Basagita : Dari Nol ya Mas!

1.3K 338 126
                                    

Mario tidak dapat membendung senyum lebarnya. Padahal hari ini hujan deras. Mobilnya baru saja dicuci kemarin sore. Ia juga tidak membawa payung. Sialnya lagi hari ini Ia kehabisan tempat parkir di bawah kanopi. Selamat tinggal kemeja bersih, dan selamat datang kemeja penuh lumpur. Setelah ini pasti Ibu akan mengomel karena Mario abai terhadap hal-hal kecil, seperti membawa payung saat musim hujan begini. Tetapi semua itu tidak masalah bagi Mario. Mau ada badai katrina atau merapi erupsi lagi pun tidak akan mengurangi rasa bahagianya.

Eh sebentar, jangan deh. Merapi jangan erupsi lagi. Nanti bikin susah semua orang. Apalagi petani yang sudah mengharapkan panen raya, harus termiskinkan akibat bencana alam. Apapun itu, asalkan jangan erupsi merapi, tidak akan mengurangi rasa bahagianya. Bahkan kalau semisal ban mobilnya pun harus kempes tiba-tiba juga Mario akan menghadapainya dengan senyuman lebar khas miliknya.

Pokoknya hari ini Ia sangat senang. Apalagi, hari ini Ia akan pulang bersama Gita setelah sekian lama gadis itu menghindarinya.

"Gita!" Mario memanggil sosok Gita yang baru saja mengunci ruang kerjanya.

Gita yang merasa terpanggil lalu menoleh dan mendapati Mario sudah duduk di bangku panjang tepat depan ruang kerjanya. Ini bukanlah pertemuan pertama atau kedua. Sejak Gita menemuinya di ruang kerja Mario, dan pada akhirnya mereka pergi makan siang bersama ini sudah kali kelima mereka berbicara dan menjalin komunikasi secara normal selayaknya rekan kerja dan sahabat baik.

"Jadi pulang bareng kan?" Mario berjalan mendekat ke arah Gita. Ia mengulurkan tangannya dan mengambil shopping bag dengan logo Superindo tercetak tebal di salah satu sisi. "Banyak banget. Bawa apaan sih ini?"

"Revisian skripsi" sahut Gita. "Berat, Yo" Gita hendak meraih kembali shopping bag miliknya namun buru-buru ditepis oleh Mario.

"Makanya. Karena berat biar aku aja yang bawa" Mario justru melenggang meninggalkan Gita yang masih berdiri di depan pintu. Gadis itu tidak bereaksi, justru termenung diam, sehingga Mario harus berbalik dan memanggilnya. "Gita? Nggak mau pulang?"

Gita tersentak kemudian tersenyum singkat sebelum berjalan cepat untuk menyejajari posisi Mario.

Sepanjang perjalanan mereka hanya diam dan sesekali Mario bersenandung dengan ceria. Mario adalah cerminan matahari, hangat dan berisik. Matahari juga tidak pernah lelah untuk menyinari dan memberikan kehangatan, pun begitu dengan sikap Mario untuk Gita. Ia sudah sangat siap jika Mario akan menghindarinya, membencinya, atau justru marah padanya. Gita siap menerima konsekuensi tersebut, karena memang Ia sudah bersalah.

Tidak ada seorangpun yang ingin diperlakukan seperti orang asing secara tiba-tiba. Didiamkan, tidak diberikan penjelasan, diperlakukan seperti tidak pernah kenal sebelumnya. Jika Gita berada dalam posisi Mario, Ia juga akan marah dan merasa sangat sakit hati dengan perlakuan seperti itu. Namun Mario berbeda. Ia bahkan tidak memburu alasan Gita mendiamkannya. Ia hanya bertanya satu kali, setelah itu tidak pernah bertanya lagi seolah-olah tidak pernah terjadi. Sikapnya pun kembali seperti Mario sediakala yang ceria, yang berisik, yang perhatian, namun tetap saja ada sesuatu hal yang mengganjal.

"Gita? Ngelamun lagi? Nggak mau masuk?"

Gita kembali tersentak kaget. Kini mereka sudah berada di parkiran dan bahkan Mario sudah duduk di balik kemudi mobilnya. Gita buru-buru membuka pintu penumpang tepat disebelah kursi pengemudi. Ia tersenyum kemudian tertawa sedikit untuk meleburkan rasa canggung.

"Mikirin apaan?" Tanya Mario. Tangannya sibuk mengandalikan kemudi dan perseneling mobil untuk mengeluarkannya dari kantong parkir.

"Kamu"

Saking kagetnya, Mario nyaris menabrak mobil Mercedes Benz keluaran terbaru milik Pak Zaenal kalau Ia tidak sigap memindahkan perseneling ke dalam kondisi normal. Mobilnya menderu-deru karena Mario masih menempelkan telapak kakinya diatas pedal gas.

Gita's Little SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang