Chapter 21

1.5K 138 19
                                    

Diedit sedikit ya gaes. Kemarin sepertinya agak sedikit ambigu di bagian akhir.

***

Dua hari setelah malam dimana Seokjin dan Joohyun berlari dengan jemari saling bertaut, BTS kembali pada kesibukan. Setengah bersyukur sebab tenaga mereka sudah kembali terisi. Puluhan penggemar tampak memadati pelataran bandara ketika yang ditunggu sudah menampakkan batang hidung mereka.

Tujuh pemuda favorit di seluruh dunia, tentu saja.

Melambai pada awak media sementara senyum terpancar bak adonan kue diberi pengembang - ah, syukurlah Kim Seokjin tampak begitu baik hari ini.

Joohyunnya juga baik, tengah syuting satu acara pagi tadi.

Enggan rasanya ketika harus kembali berjauhan, tak ingin usai ketika cumbuan diterimanya kemarin siang. Selalu mempersempit jarak yang membuat keduanya tak ada sekat. Juga tanpa debat ketika dengan tak sabar melepas satu persatu helai kain pada tubuh masing-masing. Indah seperti biasa ketika keduanya terengah di akhir pangutan.

"Aku merindukanmu." bisiknya kala itu.

Selalu tak terkendali jika segala sesuatu berhubungan dengan wanitanya, Seokjin tak mampu untuk sekedar menahan hasrat layaknya lelaki sejati menghormati dan menjaga wanita. Sebab ia cinta-----egois hanya ingin memiliki Joohyun seutuhnya. 

Pun dengan percakapan manis usai penyatuan, serta pendaran mata sayu yang keduanya pancarkan. Hingga pada saat terengah bersama usai sentakan akhir menjelang kenikmatan, kedua tatap itu masih sama. Saling mendamba.

Kau milikku.

Selalu itu yang Joohyun dengar. Sudut bibirnya akan otomatis terangkat ketika kalimat barusan terbesit dalam benak.

"Ku harap kau tak gila hanya karena aku bertunangan dengan kekasihmu."

Sedikit terperanjat ketika wanita yang beberapa menit terakhir ia tunggu presensinya. Senyum jemawa itu sangat kentara ketika Joohyun temui irisnya.

Choi Ara, wanita yang malam itu pertama kali ia lihat. Nada bicaranya angkuh bahkan saat beberapa jam lalu meminta temu di ujung telepon.

"Jauhi Seokjin."

Tanpa aba-aba dua kata itu keluar dari bilah bibir lawan. Lancar juga tanpa hambatan ketika kalimat selanjutnya diujar, "Bukankah sudah jelas kemana aku dan Seokjin akan berakhir?"

"Jangan membuang waktumu Bae Joohyun-ssi. Tinggalkan dia." ada jeda ketika wajah-yang sialnya cantik itu-menatap penuh ambisi. "Bukankah dibanding Seokjin, ada banyak hal yang lebih penting untuk kau jadikan prioritas?"

Joohyun menerawang----prioritas ya. Sudah lama ternyata sejak Kim Seokjin menjadi begitu berharga di matanya. Laki-laki itu mendadak menjadi satu dari sekian banyaknya prioritas. Di samping mimpi serta kerja keras yang berbuah karir, lelaki itu sama pentingnya. Pengusir lara kala aktifitas telah mengeruk tenaganya sepanjang hari. Saling bergantung di penghujung malam, jauh sebelum sesuatu hadir hendak merusak.

"Kau mendengarku? Aku dan Seokjin sudah bertunangan, jadi tol-------"

"Aku tak bisa, maaf." tak ingin berdebat sebab paham hanya akan ada angkara setelahnya, sepatu hak yang membalut kaki jenjangnya itu melangkah hendak mencapai pintu sebelum satu ucapan menghentikan.

"Kau ini memang tak tahu malu ya. Sekarang kau tidak dalam posisi untuk bertingkah, sadarlah." dalam langkah yang terpaksa diam itu Joohyun berbalik, tersenyum samar ketika mendapati wajah cantik yang pongah itu tak pernah pudar.

"Aku kekasihnya, Choi Ara-ssi. Tak ada yang lebih tinggi daripada aku sebagai pemiliknya. Hatinya------bahkan aku ragu bisa berhasil kau sentuh." sudut matanya menangkap semburat menyebalkan itu mendadak berubah menjadi gurat kesal yang begitu kentara.

"Ku harap kau tahu dimana posisimu." suara lembut yang selalu Seokjin bicarakan kini sepenuhnya berubah, tegas juga mengintimidasi pada akhir kalimat.

Satu lagi yang meninggalkan keterpakuan, "Dan lagi-----aku tak yakin cincinmu terpasang dengan benar malam itu, Choi Ara-ssi."

***

Berdiri------bersisian di depan altar, disaksikan ratusan pasang mata mungkin juga jutaan. Seokjin ingin demikian, jika saja ia bukan lelaki tak bertanggung jawab, jelas saja saat ini dunia sudah dibuat tahu.

Joohyun wanitaku. Dia milikku.

Mungkin detik ini juga ia akan berlari mengelilingi sungai han dengan jemari saling bertaut. Ia juga bisa menebak seperti apa rupa Joohyun jika hal itu terjadi. Bibir mengerucut, belum lagi tarikan enggan pada genggaman, jangan lupakan pukulan serta teriakan setelahnya. Jelas Seokjin akan abai, capainya hanya satu--ingin semua tahu jika Joohyun itu wanitanya, Seokjin sudah ada pemiliknya.

Hanya gelengan pelan untuk tepis pikiran-pikiran picik barusan, setelahnya terkekeh geli memikirkan jika itu benar terjadi. Konyol sekaligus menyenangkan, pikirnya. Tapi sekali lagi----semesta kerapkali berlaku tak adil. Mencintai itu tabu bagi orang-orang seperti dirinya. Seperti tak ada sekat bahkan untuk sekedar mengagumi. Perasaannya seakan dipaksa berhenti hanya sebab oleh profesi. Bukan sekedar beberapa hati akan patah, tidak sesederhana itu, melainkan ini tentang komitmen juga kesungguhan, katanya. Barangkali itu yang dipikirkan beberapa kalangan, namun pikiran piciknya tetap menolak. Tetap penuh sangkalan dalam nalar serta otak cerdasnya sekalipun sebab ini sederhana-----hanya tentang hak. Seperti manusia kebanyakan, bisakah dunia hanya merestui?

Mereka hanya jatuh cinta. Tidakah semesta terlalu kejam berlaku demikian? Jika perkara jatuh cinta saja ada aturan, sementara cinta itu sendiri tak pernah diduga mendadak datang juga tak sanggup menolak untuk lakukan sebab tak mampu kendalikan.

Sungguh-------dan kau tak akan paham rasanya ketika---sebagai kekasih, haknya dicintai sudah terpenuhi. Indah sekali. Tersenyum menerawang langit-langit hotel, menimang kembali memori kemarin siang ketika setelah beberapa waktu tak ada penyatuan. Seokjin rindu, air mukanya mendadak sendu ketika sekelebat bayangan raut familiar itu.

"Bisakah kita bertahan sampai akhir, Joohyun-ah?" monolognya, jemari kokohnya hendak meremat seprai jika satu suara tidak mengambil seluruh atensi. Terduduk usai menggapai benda pipih di pinggir nakas, seolah terkena mantra raut kelabu itu berubah merekah, tersenyum sampai sukma.

"Sayang, ak----"

"Aku rindu." kekehan di seberang sana seirama dengan hembusan angin melalui celah jendela kamar yang sempat Seokjin sibak tirainya. "Aku tahu itu." tak ia jawab sampai helaan di ujung sana mengambil kembali atensi yang sempat Seokjin alihkan pada bentangan langit di atas kepala.

"Besok aku akan menonton konser, apa boleh?" tanyanya hati-hati.

Usai mengernyitkan dahi setelah dibuat bingung, sebab tak pernah ada larangan semacam itu sebelumnya. Aneh, seolah paham ketika belum sempat ujung lidahnya keluar, suara di ujung sana kembali memecah keheningan. "Bersama Suho." begitu cepat. Seokjin saja seolah kehabisan akal, berpura-pura sinyal terputus bukan ide bagus juga, pikirnya. Ia tak ingin mencapai dengar lebih tepatnya.

Benar begitu----ketika lidahnya tak mampu keluar bahkan kelu, stagnan tubuhnya di tempat. Sebab ada hal lain, berbeda yang dulu ketika Joohyunnya disentuh pemuda itu, Seokjin hanya balas memeluk. Mengecup surai tanpa ada amarah di sana. Hanya saja-----sekali lagi kali ini rasanya berbeda.

Usai kesadarannya kembali, sekelebat ingatan terbesit begitu saja dalam benak. Satu nama itu otomatis mengambil seluruh atensinya lebih kuat lagi. Saat-saat krusial bersama pemuda itu Seokjin benci ketika harus mengakui bahwa keberadaannya sebagai kekasih terancam.

Dan itu benar adanya, hatinya terus menerus gelisah bahkan ketika penyatuan indah mereka kemarin siang, Seokjin menjadi lebih 'mendamba' sebab rasa takut kehilangan kembali menghampiri ketika satu kalimat serta-merta muncul dalam benak.

"Jangan harapkan aku sudah menyerah hanya karena sekarang kau pemiliknya. Seokjin, aku belum selesai." []

Practice Makes Perfect ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang