Analisis

117 21 22
                                    

Aadidev Valdezi

Aku terdiam membeku ketika menyadari darah dari hidungnya tak kunjung berhenti, tambah lagi dirinya yang tak sadarkan diri. Kemudian, pikiranku kini bercabang, hendak membawa Maria ke rumah sakit, atau menyusul ayahnya? Ah, bodoh sekali, padahal sama-sama di rumah sakit.

Sebentar, apa harus memanggilkan orang lain untuk membawanya atau kularikan seorang diri? Melirik sekitar, tidak banyak manusia berlalu-lalang. Jika tidak salah mendengar dari MC, sekarang sedang jadwal bertanding kata. Pantas saja sorak-sorai dari dalam gedung bisa terdengar keluar.

Oke, sepertinya memang harus aku yang membawanya.

Aku menghidupkan ponsel, bertanya pada Aya di rumah sakit mana ayahnya Maria dirawat. Graha Bunda. Seingatku, tidak jauh dari sini. Perlahan, meski kakiku bergetar, kuangkat tubuh Maria, dalam hati memohon maaf karena telah menyentuhnya tanpa izin. Namun, pandanganku dikejutkan oleh bajunya yang tersingkap sedikit di bagian lengan. Beberapa memar muncul di sana.

Apa gadis ini terlalu memaksakan diri untuk latihan hingga pembuluh darahnya pecah akibat beberapa benturan? Jika iya, lantas apa untungnya? Ia menyakiti diri sendiri. Beberapa orang yang berjalan sempat menawarkan bantuan sebab melihat keadaan Maria yang tidak sadarkan diri, tapi dengan halus kutolak, aku membawa mobil.

Kuletakkan Maria di jok belakang, pikiran-pikiran negatif terus datang menghantui. Bukan kali ini saja ia mimisan. Bahkan beberapa kali juga ia tampak tidak sehat. Memar, mimisan. Otakku mengarah pada satu kesimpulan. Namun, sesaat kemudian aku menggeleng, menepis segala asumsi buruk. Tidak, tidak mungkin. Setidaknya, hingga ada diagnosis dari dokter.


🌠

Dengan sigap, perawat mendorong brankar menuju IGD, membawa Maria masuk tanpa mengizinkanku ikut ke dalam. Segala spekulasi buruk berusaha kuhindari, meski makin ditepis, makin datang bukti-bukti kecil yang mengarahkan pada satu analisis.

Dev, berhentilah berpikir saat ini! Maria mungkin hanya kelelahan, bukan?

Pura-pura kuat ternyata memakan energi yang begitu besar.

Nada dering ponsel dari aku, bertepatan dengan seorang wanita berjas putih keluar dari IGD.

"Gimana keadaannya, Dokter?"

"Sudah sadar dan bisa dijenguk. Adik ini keluarganya?"

"Eng ...."

"Boleh hubungi orang tua kalian? Saya harus bicara serius tentang penyakit gadis yang di dalam situ."

Perasaanku tidak enak. Harus kujawab apa? Aku tidak menyimpan nomor keluarganya dan ayahnya juga tengah drop.

"Memangnya dia kenapa, Dok?"

Sosok berjas putih itu menghela napas lalu menatap mataku. "Apa dia pernah menjalani check up sebelumnya?"

Mana kutahu.

"Saya enggak bisa menyimpulkan apa pun sebelum melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Bisakah menghubungi orang tua kalian untuk meminta izin tindak lanjuti pasien?"

"Saya coba hubungi dulu, Dok. Terima kasih." Dokter wanita itu mengangguk, kemudian berlalu dari hadapanku.

Mengingat tidak siapa pun dari keluarganya yang kusimpan kontaknya, aku memutuskan untuk menghubungi Aya.

Merengkuh Liku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang