Chapter 19

1.2K 131 8
                                    

Ballroom hotel megah nampak begitu hebat ketika beberapa sudut didekorasi sedemikian rupa. Hiasan serta pernak pernik segalanya menjadi pelengkap kesempurnaan di ruangan besar itu. Tamu undangan yang hadir tak kalah menakjubkan, tak ada kiranya satu helaipun bukan golongan kaum borjuis. Segalanya tampak meriah menyambut suka cita yang tak lama lagi menjadi kenyataan.

Namun berbeda dengan ke enam orang pemuda pada salah satu kursi di sana. Tak henti-hentinya mereka menghela nafas berat. Peristiwa ini--------kekacauan ini mendadak terjadi hanya dalam beberap jam. Setelah mereka semua kebingungan dengan kebenaran bahwa selama seminggu BTS diijinkan untuk rehat pada masa tour dunia mereka. Dan terjawab ketika Bang PD jelas-jelas berkata bahwa Kim Seokjin akan bertunangan malam ini. Sempat berbahagia sebab kakak perempuan favorit mereka semakin dekat menjadi calon ipar. Itu seharusnya, namun ketika nama Choi Ara disebutkan keenamnya terdiam cukup lama. Berlalu satu persatu untuk kemudian meminta penjelasan pada Seokjin.

Hingga disinilah mereka, menatap kemewahan yang seharusnya menjadi menyenangkan untuk dinikmati.

"Sejujurnya aku tahu jika Jin Hyung memang dari keluarga kaya. Tapi-------" ucapannya terhenti sebab hembusan nafas yang Jimin keluarkan kini.

"Lebih dari itu man, ini gila!" lanjutnya seraya menatap sekeliling ruangan. Sementara yang lain hanya terdiam, terkejut karena beberapa alasan.

Oleh Choi Ara yang entah siapa. Juga fakta bahwa member tertua mereka bukan dari keluarga sembarangan. Catat, ini lebih daripada itu!

Keenamnya dialihkan dengan pemuda lain di ujung koridor masuk, mereka tahu bagaimana kalutnya Seokjin setelah malam terakhir pertemuannya dengan Joohyun. Setelah dipaksa akhirnya tak ada satupun yang kini lelaki itu sembunyikan. Semuanya mengerti. Segalanya sudah diceritakan.

"Kau yakin tak ingin memberitahu Joohyun Noona?" ujar Namjoon beberapa jam lalu.

Seokjin tampak menghela nafas berat untuk kesekian kali. Wajah kecut juga sorot sendu tak pernah ia tanggalkan. Kesedihan tentu saja menguak menyebar pada seluruh permukaan tubuhnya. Berlebihan, tapi itu sama saja menghilangkan separuh jiwanya.

"Kau tahu aku tak mampu, Namjoon-ah. Aku terlalu pengecut untuk itu." hanya tepukan halus pada bahu sebagai penutup keduanya.

Iya, Seokjin hanya tak mampu menyakiti wanitanya. Itu saja--------setidaknya untuk sekarang.

Langkah berat itu mendekat kendati wajah serta tubuhnya nampak begitu sempurna malam ini. Jika saja ini menyenangkan, mungkin Jungkook sudah memuji Seokjin habis-habisan. Tentang wajah tampan kebanggaannya, tentang poni yang disibakkan sepenuhnya, juga tentang bahu seluas samudera yang kerap kali membuatnya iri. Kakakku sempurna.

"Hyuuuungg!" termuda selalu seperti itu, namun rasanya kali ini ada yang berbeda. Jungkook memeluknya lebih erat menyalurkan semangat pun dengan tepukan yang diberikan beberapa anggota. Seokjin hapal, mereka selalu ada di sana. Menyemangatinya.

"Aku harap pertunangan ini batal." semua menoleh menatap presensi seseorang di sana.

Min Yoongi.

Tersenyum gamang setelah mengucapkan sepatah kalimat yang sejujurnya membuat Seokjin terkekeh dalam hati. Dia itu benar-benar.

"Aku juga." ujarnya seraya berlalu sebab beberapa menit dari sekarang hal krusial menjadi begitu mencekam. Hal yang sepatutnya dirayakan dengan degupan jantung menggelitik perut, menjadi begitu hampa. Kosong sebab bukan belahan jiwanya yang berjalan dari ujung lorong di atas karpet merah menujunya.

Mencoba tenang kendati hati ingin sekali berteriak jika detik itu juga semuanya harus dihentikan, namun konyol jika hanya dengan alasan tak mencinta. Tak ada yang peduli jika kau sudah berurusan dengan orang-orang macam ini. Sebab kekuasaan serta kekayaan yang menjadi perhitungan di sana. Cinta hanya bonus, jika kau beruntung tentu saja. Jika tidak, maka selamanya hanya hidup di atas belenggu kekuasaan.

Wanita anggun, CEO perusahaan properti juga pemilik butik terkenal di berbagai belahan dunia itu seharusnya sudah mampu membuat Seokjin jatuh hati. Dia sempurna hanya dengan menatapnya sepersekian detik. Tampak berbeda, tentu saja kelas sosial tak pernah bisa berkilah. Tersenyum manis membuat siapa saja terpesona. Seharusnya, tapi sepertinya tidak berlaku bagi pemuda yang kini tengah berhadapan dengan si wanita sempurna itu.

Seokjin abai bahkan ketika jemari lentik itu memasangkan benda bulat berkilauan, sangat pas di jemarinya. Riuh tepuk tangan pun tak dapat Seokjin dengar ketika netranya mencoba menatap satu persatu tamu undangan di sana. Mencoba meyakinkan hati ketika jemarinya tengah bersiap menyelipkan benda serupa seperti kepunyaannya yang terpasang beberapa saat lalu.

Detik-detik krusial seperti ini hatinya tengah memanjatkan permintaan. Tuhan, dia hanya butuh satu alasan agar terlepas dari keadaan. Ia hanya ingin menghilang untuk sementara. Tak ingin melanjutkan, ingin jadi pengecut saja boleh?

Sekali lagi Tuhan, ak-------

Sudut matanya nampak berair masih dengan jemari yang menggantung, bersiap memasang cincin namun enggan. Air di sudut matanya jelas perlahan tumpah, sudah tidak peduli keadaan. Matanya hanya tertuju pada satu masa. Ketika di ujung ruangan makhluk mungil favoritnya berdiri sendirian. Tersenyum gamang menatapnya.

"Selamat sayang." gerak bibir itu jelas Seokjin tangkap meski tanpa suara.

Joohyunnya di sini. Bag-bagaimana bisa? Setelah dirinya mati-matian menahan untuk tidak menyakiti, lihatlah! Wanitanya sendiri yang menghampiri. Kau tahu ini menyakitkan. Kau paham itu, Joohyun-ah.

Tentu saja Seokjin berlari tanpa peduli tatap heran juga tampang kaku dari beberapa orang. Ia tak peduli bahkan saat merengkuh erat kekasihnya Seokjin tak ingin tahu raut wajah Kakek.

Terserah saja!

"Selalu seperti ini. Kali ini aku yang minta maaf." isak kecil juga gelengan penuh Seokjin rasakan. "Kali ini aku yang seharusnya lebih terbuka padamu, iya kan?"

Semakin erat lengannya membungkus, namun semakin lemah pertahanannya. Hingga menangis adalah satu-satunya hal yang Seokjin lakukan setelahnya.

"Kau harus kembali ke sana. Semua orang menunggumu, hm?" namun tak ada gerakan, tetap diam. Seokjin tetap menangis di ceruk lehernya.

"Hei, dengar aku." pelukannya terlepas sementara tatapan lembut namun sendu itu ada. Jelas terpancar dari keduanya.

"Setelah ini kita bicara lagi." tersenyum seraya mengusap lembut lelehan bening pada pipi lelakinya.

"Tidak! Kita pergi dari sini."

Seolah tak peduli Seokjin berlari meninggalkan kerumunan orang yang menatapnya terpaku di sana. Kakek melihat dari kejauhan, tatapannya tak berarti.

Sulit ditebak. []

Practice Makes Perfect ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang