Pahit

154 24 17
                                    

Maria Sara Hanifa

Ibu menggandeng tanganku dengan sedikit memaksa. Belum lagi merasakan sensasi perih akibat tamparannya, kini wanita paruh baya yang melahirkanku itu memasang wajah sangar, merasa tindakannya belum cukup untuk memperparah luka di hati putrinya ini.

Aku diam saja, menurut. Bahkan air mata tak lagi sudi keluar, memang lelah karena telah dipendam lama, tetapi akan lebih menyakitkan jika kukeluarkan dan berakhir pada penghakiman sepihak. Sara yang salah, Sara yang kelewatan.

Berhenti di kursi tunggu, Ibu memerintahkanku untuk duduk. Wajah itu masih sama tegangnya, sesekali menghela napas kasar. Entah mengapa, kini kepalaku terasa sangat pusing, seperti vertigo. Mengadu? Untuk apa? Semua rasa sakitku memang lebih baik kutahan dan kusembunyikan. Tidak ada yang harus tahu, mereka tidak akan peduli.

"Ibu enggak pernah ngajarin Sara untuk bicara kasar sama orang tua, apalagi sama ibu tirimu sendiri."

Ngilu rasanya. Lagi-lagi tak ada yang mengerti posisiku. Sungguh, aku tidak meminta pembelaan‒karena meski telah berbicara tidak baik, aku tetap mengakui bahwa itu salah‒aku hanya ingin orang lain berada di posisi netral. Tidak perlu memahamiku, pun tak usah berpihak pada lawanku. Ibu tiri tadi katanya? Ah, iya. Dia istri Ayah.

"Udah lama kamu mendendam seperti ini, Sara?"

Aku diam saja. Bukankah dari tindakanku sudah begitu jelas? Bukankah reaksi tubuhku sudah menunjukkan segalanya? Bukankah setiap kata sarkas itu sudah menjawab tiap pertanyaan? Lantas, untuk apa pura-pura bertanya jika sejak beberapa tahun lalu pun aku telah menjelaskan lewat tindakanku?

Ibu menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan. Sesaat kemudian, dapat kudengar sebuah isakan lirih lolos dari bibirnya. Oh, Ya Allah. Memang hatiku sangat butuh ditolong, tapi jika malaikatku menangis, bagaimana caranya hatiku tidak roboh? Aku sibuk menahan diri agar tidak mengurai air mata, sedangkan Ibu sibuk mengusap hidung dengan tisu yang sudah berapa kali berganti. Saling diam, berteman sunyi.

"Tadi Ibu nampar terlalu kuat, ya, Sayang? Masih sakit?" tanya Ibu setelah menuntaskan tangisnya. Aku menahan napas, menggigit bibir bawah kuat, lantas kemudian mengangguk.

Kuat sekali, sampai membuat kepala terasa seperti berputar hebat. Lebih dari itu, membuat hatiku patah.

"Sini, coba Ibu lihat." Dengan jemarinya, Ibu mengangkat lembut daguku, sedikit menyentuh bagian yang tadi disapa terlalu keras dengan jemari yang sama.
Meringis, bukan karena rasa sakit, tapi karena netraku tak sengaja berserobok dengan atensi yang tampak penuh luka tersebut. Egoku mati-matian menahan agar tidak meluruhkan air mata sekarang. Aku sungguh bukan gadis lemah.

"Maafin Ibu ya, Sayang? I-ibu‒"

"Jangan minta maaf, Sara yang salah."

"Ibu yang salah, Sayang."

"Bukan. Ibu bener, Ibu enggak pernah ngajarin Sara buat bicara kasar."

"Ibu, yang salah karena enggak bisa ngertiin perasaan Sara."

Luruh, tak lagi dapat tertahan. Ini sudah hampir sore. Entah sudah berapa banyak bulir bening dari mata yang terkuras hari ini.

Jika bisa kugambarkan, hatiku telah patah sejak lama. Segala isak yang lolos, segala sesak yang mencuat, adalah pertanda bahwa mungkin secubit harapan itu seakan semakin lama semakin memudar.

Aku kehilangan segalanya. Ayah, Ibu yang dulunya sering mendengarkan keluh kesah, dan Fairuz yang mulai sering memojokkan, menghakimi seakan akulah pihak yang paling bersalah di sini.

"Ibu minta maaf," lirihnya lagi. Aku, masih dengan air mata yang turun dengan tempo teratur bergeming, tidak memberikan respons.

Ya, lidahku kelu.

"Maaf, karena sejak saat itu Ibu menyembunyikan banyak hal, sampai anak gadis Ibu menyimpan dan memupuk dendam."

Merengkuh Liku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang