Thanks (2) ✓

8.1K 711 30
                                    

Fano belum pulang dari kemarin malam. Ia menemani Radit dirumah sakit sepanjang malam.

"Aaaaa~ ayo dong Dit lo harus makan." ucap Fano sembari menyodorkan satu sendok bubur.

"Kak, mendingan kakak pulang nanti dicari sama Papa. Tangan saya kan nggak papa jadi bisa buat megang sendok."

"Udahlah lo diem aja gue lagi perhatian nih."

Drrtt...Drrtt...

Ponsel Fano berdering nomer tidak dikenal meneleponnya.

"Gue keluar dulu mau angkat telfon." ijin Fano pada Radit dan hanya dijawab anggukan setuju.

Lobi Rumah Sakit

"Halo?"

"Halo Den Fano." sapa seorang lelaki diseberang sana.

"Ck! bapak yang kemarin?"

"Den...Tuan Adam mencari Den Fano."

"Ya terus?"

"Tolong pulang Den, Tuan kelihatan khawatir sekali."

"Gue nggak mau pulang!! ngapain ketemu sama orang egois itu."

"Fano." Suara diseberang telefon berubah menjadi suara yang sangat familiar.

"Apasih?!"

"Pulang!! dimana kamu sekarang?"

"Bukan urusan Papa!"

"Fano Papa mo-" Fano langsung memutuskan sambungan telepon, anak itu membuang nafas pelan.

Betapa kagetnya ia saat membalikkan badan karena melihat Radit sudah berdiri diambang pintu tersenyum dengan muka pucatnya.

"Pulang aja kak."

"Gue gak mau! gue benci sama Papa!"

"Papa sayang sama kakak jadi kakak pulang jangan bikin Papa khawatir."

"Lo kenapa bela dia si?! padahal dia yang sering nyakitin lo! kecelakaan kemarin nampar gue sebuah fakta apa mungkin ini yang lo rasain saat dipukuli papa? terus kenapa sekarang lo dengan gampangnnya bela Papa? Lo baik tapi jangan tolol dit."

Emosi Fano meluap luap Fano mengacak rambutnya kasar. Frustasi dengan keadaan yang sedang menimpanya ini

"Karena saya menyanyangi kalian, nggak ada alasan lain selain itu kan?"

"..."

Tak bisa berkata kata Fano menatap saudaranya sendu, menatap manik mata yang teduh.

"Menjadi pemain basket memang baik tapi Papa punya rencana masa depan yang lebih baik buat Kakak, setidaknya buat Papa bahagia kak karena saya nggak bisa ngelakuin itu."

"Kenapa gak bisa?! lo ngomong apa si?!"

"Papa kan benci sama saya." Radit tersenyum membuat hati Fano sedikit mencelos wajah yang semakin pucat itu tetap tersenyum seperti memberikan semangat bagi Fano.

Fano tidak tau jika sedari tadi tangan Radit bergetar karena memegang gagang pintu mencoba agar tidak terjatuh.

"Kakak bisa jenguk Radit lagi disini. Saya nggak bakal pergi jauh."

"Gue pulang karena lo yang nyuruh, kalau gitu gue pamit." Fano segera pergi meninggalkan Radit, baru beberapa langkah anak itu kembali membalikan badannya. Menatap Radit yang masih tersenyum, anak itu mengangguk kecil lalu kembali berjalan menjauhi saudaranya.

Melihat punggung Fano yang sudah semakin jauh, Radit segera terduduk lemas didepan pintu.

Anak itu meremas rambutnya kuat kuat, kepalanya terasa sangat sakit melebihi rambut yang ia tarik.

im hurt (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang