu sesingkat-singkatnya, berusaha menahan laju darah yang mungkin akan mengalir, juga menahan agar dua wanita itu tidak menaruh kecurigaan apa pun.

Meski sedikit bingung karena raut cemas Tante Alya dan terkesan tergesa-gesa saat menyuruhku masuk, tapi tidak terlalu kupedulikan. Namun, betapa netraku terpaku menyadari napas Ayah yang sudah satu-satu. Lelehan di sudut matanya, membuatku tak menahan diri untuk segera menghampiri.

"Sesak, Yah? Tante Alya gimana, sih?! Sebentar, Sara panggil dokter."

"Nak." Panggilan itu lirih, tapi lengannya yang terbalut beberapa selang itu berhasil menahan tanganku. "Jangan panggil," ujarnya lirih. Saat itu pula, air mataku jatuh setetes. Memberanikan diri, kutatap dalam-dalam iris yang kelam miliknya, kudekatkan kepalaku dengannya.

Merengkuh Liku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang