Maria Sara Hanifa
Napasku tersenggal ketika mata mulai terbuka. Aku sedikit terengah. Kuusap wajah yang terasa kebas, lalu melirik jam dinding. Pukul 03.45 WIB. Pantas saja alaram belum ribut. Aku beranjak turun dari ranjang, berjalan mengarah menuju balkon.
Dulu aku paling senang menatap bintang bersama Ayah. Dulu, aku selalu suka mengukir gambar dengan asal menarik garis dari satu titik ke titik lain dari beribu gugusan walau akhirnya tidak mengerti gambarnya, lain dengan Ayah yang memang memahami rasi bintang. Sabuk Orion, Betelgeus, Al-Debaran, Pleiades.
Dulu bahkan Ayah sempat mengajarkan tentang Rasi Waluku. Ya, rasi yang digunakan orang zaman dahulu untuk menunjukkan musim. Jika mengahadap ke timur, pertanda musim penghujan dan arah sebaliknya menujukkan musim kemarau. Dulu, aku juga sangat bersemangat menghitung jumlah tiga warna bintang yang berbeda. Merah, kuning, biru. Selalu menyenangkan walau terkesan absurd.
Ah, kenapa aku malah suka dengan kata dulu?
"Karena masa lalu itu adalah sejarah, Sara. Meskipun kamu kurang menyukainya, kamu enggak pantas buat melupakannya. Karena sejarah yang membuat kita ada."
Perkataan Ibu terngiang di telinga. Senyumnya dengan elusan lembut di rambut saat kutanyakan perihal masa lalu seakan terbayang di pelupukku.
Tidak. Meski tak pantas membenci, aku tetap akan menjadi orang pertama yang membenci. Hei, aku memiliki hak pasti.
"Enggak ada yang berhak dibenci, Sayang. Enggak ada yang perlu disalahkan. Tugas kita bukan untuk membenci, tapi mencoba untuk toleransi. Itu saja."
"Tapi, Bu, Sara punya hak membenci."
"Orang yang Sara benci, punyakah haknya untuk dibenci? Bukannya ayah sudah sering mengingatkanmu supaya peka dan peduli? Bukannya ayah sudah memperingatkan kamu untuk enggak jadi anak perempuan yang egois, hm?"
"Bu, kalau Sara-"
"Sara punya hak, Sayang. Fine, tapi, mau, enggak, Sara tau solusi terbaik daripada membenci?"
"Apa?"
"Berdamai."
Ah! Percakapanku dengan Ibu setahun lalu terngiang lagi. Hendak menolak pun, aku sepakat dengan pendapat Ibu, tapi apa salahnya kali ini tetap keras kepala? Toh, tidak akan ada yang terkena dampaknya. Bukankah aku lebih berhak atas diriku sendiri?
Aku menyeka kasar air mata yang meleleh. Nyatanya, setiap berusaha membenci, menutup mata, dan menulikan telinga, aku tetap menyayanginya dan itu tidak berubah hingga saat ini. Apa usahaku untuk terlihat membenci adalah suatu dusta?
Sayup-sayup tapi pasti, aku mendengar lantun panggilan azan. Terima kasih untuk azan yang mengingatkan untuk membuyarkan kenangan. Kuputuskan untuk segera berlalu, membiarkan bintang perlahan pudar dan langit perlahan ceria.
🌠
Aku memarkirkan matic kesayangan. Sekolah masih tampak sepi. Aku berjalan gontai, menyusuri koridor dan kelas demi kelas. Tak ada yang menarik. Belum terlalu banyak siswa yang berlalu-lalang. Masih pukul 06.15 WIB. Tidak ada siswa terlalu rajin hanya untuk cepat menghuni kelas kecuali aku-khusus pagi ini.
"Maria?"
Ralat. Sapaan barusan berasal dari Dev. Aku mengangguk membalas sapaannya, hanya sebagai formalitas. Kemudian kulangkahkan kaki menuju kursi tanpa memedulikannya.
Rasanya mataku sangat berat pagi ini, padahal semalam tidak tidur larut. Ya, tidak tidur larut, tetapi bangun terlalu pagi. Mumpung bel masih cukup lama berdering, kuputuskan saja untuk tidur. Dua puluh menit kurasa cukup untuk mengisi kembali energiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merengkuh Liku
Jugendliteratur(COMPLETE) "Aya ... gue ... boleh nangis?" "Boleh, Ra. Selalu boleh." Aya beringsut dari tempatnya berdiri, memangkas jarak lebih dekat. "Gue boleh marah?" Aya kembali menangis dan mengangguk. "Boleh, Ra." "Gue boleh lepas topeng gue?" Aya terdi...