Los Angeles, Amerika Serikat.
Seokjin termenung di sebuah kamar hotel tempat Joohyun jatuh terlelap di singgasananya. Setelah beberapa puluh menit berlalu, kini Seokjin dapat bernafas lega sebab selama itu pula tubuhnya terbebas dari dekapan seseorang.
Joohyun-------tak bisa terpejam ketika barang sedetik saja Seokjin beranjak. Wanita itu meminta keduanya selalu berada dalam radius kurang dari satu meter. Entahlah, semenjak kejadian tadi mereka belum berbicara apapun. Hanya suara detak jantung yang saling bersahutan. Nyaman, namun tampak asing.
Kenapa? Bukan. Bukan sebab hati mereka yang berubah, Seokjin tak pernah berpikiran ke arah sana. Tidak sama sekali. Hanya saja ada beberapa hal yang seharusnya mereka sadari dari awal.
Hubungan tak melulu soal perasaan berbunga-----sebab bahagia juga angkara, keduanya selalu berdampingan. Tetapi Joohyun memendam poin kedua, dan Seokjin baru menyadarinya.
Sebab hatinya tertohok ketika mendapati raut wajah Joohyun yang hampa. Hanya satu yang terlintas dalam benaknya saat itu---------ah, Joohyun-nya sedang tidak baik-baik saja. Wanita itu tampak kelelahan. Bukan karena jadwal padat atau penerbangan berpuluh-puluh jam. Tetapi, hatinya.
Seperti lelah sebab terlalu banyak menahan diri.
Itulah penyebabnya. Jooh-----
Grep.
Pelukan hangat itu mendadak membungkus tubuh dinginnya. Seokjin serta-merta berbalik, sontak cairan bening yang sejak tadi ia kumpulkan keluar begitu mudah, bersamaan dengan manik keduanya bertemu untuk pertama kali--------hari ini.
Lelaki yang sejak awal berdiam itu kini tengah tersengguk-sengguk. Dadanya naik turun bersamaan dengan suara isakan lewat kerongkongan sempitnya.
"J-jangan begitu lagi." sementara Joohyun menggeleng penuh ketika kedua pipinya dielus lembut.
"Maafkan aku, kau pasti marah saat Suho memel-----"
Seokjin yang menggeleng kini, sementara air matanya tak berhenti mengalir hingga usapan oleh jemari mungil itu terasa tak ada guna.
"Aku tak se-kekanakan itu untuk marah hanya karena hal semacam itu kan?" kini Seokjin mulai tenang-------perasaan itu sudah ia biaskan bersamaan dengan menatap manik berkilau di depannya. Hatinya juga ikut mendadak tenang.
"Tapi kau marah tadi, aku takut."
Wajah ayunya kembali menyendu ketika mengingat sikap Seokjin beberapa jam lalu. Sangat dingin. Seperti bukan Seokjin.
"Aku yang seharusnya minta maaf di sini. Tugas kau hanya perlu lebih terbuka padaku. Hanya itu." tetapi Joohyun hanya bodoh. Tak mampu mencerna dengan baik. Itu di luar nalarnya, pikirnya.
Dengan langkah halus, Seokjin hati-hati membimbing Joohyun agar kembali duduk pada salah satu kursi di sana. Dengan segala kelembutan, Seokjin membiarkan wanita itu singgah dalam dekapan hangatnya.
"Ingin mendengar sebuah cerita?"
Joohyun semakin bingung tentu saja. "Ah tidak, ini hanya sebuah perumpamaan. Atau bisa juga bukan. Hanya------ini tentang duniaku. Mau dengar?"
Semakin bingung, Joohyun hanya mengangguk pasrah masih dalam balutan lengan kokoh itu.
"Aku memiliki duniaku sendiri." dengan lirih ia berkata, sementara wajahnya menerawang jauh pada langit-langit kamar.
"Dunia yang hanya aku miliki seorang. Mungkin." kekehnya kemudian.
"Duniaku itu tempatnya kebahagiaan. Tak pernah ada air mata di sana, aku sendiri yang tak pernah melihatnya. Kau tahu?" tanpa menoleh ia bertanya----hanya formalitas semata. "Di dalamnya hanya ada tawa. Tak ada yang mengenal duka di sana. Aku sendiri sebagai pemiliknya tak pernah sekalipun merasa takut. Aku berani menghadapi siapapun sebab aku berada dalam dunia itu. Tapi..." kali ini Seokjin menarik diri, memberikan jarak agar ia dapat menatap wajah kesukaannya.
"Tapi hari ini aku melihatnya menangis untuk pertama kali. Duniaku ternyata tak sebaik yang terlihat." jemari mungil dalam genggamannya bereaksi, ia balik meremas kuat.
"Aku tak tahu jika dia serapuh itu. Ajaibnya lagi, duniaku tak pernah berteriak pada seisinya." masih dengan tatapan lembutnya. Untuk beberapa alasan, Seokjin hanya ingin seperti ini------saling menatap, menumpahkan segala keraguan hati pada satu sama lain.
"Sama sepertimu, ia menanggung beban sendirian." lanjutnya lirih hampir seperti bisikan.
"Ak-----" Joohyun membuka mulut untuk pertama kali, tapi Seokjin belum berhenti.
"Aku pikir aku yang paling memahamimu, ternyata tidak. Sama sekali tidak. Kau menangis tadi. Wa-wajahmu itu-----"
"Kim Seokjin!"
Tidak. Hari ini Joohyun ada dalam peringkat kedua. Seokjin ingin egois------setidaknya untuk sekarang.
"Wajahmu itu, aku tak pernah melihatnya sehampa tadi." usapan sebagai bujukan kini Seokjin berikan.
Supaya Joohyun berbicara. Agar Joohyun membagi kesusahan dengannya. Agar Joohyun mengalah dan menyalahkannya. Hingga Seokjin benar-benar membahagiakannya.
"K-kau!" dia Joohyun------selalu tersenyum ketika Seokjim bahkan berbuat kesalahan, melupakan pertemuan atau mengabaikan pesannya selama berhari-hari. Alasannya hanya satu------ia sibuk. Dan Joohyun lagi-lagi menyambutnya ketika bahkan Seokjin membuatnya menunggu semalaman. Kendati ia sendiri seorang publik figur, tentu jadwalnya tak sebebas orang kebanyakan. Ia juga memiliki tanggungjawab seperti Seokjin, tapi lelah juga alasan-alasan yang lelaki itu beri tak pernah ia sangkal.
Hati mana lagi yang mampu sabar sebanyak dia? Jiwa mana lagi yang tahan jika dalam sebulan hanya hitungan hari mereka berjumpa? Tapi tak apa. Wanita itu tak pernah berteriak marah ataupun raut kesal muncul setelahnya. Selalu bersabar. Iya, selalu wanita itu yang berkorban. Sementara Seokjin? Terlalu sibuk dengan kesibukannya. Tak menyadari jika senyuman yang diberikan kekasihnya selama ini bukan bentuk ketenangan diri. Melainkan------kekhawatiran, dapat bertahan selama apa lagi ia? Hanya berpegang teguh pada perasaan. Pasti menyesakkan.
"Kau anggap aku apa selama ini, hm?" isakan itu kembali meluncur, bak disiram air-----baju putih Joohyun tampak basah terkena lelehan bening lelakinya.
"Kenapa tak pernah bilang? Kenapa tak pernah marah padaku?!" suaranya naik beberapa oktaf namun tetap lembut, sementara sang lawan hanya mengelus pelan surai kehitaman si pemuda. Senantiasa membisikan kalimat penenang pada lelaki di dekapannya.
"Bilang jika kau lelah. Bilang padaku jika kau merasa kesepian. Maaf, aku tak selalu berada di sisimu. Tapi aku mohon, marahlah jika kau ingin. Atau menangislah jika kau merasa tak mampu, atau paling tidak makilah aku ketika aku terlambat datang." bisiknya seraya meloloskan diri dari dekapan hangat itu.
"Tak apa, egoislah jika memang diperlukan." []
![](https://img.wattpad.com/cover/210398377-288-k981535.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Practice Makes Perfect ✔
DragosteSeokjin tak pernah mengira jika jatuh cinta akan semenyenangkan ini. Ia stagnan kala manik mereka saling menatap untuk sepersekian detik. Jantungnya berdesir ketika kulit mereka saling bersentuhan tanpa disengaja. Rungunya tak kalah hebat, ia mendad...