10 • Bumi Dirgantara

222 36 2
                                    

SEBAGIAN CHAPTER DIPRIVATE, FOLLOW PENULIS DAHULU UNTUK MEMBACA

***

Danau besar di sebelah kastil Xalazar terlihat tenang. Pantulan sinar senja seperti menampilkan kristal-kristal bening yang mengagumkan. Beberapa burung pelikan terlihat beterbangan di atas danau, sayapnya berkelepak ribut.

Di tepi danau, Logan berdiri. Matanya menerawang menatap riak air. Desiran angin yang lembut menggoyangkan jubah hitamnya pelan.

'Kota Talos hangus terbakar.'

'Dan temanmu tidak diketahui keberadaannya.'

Logan mendongak, napasnya terasa tercekat. Dia mencegah air mata jatuh.

"Menangisi sesuatu, Logan?"

Seruan itu membuat Logan tersentak, dia mengusap pipi dan menarik napas dalam. Profesor Alpha berjalan mendekat. Logan membuang muka dan kembali menatap danau besar.

"Tidak ada yang menyuruhmu untuk tidak menangis, Nak." Profesor Alpha mengusap janggut putihnya. "Setiap air mata berhak untuk siapa ia jatuh."

Logan menggigit bibir bawahnya. Air matanya tidak sejalan dengan otaknya. Laki-laki itu terisak pelan.

"Maaf, Logan... aku tetap tidak bisa mengizinkanmu untuk meninggalkan Xalazar. Pasukan Pangeran Kegelapan masih..."

"KENAPA HARUS AKU?!" Logan berteriak, emosinya mengambil alih. "KENAPA HARUS AKU YANG DIINGINKAN PANGERAN KEGELAPAN? KENAPA GRUS JUGA YANG DIINCAR? KENAPA?!"

Profesor Alpha terdiam. Ikut merasa tersakiti melihat kisah pilu yang dialami Logan di usianya yang dini. Pasti berat bagi bahu ringkih itu untuk menopangnya seorang diri.

"Logan, inilah yang disebut takdir. Kau tidak bisa menghentikannya, bahkan untuk sekadar melewatinya. Tidak menginginkannya, juga bukan berarti kau tidak harus menghadapinya." Profesor Alpha berusaha menjelaskan. "Inilah takdirmu, Logan. Kau harus menghadapi takdirmu."

Logan mendengus, mengusap pipinya kasar. Berbalik dan berlalu pergi meninggalkan Profesor Alpha.

Profesor Alpha menghela napas, tidak mengejar Logan seperti permintaan hatinya. "Biarkan." Dia berkata pelan. "Kelak dia akan mengerti."

***

Selina terlihat berlari memasuki ruang pertemuan yang diisi beberapa siswa Xalazar yang menghabiskan waktu istirahat. Perempuan berkucir satu itu menarik perhatian karena derapnya menggema ke seluruh sudut ruangan. Dia duduk di samping si Kembar Aldebaran, napasnya tersengal.

Hadar mengerutkan kening. "Hei, hei... ada apa denganmu, Selina? Kamu sedang tidak dikejar tikus besar milik Profesor Ladon, bukan?"

Selina mendelik, jangan tikus besar Profesor Ladon, tolong. Perempuan itu menormalkan napasnya sejenak. "Logan..."

Demi mendengar nama itu, Octan yang duduknya tidak jauh dari mereka, memasang kuping.

"Ada apa dengan Logan?" Hera bertanya setelah menutup buku tebal pinjamannya dari perpustakaan.

Selina menarik napas sejenak. "Kota tempat Logan tinggal hangus terbakar." Katanya pelan, namun Octan masih bisa mendengarnya. "Dan itu karena pasukan Pangeran Kegelapan."

Hadar dan Hera terdiam. Suasana di ruang pertemuan lengang.

"Aku rasa Pangeran Kegelapan sudah kembali." Itu kalimat pertama Hadar setelah lama terdiam. "Dan hanya soal waktu dia dan pasukannya akan ke kastil Xalazar dan mencari Logan."

BATU BULAN [Logan Dirgantara] (SELESAI ✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang