Chapter 26

1.4K 142 18
                                    

Ini bulan keduabelas, tepat pukul sepuluh pagi ketika udara yang seharusnya buat tubuh menggigil atau sekedar berkeinginan untuk mengenakan mantel, namun tidak begitu ketika tampak pemuda dengan kaos putih polos------lengan pendek pula. Duduk termenung menatap depan, pada papan tulis putih di ujung ruangan. Sedang jemarinya mengetuk pada benda kayu yang sebagai tumpuan.

Sebab panas serta gelisah yang menjadikannya demikian, meski benda putih lembut di luar sana berhamburan menyapa bumi. Atau suara-suara lain yang sejak tadi tak kunjung berhenti, si pemuda tetap memilih abai. Atensinya beralih fokus pada  pendaran cahaya yang masuk lewat celah gorden yang tak sengaja tersibak tirainya sesaat lalu. 

Musim dingin telah tiba namun rasa khawatirnya tetap sama.

Persis seperti tiga tahun lalu, di ruangan ini-----menunggu dia.

Monoton, sempat berikrar namun memilih berlalu yang berakar sabar seperti ketika netra teduhnya bertatapan kembali dengan dia. Tetap menggetarkan, bahkan ia masih ingat detail sensasinya------ini masih sama.

Canggung seperti pertamakali, namun kini berakhir sendu ketika kenyataan tengah menghantamnya telak, bahwa ternyata hanya si wanita yang telah tak sama.

Persis ketika di belakangnya seorang pemuda ikut menghampiri, Kim Junmyeon hanya tersenyum ramah untuk kemudian pamit. Jelas tampak kaitan pada lengan yang sempat menjadi kepunyaannya itu terlepas. Sudah jelas pula bisik-bisik pada ruangan yang minim pendaran cahayanya ini.

"Maaf aku terlambat." suaranya bahkan masih sama, tapi-----apa hatinya juga demikian?

Entah, kini hanya semakin canggung yang terasa ketika kursi sebelahnya telah terisi oleh si pemilik suara. Sementara Seokjin semakin kecil hatinya, semakin tak nampak harapannya.

Harapan untuk sekedar dapat menatap dekat netra eloknya, atau untuk bertukar sapa meski hanya lewat senyum kecil yang samar. Itu harapannya sebulan lalu ketika Seokjin yang tanpa berpikir menerima pekerjaan sebagai pembawa acara-----bersama lagi dengan si gadis kegemaran.

Namun kini, saat-saat yang dinanti itu hanya berakhir tanpa kata di ruangan yang sama seperti saat-saat pertama berjumpa. Lebih memilih bungkam saja sebab tak ada keberanian setelah hadirnya lelaki yang beberapa saat telah berlalu.

"Kuharap kalian bisa bekerja sama dengan baik seperti saat pertama kali." senyum ramah dari penyelenggara acara menjadi penutup rapat yang menyesakkan ini.

Sudah dua jam penuh dirinya terjebak pada situasi rumit nan pelik, hingga helaan nafas kini terdengar samar.

Wanita yang rambut hitamnya terurai itu lekas berdiri selepas hembusan nafas beratnya keluar. Tanpa sepatah kata bahkan untuk menyapa atau sekedar menemui presensinya saja ia tak ada. Joohyun berlalu begitu saja dan Seokjin hanya bisa merana di sana.

Hah, sebenarnya apa yang ia harapkan?

Bersyukur saja sudah lebih dari cukup ketika faktanya Bae Joohyun telah menerima tawaran ini bersamamu.

Atau sedikit bisa membuang laramu ketika netra kalian bertemu tatap pada saat-saat krusial, pada saat keduanya berlatih bersama. Pada saat yang seharusnya tak ada hak untuk sekedar bersinggungan kulit, Kim Seokjin dengan lancang menenggelamkan sebagian wajah pada ceruk leher itu dari arah belakang.

Pada remang cahaya yang menerpa sebagian ruangan, pada hebatnya degupan jantung yang saling bersahut, Seokjin berkata lirih.

"Aku rindu."

Tak ada jawaban, hanya keterdiaman serta hembus nafas yang terdengar. Tak juga ada tamparan yang menerpa wajah ketika tubuh mungil itu dibaliknya perlahan. Menatap dalam pada wajah ayu yang kian menunduk. Sementara hatinya semakin mencelos ketika isakan demi isakan lolos dari bibir mantan kekasihnya.

"Kau jahat sekali." begitu katanya.

Seokjin tahu ia lebih dari sekedar jahat. Brengsek bahkan ketika lengan kanannya tetap setia memeluk erat pinggang rampingnya seraya berucap begini.

"Jadi, apa sudah bertemu dengan lelaki baik-baik?"

Lantas Joohyun lekas saja memaki. Menatap tajam pada lawan bicara yang menurutnya tak pernah berubah. Menatapnya lembut yang sendu seperti saat terakhir kali.

"Seharusnya aku tak di sini." lengannya ditarik kembali, dipeluk lebih erat lagi. Tanpa mau lepas meski berontak sudah sejak tadi Joohyun lakukan, namun Seokjin tetap stagnan.

"Aku berjanji ini yang terakhir kalinya. Jika kau ingin aku pergi setelah ini, aku pergi."

Kini Seokjin tergugu yang pasti ketika wanita itu mendadak lunak hanya dengan sebuah janji kepergian. Lihat! Betapa Joohyun ingin dirinya lekas pergi, betapa Seokjin tampak memuakkan untuk sekedar dilihat presensinya.

Iya, Kim Seokjin sekarang paham. Ia mengerti segalanya, kemana akhirnya rindu itu bermuara.

"Bae Joohyun." ujarnya seraya tersenyum gamang.

Tak ada lagi dekapan atau kalimat permohonan, sebab Joohyun diam dan Seokjin kelewat sadar dimana posisinya kini.

"Bahkan kini kata maaf terasa sangat palsu." kekehnya.

"Tapi, Bae aku benar-benar meminta maaf. Untuk semua bahagia yang telah kau beri, untuk kesakitan yang entah sudah ke-berapa kalinya aku torehkan, aku memohon ampunanmu."

Joohyun tahu ketika satu tetes air jatuh pada lengan kokoh si pemuda, namun segera ditepis pemiliknya seraya berujar. "Kau sudah bahagia dan aku bersyukur untuk itu. Senyum kemarin pagi, aku juga menyukainya."

Kemarin pagi, ketika Kim Junmyeon mengantarnya hingga ruang rapat. Tersenyum kecil yang tulus usai kepergian lelaki itu.

Seokjin ingat betul rinciannya. Binar itu kembali hidup.

Dan kini Joohyun tetap membisu meski netranya tengah ditatap sedemikian lembut olehnya. Tangannya tengah digenggam hangat, berbeda sekali ketika bersama dengan Kim Jumyeon.

Dan Seokjin kembali tersenyum yang lara, "Ini milikmu."

Benda yang sempat Joohyun impikan dapat tersemat itu kini terasa pas pada jemari lentiknya.

Sebuah cincin yang setahun lalu sempat Seokjin beritahu lewat pesan suara ketika mereka berada dalam radius beratus-ratus kilometer jaraknya, sedang Joohyun berbunga hatinya kala itu.

Yang itu juga Seokjin masih ingat rincannya. Binar yang masih tertuju padanya berpendar seolah hanya Seokjin yang berhak atas dirinya. Atau ketika bibir mungilnya berujar rindu di ujung telepon.

Seokjin ingin meminta maaf atas kesediaan waktu yang terbuang kala itu.

"Anggap saja ini hadiah perpisahan. Buang saja jika memang harus, terserah kau. Bae..." sekali lagi, pada detik-detik krusial ini Seokjin mendeklarasikan kembali isi hatinya.

"Maaf, aku selalu mencintaimu. Aku pergi."

Tanpa mendengar sepatah katapun, Kim Seokjin perlahan menjauh hingga presensinya menghilang di balik tembok ruang latihan malam itu.

***

Dan Bae Joohyun terdiam ketika mendapati rentetan kalimat satu minggu setelahnya.

BTS's Jin Has Officially Enlisted In The Millitary On January 2021. []

Practice Makes Perfect ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang