Keanehannya

289 86 156
                                    

Aadidev Valdezi

"Permisi. Gue mau duduk di sini. Terima atau enggak, bukan urusan gue, karena ini kantin umum." Aku tersentak, lantas kualihkan pandangan dari kertas rangkuman sistem koordinasi tubuh.

Alien itu. Sedang apa dia di sini?

Terserah padanya sajalah. Aku tidak peduli.

Beberapa detik setelah kuputuskan untuk tidak mengacuhkannya, atensiku spontan terpaku padanya. Lihatlah ia yang melahap bakso bak orang kelaparan yang berhari-hari tidak makan barang sepeser pun. Lihat saja hidung dan pipinya, memerah sempurna. Kemudian pandangan kualihkan pada kuah baksonya. Pantas saja. Sepertinya alien ini memang sehari-harinya hobi ngemil cabai.

Tak berminat lama memerhatikannya, aku kembali menekuni berlembar-lembar kertas rangkuman materi. Saat tanganku hendak meraih jus jeruk, minuman itu disambar duluan oleh gadis di hadapanku ini.

"Hei," seruku tertahan. Cewek itu tersedak.

"Hah, sori, sori, hah, tersedak. Tadi lupa ambil minum. Entar gue ganti," ucapnya di sela mulut yang komat-kamit menahan pedas. Ia kembali meneguk rakus minumanku. Aku menatapnya jerih, pasti rasanya sakit tersedak oleh cabai.

"Enggak apa-apa. Lanjut aja."

"Huh, beneran, nih? Hah, makasih," balasnya masih dengan napasnya yang terengah menahan pedas.

Aku menatapnya heran. Apa ia makan begitu rakus untuk mengisi kembali energinya setelah tertidur di kelas tadi?

"Gimana geografi? Udah lo pelajari semuanya?" tanya alien itu tiba-tiba. Mangkuk baksonya tahu-tahu sudah tandas saja.

"Belum semua."

"Oh. Ya sudah. Mau nggak mau, lo harus semangat. Yuk balik ke kelas." Aku terperangah mendengar ajakannya. Apa yang merasuki dirinya? Satu hal lagi, jalan bersama alien ini menuju kelas? Mimpi buruk.

"Duluan aja," selorohku. Menolak halus ajakannya.

"POKOKNYA. LO. HARUS. BARENG. GUE," paksanya penuh penekanan.

Aku mendecih, "Kenapa pula lo yang sibuk? Suka-suka gu—"

"Gue nggak suka orang yang banyak omong," potongnya.

"Lo bisa jalan sendiri." Aku tetap kekeh menolak. Alien itu memutar bola matanya.

"Masa gue harus maksa lo, sih, Dev? Mau gue sentil atau gue jitak? Itu sih, yang paling ringan."

Aku terhenyak, enak saja hendak menyerangku. Dia pikir siapa dirinya hingga aku harus menurutinya?

"Ntar gue nyusul," elakku. Cewek itu mencebik.

"LO. DALAM. BAHAYA kalau enggak ikut bareng gue," kata gadis itu dengan percaya dirinya. Aku hampir saja tergelak jika tidak ingat dengan siapa aku berhadapan sekarang. Apa ia baru saja belajar seni acting? Bahaya apa? Dikiranya sekolah seramai ini hanya sebuah gang kecil yang dihuni para preman kondang?

"Lo bercanda," komentarku datar sembari menahan tawa. Cewek itu kemudian menatap sangsi diriku dari ujung kaki hingga ujung kepala.

"Lo ringkih. Gue nggak bercanda."

What the—apa ia baru saja menghinaku? Ringkih? Hei, berat badanku 55 kg, berat badan yang normal untuk lelaki seumuranku. Bahkan ia tampak lebih kecil. Kepalanya hanya sebatas bahuku, termasuk tinggi karena tinggi badanku 174 cm. Tetap saja ia tampak lebih ringkih dariku.

"Gimana?" Ia menagih jawaban. Cewek gila.

"Gue enggak ringkih," sanggahku.

"Terserah lo, deh. Tapi gue benar-benar lagi nggak bercanda. Lo pernah belajar ilmu beladiri? Judo, taekwondo, silat, karate, atau apa, gitu?"

Merengkuh Liku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang