Prinsip Karateka

122 27 26
                                    

Maria Sara Hanifa

Segala sesuatu pasti selalu menyisipkan luka, mengapa? Berhenti menyebutku gadis kurang bersyukur sebelum kalian menempati posisi ini.

Aku, berusaha tetap memberi senyuman pada pertemuan yang ada, namun apa yang kudapat? Ah, tenang, aku masih bisa menyeringai dan berucap sarkas. Namun, jangan menganggap sayapku tidak patah.

Beberapa peristiwa membuat dada terasa sempit, hingga sulit untuk sekadar menempatkan pikiran positif, benar begitu, bukan? Sesak, sulit bernapas, namun bulir dari mata terus mendobrak untuk keluar. Apakah tidak ada cara lain menumpahkan segala lara tanpa menangis? Menangis, bukankah hanya untuk seorang pengecut?

Sudah pukul 01.40 WIB dini hari dan aku masih betah menangisi kejadian kemarin. Merutuk diri karena menyanggupi ajakan Fairuz untuk turun menemui mereka. Namun bagaimana akhirnya? Justru yang kudapatkan adalah rasa sakit baru.

Apa memang Tuhan tahu, aku tak mampu membenci hingga Ia menitipkan lebih banyak rasa sakit agar aku mampu melanjutkan misi.

Membenci.

Ah! Tolonglah, aku juga anak gadisnya! Seberapa pun memaksakan diri untuk menghalau kasih, aku tetap tidak mampu! Lantas untuk apa Kau sesapi lagi rasa benci dalam hati?! Aku ... ingin menyerah saja, Tuhan.

Terduduk di balkon, tidak mempedulikan semilir yang menyapa tengkuk, memainkan anak rambut. Berharap kejadian dan ucapan yang tadi hanyalah mimpi begitu mustahil. Menekuk lutut, melipat tangan di atasnya kemudian menenggelamkan kepala di sana. Lelah, kepalaku terasa berat setelah dua jam menangisi hal yang sama.

Patah-patah, aku memutuskan bangkit, tidak peduli lagi dengan lutut yang terus bergetar, turut serta menahan segala beban di pundak. Berjalan sempoyongan menuju kasur, kemudian mendudukkan bokong di sana. Mungkin aku harus istirahat. Kepalaku sakit, hatiku lelah, untuk apa masih setia meratapi?

Melirik foundation yang ada di atas meja sekilas. Entah sejak kapan aku membelinya. Yang pasti, sejak kantung mata menghitam akibat jarang tidur dan menangis, aku mulai menggunakannya. Sepertinya esok harus kembali kupakai. Sedihku, sesakku, hanya aku yang boleh tahu.

Kali ini, aku hanya berharap satu hal. Tidak bertemu ayah lagi dalam mimpi.

🌠

Azan subuh terdengar sayup-sayup memasuki relung telinga. Karena kebiasaan ibu yang selalu membangunkan untuk melaksanakan solat ini, mau tak mau, aku terbiasa. Kuabaikan rasa sakit di kepala, berjalan gontai menuju kamar mandi.

Ah, ternyata tidur pun tidak memberi sedikit keringanan padaku. Bahu ini masih berat, mata masih panas, serta godam seperti masih setia menghantam kepala.

Menggelar sajadah, melaksanakan takbir, rukuk serta sujud. Membiarkan bulir air dari mata itu mengalir tanpa hambatan. Mengadu dengan segala sedu sedan pada Sang Maha Segala. Merintih meminta agar hati tetap dikuatkan. Juga satu hal, agar selalu menjaga orang-orang yang kukasihi. Termasuk Ayah.

Aku akan sabar menanti akhir dari perjalanan doa menemui Sang Pencipta. Menunggu hingga akhirnya kuketahui, pinta itu dikabulkan atau diganti dengan penjelasan yang lebih baik. Semoga saja, aku masih mampu terlihat lebih kuat di hadapan orang lain.

Melipat sajadah serta mukena, aku berderap menuju cermin, menatap pantulan diri dengan segala kekurangan yang ada di sana. Sungguh demi apa pun, Maria Sara Hanifa terlihat dengan segala titik lemahnya. Ah, aku yakin bahwa aku lelah dengan kelemahan ini, namun untuk membenci diri sendiri ... apakah mungkin?

Merengkuh Liku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang