Basagita : Jadi, kita ini apa?

1.4K 349 91
                                    

Waktu yang begitu panjang terasa sangat singkat bagi Gita. Sudah hampir berjalan empat bulan Ia mengenal Mario Daniswara. Tidak hanya menegenal Mario dengan baik, tetapi Ia juga mengenal seluk beluk keluarganya. Ia bahkan beberapa kali pergi menghabiskan hari minggu bersama Katie, sepupu Mario hanya sekedar makan es krim atau nyalon bareng. Sudah sedekat itu. Mario juga beberapa kali tidak sungkan mengunjungi rumah Gita dan menghabiskan waktu bersama kedua orang tua Gita meski hanya di rumah dan tidak kemana-mana.

Gita merasa senang namun takut dalam waktu yang bersamaan. Ia senang, karena pada akhirnya Ia mempunyai seseorang yang bersedia membagi pikiran dan perhatian untuknya. Ia juga merasa tidak keberatan untuk membagi pikiran serta perhatiannya untuk Mario. Mama dan Papa juga merasa senang, seperti mendapatkan anak laki-laki yang selama ini mereka nantikan. Apalagi Papa, bisa ngajakin Mario yang juga sama-sama memiliki hobi bersepeda. Kalau Gita sih jangan ditanya, buat beberes rumah aja males apalagi sepedaan, sampai Merapi pula. Thank you, next. Kalau Papa punya teman sepedaan yang baru, Mama beda lagi. Beliau senang karena pada akhirnya Gita memiliki seorang calon pendamping. Ya, Mama Gita se-visioner itu. Sampai sudah menganggap Mario sebagai calon pendamping hidup Gita. Padahal, hubungan Gita dan Mario saja seperti paskibraka yang jalan di tempat tanpa tahu kapan harus maju jalan. 

"Udah siap?" Mario membuka pintu ruangan Gita dan mendapati gadis itu masih menatap ke luar ke arah jendela. "Gita?"

Perempuan yang dipanggil itu menoleh kaget. "Kok udah di sini aja?"

"Ngelamun?"

Gita tersenyum sekilas, kemudian menggeleng. "Udah mau pulang?"
Mario mengangguk. Sudah beberapa minggu ini Gita jarang membawa kendaraan pribadi. Seperti hari ini, mereka janji akan mengunjungi salah satu tempat makan dengan pemandangan yang cantik di Abhaya Giri. Ia setuju untuk dijemput dan diantar Mario, biar lebih efektif kata pemuda itu. Dari pada harus bawa mobil sendiri-sendiri.

Gita membereskan tas kerjanya, ia menenteng satu tas berisi tempat makan yang sudah kosong dan satunya berisi laptop. Mario mengulurkan tangannya, merebut dengan lembut kedua tas yang berada di tangan Gita. Tanpa perlawanan Gita menyerahkan tas tersebut. Dulu pernah Gita ngeyel tidak mau di bawakan. Lagi pula Gita masih sehat, tangannya juga masih kuat. Buat apa sih harus dibawain segala, memangnya Gita sudah jompo? Tetapi Mario memiliki pemikiran yang lain.

'Dari dulu Ibu bilang supaya membiasakan membatu orang lain yang kerepotan. Jadi udah kebiasaan begini, ke Mbak Sabina juga begitu. Jadi kalau pergi sama aku dan tangan kamu penuh bawa barang, jangan kaget kalau aku bantuin'

Ucapnya saat itu. Perasaan Gita menghangat. Bukan karena Ia perempuan, tetapi murni memang Mario memiliki sikap yang ringan tangan dan senang membantu. Pernah suatu ketika saat tangan Pak Zaenal penuh membawa barang, tanpa diminta Mario akan langsung menawarkan diri. Dari sana Gita sadar bahwa Mario memang sangat baik. Bukan hanya kepada dirinya tetap juga kepada orang lain. Sikap baik pemuda itu pun bukan hanya Ia gunakam untuk menarik perhatian, tetapi memang pada dasarnya Ia sudah sangat baik. Jujur Gita sempat baper karena perlakuan Mario yang super baik, Ia mengira jika Mario mencari perhatian dirinya dengan berusaha tampil sebaik mungkin dan semenyenangkan mungkin. Tetapi gadis itu salah. Mario memang sangat baik tidak hanya kepada dirinya, tidak hanya pada perempuan lain, bahkan kepada laki-laki pun Ia sangat baik, dan itu justru membuat Gita semakin tertarik padanya.

Gawat!!

Gita berhenti memutar kunci dan berdiri mematung. Tanpa sadar Ia sudah mengiyakan jika dirinya memang tertarik pada Mario.

"Git?" Mario menyentuh bahu Gita. "Ada apa?"

Gita kembali meneruskan untuk mengunci pintu ruangannya. Ia berbalik dan tepat menatap manik mata Mario. Cantik. Desisnya tanpa sengaja.

Gita's Little SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang