Aadidev Valdezi
Benar kata Maria, belajar geografi memang sedikit lebih mudah, hanya saja butuh ketelitian yang akurat jika menyangkut topografi dan peta. Lebih banyak menghafal dibandingkan menghitung. Agaknya sekarang aku malah lebih condong ke geografi dibandingkan biologi.
Seperti malam ini, kebingungan hendak mengerjakan latihan biologi atau geografi. Dua pelajaran ini sama asyiknya. Di satu sisi, ilmu hayati ini adalah pelajaran yang terbiasa kunikmati, berbeda dengan geografi yang harus sedikit dipaksa untuk kuterima.
Entah dorongan dari mana, tanganku terjulur untuk mengambil soal geografi, kembali teringat saat siang tadi sosok gadis yang kuat itu seketika terdiam saat aku sedikit menyentil jiwanya. Ah, entahlah. Padahal, yang ingin kutanyakan adalah perihal lain. Hanya saja, melihatnya terlalu memaksakan diri membuatku tidak bisa menahan apa yang harusnya kusampaikan.
Jika memang pergolakan batinnya sekuat itu, bukankah ia masih punya kesempatan untuk memperbaiki keadaan? Oh, ayolah. Bukankah ayahnya masih hidup? Melihat dari satu sudut pandang akan sangat mungkin mengundang kesalahpahaman. Mengapa Maria masih saja egois?
Mungkin memang benar, aku memiliki insting yang kuat. Maria bukanlah gadis biasa. Dia lain daripada yang lain, bahkan cenderung lebih disegani daripada orang menyegani bad boy di sekolah ini. Namun, dari sisi lain, aku seperti dapat melihat dari sudutnya yang rapuh.
Untuk apa memaksakan diri latihan begitu keras? Melupakan geografi mati-matian padahal jika disuruh menjelaskan, gadis itu akan menuturkan apa yang diketahuinya secara gamblang dan detail. Ia tidak baik-baik saja. Ingat, aku juga pernah merasa ada di posisinya. Setidaknya, walau tidak mengerti, aku bisa lebih berempati pada dirinya.
Tok-tok-tok!
"Masuk."
Wanita paruh baya yang melahirkanku itu berderap masuk, mendekat. Aku membereskan kertas yang berhamburan, menumpuknya jadi satu.
"Gimana belajar geografinya? Ada kendala? Perlu Mama bantu?"
Kubawa arah pandang menuju tumpukan kertas, memikirkan bagian mana yang mungkin sulit kupahami. Tak sengaja atensiku menangkap buku tebal panduan belajar geografi, lengkap dengan rumus dan soal untuk latihan. Rasanya, akan lebih mudah belajar seorang diri daripada merepotkan orang lain, baik itu Mama atau Maria.
Kurasa, gadis itu juga mungkin sedang berada di bawah tekanan. Mungkin beberapa kalimat yang kulontarkan membekas di hatinya. Hei, jangan salahkan aku, ucapan itu terlontar secara spontan. Habisnya, aku seakan melihatnya seperti sedang memaksakan diri.
"Dev?"
"Ah, iya, Ma?"
Mama tersenyum simpul, membuatku terpaksa ikut nyengir untuk sekadar merespons.
"Melamun aja dari tadi. Mikirin apa, hm?"
Mikirin Maria yang aneh. Ah, tidak. Tadi aku sedang memikirkan apakah aku masih butuh bantuan mama untuk diajarkan geografi atau tidak. Tentang Maria, itu hanya lewat sekilas saja.
"Hm ... rasanya Dev udah banyak paham, Ma. Mama enggak perlu susah-susah ngajarin Dev," balasku.
"Bukan lagi mikirin Maria, 'kan?"
Hah?
"Enggaklah. Ngapain mikirin dia?" Aku berkelit, memalingkan wajah spontan. Bagaimana bisa Mama begitu cepat menebak? Aih, apa memang batinku begitu erat terhubung dengannya?
"Hm ... kalau Mama lihat sih, Maria itu perempuan baik, kok, Dev."
"Iya, memang. Yang bilang jahat siapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Merengkuh Liku
Teen Fiction(COMPLETE) "Aya ... gue ... boleh nangis?" "Boleh, Ra. Selalu boleh." Aya beringsut dari tempatnya berdiri, memangkas jarak lebih dekat. "Gue boleh marah?" Aya kembali menangis dan mengangguk. "Boleh, Ra." "Gue boleh lepas topeng gue?" Aya terdi...