Happy✓

7.8K 617 11
                                    

Setelah menunggu beberapa jam pintu operasi terbuka sontak Arva dan Wijaya bangun dari duduknya.
Seorang Dokter keluar dari ruang operasi dengan masih menggunakan masker dan baju berwarna hijau.

"Bagaimana Dok?" tanya Wijaya.

"Syukurlah operasi berjalan lancar pasien akan dipindahkan keruangan lain." jelas Dokter tersebut.

Wijaya dan Arva merasa sangat lega.

"Tapi..." Dokter tersebut menatap Wijaya dan Arva bergantian.

"Karena pasien melakukan operasi pada bagian kepala maka pasien akan sulit untuk berbicara,menulis,ataupun berjalan itu termasuk efek samping dari operasi ini." ( gak tau Mimin bingung kalau masalah kesehatan haha maklumi ya^_^)

"Dia membutukan bantuan kalian." kata Dokter tersebut.

*****

Di dalam ruangan putih itu Radit tengah menatap kejendela kamarnya dia menatap langit langit biru dan burung burung yang berterbangan bebas Radit sudah sadar 1 jam yang lalu,dia juga sudah dipindah keruangan lain.

Diruangan itu ia sendirian kepalanya masih nyeri, bekas operasi masih terlihat karena kini ia tidak memiliki rambut.
Wajah Radit masih terlihat pucat. Sampai pintu terbuka menampakan Wijaya dan Arva yang masuk keruangan Radit membawa beberapa buah buahan.

"Dek. Udah bangun?" tanya Arva yang langsung mendapatkan jitakan dari Wijaya.

"Pertanyaan nya gak bermutu banget." kata Wijaya.

"Aduh Pah sakit ini astaga." Arva memegang kepala yang Wijaya pukul lalu terus menggerutu sambil merapikan buah buahan.

"Udah mendingan nak?" tanya Wijaya. Radit tidak bisa menjawab dia hanya tersenyum.

"Coba ucapin 'A' " Radit mengikuti dengan susah payah karena saat mulutnya hendak mengeluarkan suara kepalanya menjadi sangat sakit.

"Gak apa apa gak usah dipaksakan."

"Dek tau gak?" kini Arva duduk disebelah Wijaya menghadap saudaranya itu Radit hanya menaikan alisnya sebagai jawaban bahwa dia tidak tau.

"Gak apa apa si hahaha." sekali lagi Wijaya menjitak Arva.
Radit ingin sekali tertawa tapi dia tidak punya tenaga sifat kakaknya ini sangat berbeda dengan kakak yang dia lihat dilobi tempo hari itu.

"Oh iya!" Wijaya bangkit dari duduknya lalu mengambil sebuah buku dan bolpoin.

"Kata Dokter kamu harus sering latihan menulis." Wijaya meletakan buku dan bolpoin itu pada Radit,Radit tersenyum sebagai jawaban.

"Pah apa nggak terlalu cepat? Dimas kan baru bangun."

"Kata Dokter itu lebih baik." dengan tangan yang gemetaran Radit mencoba meraih bolpoin itu lalu membuat coretan yang panjang.

"Bagus." Wijaya tersenyum dan Arva memberikan jempolan Radit membalas mereka dengan senyum yang tak kalah bahagia.

*****

"Bagaimana keadaan Papa?" tanya Fano ketika melihat Adam yang terus menonton televisi sedari tadi.

"Baik!! lebih baik dari sebelum Papa operasi,saat mau operasi Papa takut nanti bakal ikut dengan Mama kamu. Sekarang Papa lega karena Papa masih bisa melihat kamu."

"Ngomong apa si Pa?" Fano memandang Adam dengan kesal karena ayahnya selalu mengatakan hal hal berbau kematian.

"Papa masih penasaran siapa orang baik hati yang mau membantu Papa." kata Adam senyum bahagia terukir di bibirnya.

"Fano juga yakin dia orang yang baik." jawab Fano.

"Pa...Fano keluar dulu ya?"

"Mau kemana?" tanya Adam.

"Keluar sebentar kok cari angin."

"Iya."

Fano keluar dari ruangan Adam lalu berjalan menuju ruangan saudaranya kaki dan tangannya gemetaran merasa tak sanggup untuk menemui adiknya namun dia merasa rindu.

Sesampainya didepan pintu ruangan Radit. Fano sedikit tercekat saat ingin menekan kenop pintu, dia melihat pemandangan yang tak pernah diberikan keluarganya selama ini pada Radit....kehangatan.

Hati Fano terasa teriris seumur hidupnya ia belum pernah bercanda seperti itu dengan Radit dia hanya selalu membuat luka bagi Radit.

Wajah pucat itu terus tersenyum saat Wijaya dan Arva saling melemparkan candaan dan tertawa bersama mereka terlihat seperti keluarga bahagia yang bisa membuat siapa pun iri.

Mendadak mata Fano terasa berair dia ingin masuk ingin melihat adiknya tapi dia juga merasa tidak berhak mengganggu kebahagiaan keluarga itu.

Fano membalikan badannya dia tersentak kaget ketika melihat Pandu sudah berdiri dibelakangnya sambil membawa beberapa makanan.

"Tidak masuk?" tanya Pandu.

"...." Fano tak menjawab anak itu hanya menggelengkan kepalanya pelan.

"Saya yakin kamu juga orang yang berarti untuk keponakan saya."

"Mari masuk." ajak Pandu.

"Tidak. Saya ada urusan sebentar."

Fano berjalan melewati Pandu rasanya Fano tidak berhak jika bertatapan dengan Pandu karena perbuatannya selama ini kepada Radit. Fano merasa ini adalah karma baginya.

tbc

halo hai manteman author benar benar mood karena komentar kalian hahaha.

perbanyak comment sama vote ya biar author tambah mood buat update hehehe.

dukungan kalian sangat bermakna asikk.

love kalian semuaaa.
💞💞💞💞💞

im hurt (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang