Chapter 18

1.3K 127 8
                                    

Seokjin kembali berpikir tentang ingatannya sepanjang duapuluh tujuh tahun terakhir. Tentang kehidupannya yang biasa saja namun terlampau mewah, tentang keinginannya menjadi publik figur yang tak mudah, atau tentang kehebatannya menjadi penari yang dianggap tak seberapa. Ia jelas mengingat setiap detail prosesnya-----penuh peluh, begitu menyesakkan.

Tapi, hari ini. Tepat dimana dirinya menatap tubuh seseorang yang tengah membelakanginya. Ia tersadar juga tersenyum hanya samar ketika hati mengucap syukur begitu dalam.

Di sana ada wanitanya. Miliknya.

Ini sempurna. Baginya, selama masa kelamnya yang ia kira hanya sebatas pencapaian luar biasa sebagai penebus segala usaha, Seokjin tak pernah mengira ada hal lebih semacam ini memenuhi setiap jengkal langkahnya.

Mencintai memang sangat luar biasa. Bonusnya, dicintai wanitanya begitu menakjubkan. Itu bahkan lebih indah dari cinta itu sendiri.

Kau tak akan paham bagaimana kerja jantungnya yang acap kali berdentum lebih keras hanya dengan menatap punggung mungil itu, manik bulatnya berpendar ketika bibir tipis itu membalas pangutan, atau hanya sekedar tersenyum hangat ketika jemari mungilnya melambai. Seokjin tak pernah duga jika hal-hal sederhana semacam itu mampu membawa euphoria menenangkan.

Dan ia menjadi tak waras ketika kesenangan yang membumbung tinggi mendadak harus lenyap hanya dalam kurun waktu singkat.

Ia mendecih ketika mengingat rencana gila itu akan dilaksanakan dalam hitungan jam. Ia juga muak ketika mendapati ingatannya jika bukan wanita di depan sana yang akan menyisipkan benda mungil nan bulat pada jemari kokohnya.

Boleh Seokjin murka? Tapi, pada siapa? Takdir Tuhan? Cih, ia menyerah akan itu. Rasa syukurnya mendadak lenyap diterpa angin ketika beberapa hal tak mampu ia kendalikan---------tak mampu membawa kebahagiaan. Bukan untuknya saja, tapi juga Joohyun.

Lidahnya kelu ketila acapkali ia ingin berucap, bahkan ketika wanita itu berbalik arah, tersenyum hangat hanya untuk membuatnya mendekat. Seokjin tetap stagnan hingga kerutan didahi juga panggilan lembut Joohyun menyadarkannya sepersekon selanjutnya, baru tungkainya bergerak. Menyamakan tempat dimana wanitanya bergelut dengan peralatan memasak sejak tadi.

"Kenapa melamun? Ayo makan, masakanku sudah siap." tak ada bantahan sebab lengan kokohnya segera ditarik paksa pada salah satu kursi di sampingnya.

Pun dengan segala gerakan halus ketika wanita itu bertutur kata, sensasi ketika kulit mereka bersinggungan, juga ketika dengan gamblang Joohyunnya mengecup singkat untuk kemudian memeluk erat, Seokjin hanya mampu diam. Pikirannya kalut tentu saja. Tak ada lagi hak rasanya kendati netranya ditatap sedemikian lembut. Pun dengan kalimat pengantar tidur, Seokjin hanya terpejam menghirup aroma favoritnya di seluruh dunia.

"Aku juga mencintaimu." suara lembut itu mengalun merdu di telinganya. Lagi-lagi ia hanya terdiam menikmatinya sekalipun itu hanya mimpi. Joohyunnya mengatakan cinta untuk pertama kali. Ras-----

"Ku bilang, aku juga mencintaimu." mimpi ini---------jangan bangunkan.

Selanjutnya hanya tatapan terpaku ketika sesuatu menyentuh permukaan bibirnya, sedikit melumat membuat kelopaknya otomatis terbuka. Ini bukan mimpi ternyata.

Di hadapannya, Joohyun tersenyum hangat mengelus pelan permukaan rahang tegasnya. "Aku mencintaimu." ini indah ketika selama ini hanya bibirnya yang menggumamkan kalimat itu. Sekaligus sesak jika setelah hari esok, segalanya mungkin berubah.

Seokjin tak pernah rela. Ia tak mampu, gagal melawan kekuatan Kakek yang begitu luar biasa. Tentu saja dikalahkan hanya dengan satu tembakan senjata--------Joohyun.

Seminggu lalu di penghujung bulan Mei ketika kelopak bunga bermekaran.

Seharusnya menjadi hari yang menyenangkan bagi Seokjin, itu awalnya jika saja tidak ada pertemuan konyol antar dua keluarga konglomerat yang mendadak diadakan.

"Tanggal sudah diputuskan, sepuluh hari dari sekarang." finalnya.

Seseorang yang baru saja Seokjin tatap presensinya di depan sana tampak begitu konyol. Bodoh, satu kata terlintas ketika mendapati Choi Ara tersenyum manis di sampingnya, namun terasa memuakkan.

Tak ada sangkalan di sana, Seokjin hanya diam seraya beranjak tanpa sepatah kata keluar dari mulutnya. Hingga jemarinya melayang tak sempat menyentuh gagang pintu ruang mewah itu.

"Apa seorang selebriti memang tak pernah punya tata krama?" suara Kakek menggema menghentikan segala aktifitas di antara beberapa pasang mata yang ikut hadir.

Tak ingin berdebat, tungkainya kembali ia langkahkan pada pintu yang sudah seperempatnya terbuka. Itu tadinya, jika saja satu nama tidak segera membuatnya berbalik arah.

"Bae Joohyun."

Tepat ketika raut tegang itu nampak, bersamaan dengannya laki-laki paruh baya di sana tampak tersenyum pongah. Merasa menang sebab hanya dengan satu ucapan ia mampu mengendalikan seseorang.

"Bisakah Kakek tidak mengganggunya?" kalimat pertama sejak tiga jam lalu keberadaannua di sana. Sangat tenang kendati hatinya ketar-ketir ketakutan.

"Cukup aku saja." kini bukan hanya keangkuhan yang begitu mendominasi, kekehan mengejek juga kentara pada wajah berwibawa itu. Tanpa mengurangi rasa malu pada beberapa presensi di sana, kalimat selanjutnya tak bisa lagi Seokjin toleransi. Kepalan pada kedua jemarinya tak mampu lagi ia tahan juga beberapa ekspresi yang sejak tadi Seokjin kendalikan tak bisa lagi ia sembunyikan.

"Memang apa bagusnya dia? Hanya seorang selebriti."

Seokjin jelas tertawa.

Senyum mengejek serta nyaringnya kekehan kini menggema menghadirkan keterkejutan dari beberapa orang di sana. Sebab tak ada keberanian seperti itu sebelumnya. Namun kalimat barusan sangatlah lucu, kenapa Kakeknya tidak jadi komendian saja, pikirnya. "Cucumu ini juga seorang selebriti Kek astaga lucu sekali."

Setelah menghabiskan beberapa sekon untuk tertawa, kini Seokjin kembali dengan keseriusannya. Menatap penuh yakin pada pria paruh baya di ujung ruangan.

"Aku hanya akan bertunangan sesuai rencana Kakek. Choi Ara?" senyum culas kini Seokjin perlihatkan.

"Maaf Kek, tapi aku hanya mampu mencintai wanitaku."

"Kau tahu kan Kakek bisa berbuat apa saja pada wanitamu itu?"

Seokjin mendekat, menatap lekat pada orang-orang yang tengah terpaku menatapnya. Ayah hanya terdiam di sana, sementara Ibu menenangkan lewat sorot lembutnya. Untuk sepersekian detik sebelum kedua bilah bibirnya kembali bertutur, Seokjin terpejam hanya untuk menguatkan hati. Meyakinkan pada semua orang jika rencana ini sangat tak masuk akal. "Oleh karenanya, untuk sementara aku mengikuti apa keinginan kalian. Kakek juga tahu kan aku bisa berbuat sesukaku ketika acara pertunangan itu berlangsung?"

Gotcha! Mata dibayar mata. Ancaman dibalas ancaman. Adil bukan?

"Kakek itu berpendidikan. Ku harap Kakek paham apa yang seharusnya dilakukan. Permisi."

Begitu hingga akhirnya Seokjin kewalahan, hanya mampu diam menikmati sentuhan yang kekasihnya berikan tanpa mau berujar. Ia takut jika nanti Joohyun kalut, takut jika tak ada ruang untuknya lagi setelah ini. Ia juga paham jika detik ini ia tak berbicara maka akan sama saja. Sama-sama terluka. Keadaan tak berpihak setelah sepanjang tahun segalanya dipermudah, kini dengan tiba-tiba Tuhan melimpahkan ketakutan yang begitu luar biasa.

"Aku tahu, sayang. Terima kasih." kecupan kilat sebagai balasan atas ungkapan cintanya barusan. Kendati ia paham tak perlu adanya terima kasih jika dengan menatap netra teduh Seokjin saja sudah mampu membuat Joohyun bersyukur. Tuhan terlalu baik menghadirkan Seokjin di sisinya.

"Sangat mecintaimu." ujarnya seraya memeluk.

Pelukan kekasihnya berbeda, terasa lebih erat juga detakan yang menggema tampak berpacu lebih kencang. Seokjin tak yakin, namun malam ini Joohyunnya tampak lebih lembut juga-----bahagia, mungkin. []

Practice Makes Perfect ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang