Aadidev Valdezi
Setelah Aya keluar dari ruangan, kamar itu hening. Aku sibuk memprediksi bagaimana perasaan gadis itu kala mengetahui dirinya sakit, padahal ayahnya juga sedang drop di rumah sakit yang sama, sedangkan Maria masih dengan seragam karatenya menatap kosong televisi yang menayangkan acara gosip. Sudah pasti dia sedih, bukan? Walau wajahnya selalu dibuat seakan tak apa-apa.Ia selalu baik dalam mengenakan topeng. Sudah bertahan hingga sejauh ini, itu merupakan pencapaian besar, tapi aku percaya, Maria tetaplah manusia. Menahan pilu terlalu lama akan membuatnya sakit.
Aku berusaha meneliti wajahnya yang dibingkai hijab. Pucat, seperti biasanya. Menatap lurus nan kosong. Duduknya yang bersandar mungkin sedikit bisa menopang tekanan dalam hati. Dia tampak begitu tenang. Ah, apa Maria tengah menyimpan sesuatu? Sesak, sakit, marah, benci yang menjadi satu hingga bibirnya dibungkam oleh anggapan bahwa perempuan harus kuat?
"Gue terlihat lemah dan menyedihkan, ya?" Ucapannya membuatku tergagap.
"E ... enggak, kok."
Maria tertawa sumbang. "Enggak usah takut sama gue, Dev. Gue enggak mungkin nonjok lo kalau tangan gue diinfus gini."
Ruangan kembali didominasi oleh keheningan. Baik aku maupun Maria tidak ada yang berniat mengakhiri sunyi dengan membuka suara. Aku dengan simpatiku, Maria dengan pandangan kosongnya. Entahlah apa yang dipikirkan, tapi sesekali ia menghela napas panjang nan berat. Ah, ada satu hal yang harus kutanyakan padanya.
"Gue enggak mau berobat,” seloroh Maria tiba-tiba.
"Kenapa?" Maria menundukkan kepala.
"Entahlah. Beberapa pasien leukimia yang gue dengar atau gue baca, bahkan enggak dinyatakan sembuh dengan menjalani pengobatan. Terapi akan membuat tampang mereka menyedihkan. Lemah, botak, mual-mual. Untuk apa gue ngejalani terapi kalau nyatanya obat-obatan kimia itu membunuh gue perlahan?"Aku menelan saliva, tidak habis pikir dengan asumsi Maria. Apa dia pesimis akan kesembuhannya? Atau sudah pasrah, lelah dengan segala beban hayatnya? Atau dia memang menginginkan hengkang dari kehidupan?
"Gue enggak mau orang tua gue tau. Gue enggak mau dikasihani dan tampak lemah. Bahkan kalau udah enggak pusing lagi, gue mau langsung pulang aja nanti malam," ujarnya lirih.
Aku menggeram. "Lo enggak sadar atau gimana, sih? Keadaan lo yang sekarang, menahan beban dan selalu berusaha terlihat kuat, itu selalu kelihatan menyakitkan. Lo pikir keluarga lo akan senang kalau lo nyembunyiin sakit lo terus berpura-pura kuat seakan enggak terjadi apa-apa? Terus, apa yang lo butuhin? Pengakuan bahwa lo cewek tangguh?"Entah mendapat dorongan kekuatan dari mana, aku berhasil menyuarakan apa yang membuatku berpikir panjang. Tidak ada lagi rasa takut untuk membantah Maria saat ini. Dia sungguh egois untuk dirinya sendiri. Jika memang ia memiliki tekanan batin yang begitu kuat lantaran sang ayah memutuskan menikah lagi dengan ibu tirinya, mengapa Maria harus tetap menyembunyikan kondisinya pada ibu kandungnya? Aku melihat cinta dari matanya untuk ayahnya, tapi mengapa ia bersikeras untuk membenci? Dia menyusahkan diri sendiri, padahal dari yang kulihat Tante Alya merupakan wanita baik. Ada gurat khawatir saat tadi melihat Maria berlari meninggalkan mereka.
Sungguh, memahami dirinya begitu sulit. Lantas, apa yang dia dapat? Kebahagiaan? Kelapangan hati? Senyum sejati? Kalau begitu, bagaimana bisa ia malah rebah dan tak berdaya begini? Bukankah artinya ia sedang memupuk dampak buruk? Lantas untuk apa dipertahankan?"Gue sama sekali enggak butuh nasihat lo kali ini, Dev. Lo mau mandang gue gimana juga, terserah lo. Gue berdiri di atas pendirian gue, bagaimana bisa gue goyah karena omongan lo?"
Demi apa, mengapa cewek ini berubah menjadi lebih keras?
"Gue butuh pengakuan, itu bener. Karena itu, gue bertahan. Gue selalu pengen bikin perhitungan, membuat Ayah gue menyesal dengan pilihannya dan kembali ke kami. Untuk itu gue selalu berusaha membenci, memberontak. Terus kalau mereka tau gue sakit, tembok pertahanan gue bisa runtuh karena rasa cemas mereka dan gue enggak mau itu terjadi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Merengkuh Liku
Teen Fiction(COMPLETE) "Aya ... gue ... boleh nangis?" "Boleh, Ra. Selalu boleh." Aya beringsut dari tempatnya berdiri, memangkas jarak lebih dekat. "Gue boleh marah?" Aya kembali menangis dan mengangguk. "Boleh, Ra." "Gue boleh lepas topeng gue?" Aya terdi...