Strong✓

7.8K 622 22
                                    

"Fano kamu pulang aja Papa udah baikan sekarang." Ucap Adam karena tidak tega melihat Fano yang sudah beberapa hari tidak istirahat kantung mata menghiasi mata anaknya itu.

"Gak apa apa Pa. lagian Fano nggak ada latihan basket jadi cuman nganggur aja."

"Papa makan dulu ya?" tanya Fano kemudian sambil mengambil bubur yang ia beli tadi pagi.

"Maafin Papa kamu jadi repot begini."

"Nggak apa apa kenapa Papa sering minta maaf begini si? jadi mirip Radit."Fano menundukan wajahnya merindukan saudaranya itu yang hilang semenjak Turnament Basket ia jadi merasa bersalah. Bagaimana jika Radit marah karena ucapan Adam? Tidak seharusnya Fano membawa Adam menemui Radit.

"Kira kira Radit sekarang dimana ya? udah 4 hari dia gak pulang." Fano tersenyum kecut ada raut sedih dimimik mukanya.

"Benar juga kemana anak itu?" batin Adam.

Saat hendak menyuapi Adam seorang suster masuk kedalam ruangan.

"Dengan saudara Adam?" kata suster tersebut.

"Iya benar."

"Apa saya bisa bertemu dengan keluarganya?"

"Iya saya sendiri." Fano bangun dari duduknya dan menghampiri suster tersebut yang berdiri didepan pintu.

"Mari ikuti saya."

****

"Ginjal Ayah kamu sudah kronis,dia butuh donor secepatnya saya harap kamu mau menandatangani surat ini untuk persetujuan operasi ayah kamu."

"Ginjal? kronis? maksud Dokter?"

"Kamu tidak tahu? Ayah kamu sering bolak balik kerumah sakit untuk cuci darah tapi mungkin karena faktor umur ginjal nya harus diganti untuk mengurangi resiko." terang Dokter tersebut, kaki Fano menjadi lemas seketika.

"Ya Tuhan apalagi ini?"

Setelah Fano keluar dari ruangan Dokter tersebut. Fano melangkahkan kakinya menuju taman tempat dulu dia dan Radit duduk bersama.
Rasanya duduk dikursi tempat dia dan Radit pernah duduk berdampingan membuatnya merasa tenang karena dia merasa Radit juga disebelahnya.

"Lo kemana si Dit? gue butuh Lo...gue gak bisa nanggung semua ini sendiri Lo kemana si? kenapa Lo sering hilang gini?" dada Fano sangat sesak cairan bening keluar dari manik matanya ia tak bisa membendung sedihnya lagi.

******


"Saya kan sudah siuman kenapa masih harus memakai alat bantu pernafasan begini?" tanya Radit pada Wijaya.

"Ini kan perintah Pandu."

"Saya nggak suka Rumah Sakit." entah sejak kapan dua orang ini menjadi sangat akrab mereka sering menghabiskan waktu berdua. berbicara, menonton tv, ataupun saling memakan buah meskipun hanya Wijaya yang makan.

"Saya juga. Karena Rumah Sakit tempat istri saya meninggal."

"Ah! maaf." Radit menatap Wijaya dengan raut bersalah.

"Kenapa minta maaf? kamu nggak salah...." Wijaya menjeda kalimatnya lalu mengamati Radit lekat lekat.

"Pandu benar ya? kalau dilihat lebih teliti kamu mirip Dimas."

"Dimas?"

"Iya anak om dia hilang 10 tahun yang lalu karena kecelakaan sekarang mungkin dia sudah sebesar kamu bertahun tahun kami mencari Dimas tapi selalu nihil hasilnya kami sangat merindukan dia."

Radit tersenyum ada perasaan hangat dihatinya.

"Om itu ayah yang baik ya?" Puji Radit pada Wijaya membuat Wijaya sedikit terkekeh.

"Meskipun tidak sebaik Ayah Radit."ucap Radit setelahnya diselingi senyum jahil.

"He? tentu saja lebih penyayang dan baik om."

"Nggak! nggak! lebih baik Ayah Radit."

"Om!"

"Ayah Radit!"

"Iya iya cukup Pak Presiden aja lah."

"Hahahaha...om kalau misal Radit udah boleh keluar sama Dokter Pandu ayo kita jalan jalan tinggal 1 hari lagi ulang tahun Ayah Radit."

"Kamu ngajak om?"

"Iya. Nanti om bantuin Radit buat milih kado ya? Tapi Kalo Radit pinjem uang dulu boleh gak om? Uang saya masih dirumah soalnya. Radit janji bakal dibalikin."

"Sudah! urusan uang mah beres." Radit tersenyum lalu mengangguk anggukan kepalanya pelan.

"Sama anak om juga kamu mau nggak?"

"Kak Arva?" Radit sudah mengetahui Arva karena Wijaya sudah bercerita sebelumnya.

"Iya biar dia refreshing juga."

"Okelah" Radit tersenyum senang.

Drrtt Drrt

"Om keluar dulu mau angkat telefon."

"Iya."

Sepeninggal Wijaya Radit langsung memegangi kepalanya yang sudah pusing. Daritadi dia terus menahannya karena tidak ingin Wijaya khawatir.

"Arva...Wijaya...Dimas...kenapa namanya sangat mirip? ini kebetulan kan?" tanya Radit pada dirinya sendiri beberapa puzzle diingatannya semakin berurutan membuat dia pusing. Seolah olah Radit benar benar mengenali nama nama itu.

Seolah olah mereka bukan pertama kali ini bertemu...

8 tahun yang lalu....

"Edgar? ada yang ingin bertemu." kata seorang wanita paruh baya yang kerap dipanggil Bunda karena kebaikan hatinya.

"Edgar nggak mau...bagaimana kalau Ayah sama Mama jemput kalau Edgar pergi?"

"Edgar kamu disana cuman sebentar 1 tahun sekali datanglah kesini untuk menunggu Ayah dan Mama kamu,tapi sekarang ada orang baik yang ingin bertemu."

"Bagaimana kalau mereka jahat?"

"Semua manusia didunia ini baik...mereka kadang hanya lupa jadi kamu harus selalu jadi anak baik ya?"

"Tapi Bunda...Edgar kan masih punya Orang tua...kenapa harus pergi?"

"Karena orang tua Edgar belum datang...Edgar cari keluarga dulu ya?"

Anak yang berusia 9 tahun itu hanya mengangguk pasrah lalu mengikuti sang wanita keruang tamu untuk menemui 'keluarga barunya'.

"Wahhh anak yang manis." ucap wanita satu lagi ia hanya berdua didampingi satu pembantunya yang tersenyum ramah.

"Mau ya ikut Tante?"

Anak kecil itu mengangkat wajahnya melihat persetujuan sang Bunda lalu saat Bunda menganggukan kepala,ia ikut mengangukan kepalanya lemah.

"Wahh kamu benar benar anak yang imut! ayo ikut Tante." wanita itu tersenyum bahagia membuat anak kecil tersebut bingung harus berekspresi apa.

HAYOOO UDAH PADA PUSING BELUM BACA IM HURT? HAHA MAKASIH YA UDAH STAY BACA CERITA MIMIN YANG GAJE...

im hurt (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang