Mario : Buih Buih Ombak

1.2K 276 196
                                    

Dimohon untuk meninggalkan komentar yang sopan ya teman-teman dan adik adik sekalian. Aku tahu kalian kesal, tapi berkomentarlah yang baik.

***

Hari ini keluarga besar Daniswara sedang berduka. Ibu, Nenek, Uyut Uti tercinta berpulang menghadap Sang Khaliq. Seluruh keluarga besar Daniswara menghantarkan ke peristirahatan terakhir, tak terkecuali Mario. Ia sudah mendapat puluhan pesan duka cita. Bahkan karangan bunga dari Universitasnya tempat Ia mengajar juga tempat Ayahnya mengajar sudah berjejer rapi di kediaman Kakek dan Nenek Daniswara.

Namun begitu, Ia tidak sepenuhnya bersedih. Ia justru lega, karena Eyang Uti sudah tidak sakit lagi. Beliau sudah menderita stroke sejak lama, ditambah dengan infeksi paru dan berujung pnemonia yang akhir-akhir ini menganggu jalan napas beliau. Selain lega karena pada akhirnya Eyang Uti sudah tidak sakit lagi, Ia juga sedikit lega karena Gita. Perempuan itu pada akhirnya dapat sedikit melunak. Ah bukan melunak. Mungkin lebih tepatnya sedikit membuka diri dan membuka hati untuknya? Entahlah, Mario tidak begitu mengerti. Tetapi hal tersebut awal yang baik untuknya bukan? Untuk hubungannya dengan Gita.

"Nggak nyusulin Gita ke Bandung? Jagad juga ke Bandung loh nganterin Sasi" suara Ibu mengagetkan Mario yang duduk bersila diantara Daniswara lainnya.

Tadi subuh Jagad memang mampir, Ia mengenakan kemeja hitam dan peci hitam. Memeluk Ibu Mario serta menyalami sepupu-sepupu yang lain. Ia tidak lama. Karena setelahnya harus segera berangkat ke Bandung, supaya tidak terjebak macet dan tidak terlambat datang pada acara lamaran Brian dan Kalila.

"Udah jam segini. Acaranya pasti udah selesai" Ia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul dua sore. "Aku udah bilang kok buat ketemuan di Jogja aja"

"Sayang ya Eyang belum sempet kenal" ucap Ibu Mario sembari mengusap rambut putra bungsunya. "Eyang pasti senang kalau ketemu Gita. Anaknya ceria, supel, dan menyenangkan. Ibu saja suka"

Mario hanya mengangguk. Gita memang terlihat ceria. Ia seperti matahari yang bersinar terang saat musim dingin. Berusaha memberikan kehangatan bagi orang lain. Tapi ternyata Ia lupa untuk memberikan kehangatan pada dirinya. Pada hatinya. Ia terlalu memaksakan dirinya pada sesuatu yang mustahil untuk terjadi. Seperti mengharapkan Dito untuk kembali.

Mario kesal?

Tentu saja. Ia marah. Ia kecewa. Pacar mana yang tidak cemburu saat mengetahui perempuan yang Ia sayangi masih mengharapkan kembalinya kekasih masa lalu. Atau bahkan Dito tidak pantas disebut sebagai kekasih, karena memang mereka tidak pernah menjalin hubungan resmi sebagai pasangan kekasih.

Tetapi Mario juga bodoh. Ia masih berharap dan masih mencoba masuk ke dalam hidup Gita. Ia hanya memikirkan dirinya sendiri dan perasaannya. Ia lupa jika Gita pun memiliki perasaan yang nyata. Rasa cinta yang mungkin sama besar untuknya juga untuk Dito. Atau justru sejak awal tidak pernah ada cinta untuknya.

Ah sial!

Memikirkannya membuat Mario kesal.

Jika seandainya Ia lebih dulu bertemu dengan Gita. Mungkin Ia tidak harus berbagi kepingan masa lalu dengan Dito di dalam hidup Gita. Ia tidak perlu meragukan cinta yang Gita nyatakan. Atau Ia juga tidak perlu ragu akan perhatian yang Gita berikan. Karena hati Gita sepenuhnya menjadi miliknya. Tak pernah terbagi. Hanya untuknya.

Entah sejak kapan Ia berubah menjadi serakah. Menjadi penuh amarah ketika mendengar nama Dito disebut. 

"Adek"

Mario menoleh. Mbak Sabina sudah duduk di sebelahnya. Memeluknya dari samping dan mencium tengkuknya. Di sisi yang lain Mas Jay juga ikutan duduk. Menepuk punggungnya pelan tanpa berujar apa-apa.

Gita's Little SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang