Bolehkah?

238 25 29
                                    

Maria Sara Hanifa

Aku bertanya-tanya mengapa penyakit ini hinggap di tubuhku. Sejauh yang kutahu, leukemia biasa terjadi pada anak-anak dan orang dewasa, sedangkan usiaku tidak berada dalam kedua rentang tersebut.

Kata Ibu, itu kemungkinan besar disebabkan oleh faktor genetik. Baru kutahu ternyata almarhumah Oma menderita penyakit yang sama sebelum meninggal saat melahirkan Ibu.

Hari-hariku terasa menyakitkan.
Menjalani kemoterapi dan menerima segala respons tubuh ini benar-benar tidak tertahankan. Apa kata mereka? Agar aku lebih cepat pulih? Untuk membunuh sel kanker? Lalu mengapa lambungku mengeluarkan isinya, atau rambut yang ikut luruh bersama bakteri jahat? Katanya aku akan sembuh, tapi rasanya seperti dibunuh perlahan.

Sudah hampir tiga minggu dan hidup makin terasa suram. Aku dengan segala penyesalan bahkan tak lagi sanggup mengeluarkan air mata. Kering kerontang. Hatiku kebas, kepalaku terasa berputar tiap menitnya, dan perutku senantiasa bergejolak tiap saat.

Aku membenci hidup. Aku benci tatapan orang-orang yang memandang kasihan. Aku benci perhatian mereka yang berlebihan seakan meyakini bahwa aku tak memiliki daya. Aku benci Ibu dan Tante Alya yang saban hari diam-diam menangis ketika kupejamkan mata.

Aku benci Aya yang setiap tiga hari mendatangiku, bolos pelajaran setelah istirahat siang karena cemas berlebihan.

Aku benci Fairuz yang sudah layaknya pengawal pribadi, menawarkan diri bak tukang jasa antar. Seakan mendeklarasikan bahwa diriku sungguh tak mampu untuk sekadar menggerakkan lengan.

Aku benci ketika Dev datang menjenguk dan hanya diam mematung tanpa mengeluarkan suara apa pun. Aku benci tatapannya yang seakan mengatakan, bukannya udah gue bilang untuk memaafkan masa lalu lo?

Aku benci ketika ibunya Dev datang menjenguk lalu membisikkan kata, "Kamu akan selalu baik-baik saja, Sayang. Tuhan pasti sangat menyayangimu."

Bisakah kalian jelaskan satu hal saja padaku, apa yang baik-baik saja? Dunia kini seperti tengah mengutuk, melemparkan tawa, terbahak tak henti sebab aku telah menuai karma setelah sekian tahun menyakiti hati Ayah.
Dunia seakan tengah memandangku rendah sebab akhirnya merasakan pilu yang amat sangat. Hujan bahkan enggan untuk hinggap. Langit mana mungkin bersedih. Mentari bersinar begitu gembira. Memang aku sedang dihakimi bentala.
Bukankah begitu?

Aku membuka mata setelah bosan diam-diam mendengar isak tangis Tante Alya. Ya, beliaulah yang setiap pagi menemaniku. Ibu berangkat kerja dan Fairuz sekolah.

"Sara? Mau apa, Nak? Haus? Mau minum?" Secepat kilat Tante Alya menyeka jejak air mata, lantas menukarnya dengan senyum indah.

Aku menggeleng.

"Makan? Ada apel, Tante potong-potong mau, ya?"

Lagi-lagi aku memberi respons yang sama.

"Mau ke kamar mandi? Tante bantuin, yuk."

Untuk yang ketiga kalinya, aku menggeleng.

"Kamu bermimpi buruk, hm?" Telapak tangan Tante Alya yang sedikit lebih kasar dari Ibu mengelus puncak kepalaku.
Aku tidak perlu mimpi untuk merasakan sesuatu nyata yang begitu buruk menimpaku. Bahkan hari-hari yang kujalani terasa lebih menyeramkan daripada bunga tidur mana pun.

"Tante ...." Belum sempat melanjutkan, tenggorokanku sudah tercekat. Seakan wilayah gurun, leherku rasanya kering kerontang. Mungkin membutuhkan oase, tapi aku belum menginginkannya.

"Iya?"

Berdeham sebentar, tidak lagi kuhiraukan kerongkongan yang sudah terasa seperti ditusuk kaktus.

Merengkuh Liku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang