Aadidev Valdezi
"Dev, gue akan cerita. Tentang kenapa ini semua bisa terjadi sama gue. Gue yang lari dan gue yang berpura-pura."
Sontak ucapannya menyentakku. Mataku teralihkan pada netranya yang mulai tampak berembun. Sebenarnya hendak kucegah saja gadis aneh ini bercerita. Untuk apa menceritakannya padaku? Apa karena aku mulai sok bijak menasihatinya? Ini sama sekali bukan urusanku, aku juga tidak penasaran. Sedikit pun tidak ingin tahu dan kemungkinan besar tidak ada hubungannya denganku, tetapi gadis itu hanya terseyum getir, membuat hatiku meringis. Senyum sok kuat seperti itu justru semakin sakit jika ditunjukkan.
Maria meraih tisu miliknya, menyeka sisa-sisa darah yang mulai surut dari hidung. Ia menatap lurus langit kekuningan yang sekejap lagi akan beralih warna. Berkali-kali menghela napas berat.
"Gue benci bokap gue," ucapnya datar.
Ya, terus? Kenapa memangnya jika membenci ayahnya? Itu sama sekali bukan urusanku. Apa dia korban broken home? Ah, itu juga sudah biasa. Kasus seperti itu seakan sudah seperti sampah yang bergerilya di Sungai Ciliwung. Bahkan sinetron pun semakin gencar saja menghidangkan pembahasan yang agaknya menyedihkan juga menyesakkan walau tetap tinggi peminat itu—itu juga bukan urusanku.
Mungkin aku hanya harus diam merespons perkataannya. Bisa jadi masalahnya sudah terlalu berat, makanya hendak dibagi dan diceritakan padaku. Bukankah setiap wanita begitu? Rapuh?
"Lo pernah tanya ke gue kenapa gue menghindar dari geografi, 'kan? Lo masih mau tau jawabannya?" tanya Maria, masih setia menatap lapisan langit.
Aku ingin menggeleng. Kalau tahu jawabannya, apa untungnya bagiku? Atau, apa untungnya baginya? Namun, kemudian aku teringat kejadian di perpustakaan tempo hari. Bagaimana ia bisa begitu menguasai geografi. Menyebutkan halaman tanpa membuka bukunya, juga tentang ia yang tiba-tiba menangis. Pada akhirnya aku mengangguk.
"Gue pernah begitu cinta dengan geografi, kayak gue yang terlalu cinta ke bokap. Bokap gue yang ngenalin pelajaran itu. Jadi, apa pun yang berkaitan dengan geografi, identik dengan bokap. Ketika gue mutusin buat benci salah satunya, artinya gue juga harus membenci satu lainnya. Karena satu tanpa pasangannya itu menyakitkan," ceritanya.
Aku masih diam. Belum mendapatkan inti permasalahannya.
"Lo pasti bertanya-tanya, 'kan? Ada apa dengan bokap gue? Kenapa bisa segitu berpengaruhnya dia dalam hidup gue?"
Sebenarnya aku tidak terlalu penasaran, tetapi aku mengangguk saja.
Gadis itu menyeka hidungnya. Sedikit isak lolos dari bibir mungilnya.
"Demi apa pun gue sayang banget sama bokap! Demi apa pun gue cinta banget. Tapi, kenapa dia harus buat gue akhirnya benci?! Kenapa?! Salah gue apa?!"
Tetes bening meluncur bebas di pipinya. Sedu sedannya semakin jelas. Emosinya tampak begitu pekat, kesedihannya begitu terpampang jelas. Aku seakan melihat seorang Maria sebagai wanita rapuh tanpa pegangan saat ini. Bukan manusia aneh, apalagi alien. Bahkan ia terlihat jauh lebih lemah sekarang.
Aku masih bergeming. Menunggunya melanjutkan kembali penjelasan. Jujur saja aku bingung harus merespons apa. Sejak dulu aku tidak suka terlalu berdekatan dengan perempuan dikarenakan makhluk-makhluk yang mengagungkan penampilan fisik itu terlihat aneh. Agresif, manja, terkadang lebay dan alay. Jangan salahkan aku yang bingung tentang cara menghibur wanita yang tengah berduka. Apalagi ini Maria, dia bukan wanita biasa. Wajahnya saja ada dua—dalam artian positif.
"Bokap selingkuh, sama teman semasa kecilnya. Parahnya, tiga minggu setelah pulih, dia menikah lagi. Tanpa menceraikan nyokap, dan memilih tinggal dengan wanita itu. Pergi dan enggak mikirin perasaan kami."
KAMU SEDANG MEMBACA
Merengkuh Liku
Teen Fiction(COMPLETE) "Aya ... gue ... boleh nangis?" "Boleh, Ra. Selalu boleh." Aya beringsut dari tempatnya berdiri, memangkas jarak lebih dekat. "Gue boleh marah?" Aya kembali menangis dan mengangguk. "Boleh, Ra." "Gue boleh lepas topeng gue?" Aya terdi...