EPISODE 3

3.1K 263 6
                                    

DINDING ITU

Reza menunggu semua mahasiswa dan mahasiswinya yang tengah mengerjakan soal evaluasi akhir minggu yang ia berikan hari itu. Diam-diam ia menatap ke arah Nina yang kembali seperti biasanya - diam.

Perasaannya tak karuan setelah kemarin mendengar segalanya dari Abah Adi - pemilik Yayasan Pesantren Al-Munawarah - yang menceritakan secara detail tentang apa yang pernah terjadi pada Nina. Ia tak mampu membayangkan bagaimana Wanita itu melalui semua dalam diamnya.

Flashback On

"Jadi begini Akh Reza, dua tahun yang lalu kami mendapat telepon dari Orang tua Ukhti Nina. Mereka mengabarkan bahwa akan menjodohkannya dengan seorang Pria Shaleh yang ternyata adalah Putera dari Sahabat baik mereka," ujar Abah Adi.

"Lalu? Apakah Abah mengabarkan hal itu pada Ukhti Nina?," tanya Reza.

"Ya, kami mengabarkannya sesuai amanah dari kedua Orang tuanya tersebut. Ukhti Nina pun menjawab bahwa ia akan menerima perjodohan itu dengan Ikhlas jika memang kedua Orang tuanya telah memutuskan demikian. Dia terlihat sangat bahagia saat itu," jawab Abah Adi, mengenang masa dua tahun yang lalu.

"Dan apa yang terjadi setelah itu Bah?," tanya Reza lagi.

"Malam sebelum Ukhti Nina berangkat ke stasiun bus, Ummi dan sahabat-sahabatnya menemani dia di rumah pondok sambil membantu untuk mengemas pakaiannya. Sesaat sebelum berangkat, hujan deras tiba-tiba turun sehingga Ukhti Nina menunda keberangkatannya. Tak lama, ia menerima telepon di ponsel dari keluarganya. Ummi dan sahabat-sahabatnya menyaksikan, karena Ukhti Nina menyalakan loudspeaker."

"Apa yang mereka bilang pada Ukhti Nina?," Reza tak sabar, entah kenapa perasaannya tidak nyaman.

"Ummi bilang pada saya, bahwa Adik Ukhti Nina membentaknya dan mengatakan bahwa Pria bernama Irham itu adalah pacarnya, dan dia menuduh Ukhti Nina ingin merebutnya secara diam-diam padahal Ukhti Nina tak tahu apapun. Yang lebih parahnya lagi, dia mengatakan bahwa Ukhti Nina tak perlu pulang kembali ke rumah mereka, dia tak ingin merasa tersaingi dengan sikap Ukhti Nina yang 'sok' Shalehah," jawab Abah Adi, lengkap.

"Astaghfirullah hal 'adzhim! Manusia macam apa dia sehingga tega mengatakan hal buruk seperti itu pada Kakaknya sendiri?," Reza benar-benar merasa kesal.

"Itulah yang membuat Ukhti Nina mulai membangun 'dinding' dalam dirinya. Kami pernah membawanya menemui Dokter Psikologi, tapi semakin sering dia ikut konseling dan pemeriksaan, semakin tebal dan kuat dinding yang ia bangun," ujar Abah.

"Lalu bagaimana komentar kedua Orang tuanya?," Reza masih penasaran.

"Kami pernah menelepon mereka, tapi mereka mengatakan bahwa tak menginginkan Ukhti Nina lagi untuk pulang. Entah apa penyebabnya."

Reza mengepalkan tangannya kuat-kuat karena merasa geram dengan apa yang diceritakan Abah Adi. Ia merasa perlakuan seperti itu tidaklah adil untuk Nina yang sejatinya adalah wanita baik-baik.

"Itulah alasannya, kenapa Abah dan Ummi begitu mengkhawatirkan Ukhti Nina sampai harus meminta bantuanmu untuk mengawasinya. Afwan kalau Akh Reza merasa tidak nyaman," ujar Abah Adi.

"Tidak Bah..., tidak sama sekali. Justru saya semakin ingin ikut membantunya Bah, setelah mendengar apa yang Abah ceritakan pada saya. Ukhti Nina tidak pantas di perlakukan seperti itu, dia tidak pantas mendapatkan hinaan itu."

Flashback Off

Para mahasiswa dan mahasiswi mulai mengumpulkan soal evaluasi yang telah mereka isi. Reza menerimanya dan menyimpan lembaran kertas itu ke dalam tasnya.

"Baiklah, setelah mengisi soal evaluasi tadi, kita akan melanjutkan materi. Kalian boleh mengeluarkan buku catatan," pinta Reza, seraya membuka bukunya sendiri.

Ia menulis di white board dengan tulisan besar. KEBANGKITAN ISLAM. Semua orang menulis judul besar itu di buku masing-masing.

"Kebangkitan Islam, bagi umat Islam tak lain dipandang sebagai bangkit dan membuminya nilai-nilai Islam. Islam sebagai ideologi, Islam sebagai sumber moral, Islam sebagai ilmu yang haq, dan Islam sebagai aturan hidup, secara terpadu dibangkitkan dan bangkit di Bumi. Islam tidak lagi hanya dipandang sebagai bahan kajian, objek ilmu yang tak terpaut dengan realitas, tetapi dianggap sebagai konteks dimana kehidupan berlangsung," jelas Reza.

Beberapa poin penting ia catat di white board.

"Dengan demikian, bersama kebangkitan Islam dalam realitas muncul kebudayaan dan peradaban Islam. Hukum-hukum Allah men- dapat tempat yang utuh dan tepat, diterapkan dalam kenyataan. Keadilan ditegakkan, Al Haq dibesarkan. Maka kendali kepemimpinan dunia beralih pada umat, melalui penumbangan hegemoni Barat."

Reza menatap ke arah Nina yang sedang menatap white board, mencatat apa yang ia tulis di sana. Ekspresi di balik niqob itu benar-benar datar, dia tak menunjukkan apapun sehingga tak ada yang bisa menebaknya dengan pasti, apa isi hati wanita itu?

"Dalam garis ini, maka kebangkitan Islam tidak lain dari kebangkitan umat. Dimana umat berkuasa menentukan jalan hidupnya sendiri, menetapkan kebijaksanaan sendiri, serta berkuasa akan penetapan hubungan-hubungannya sesuai dengan kehendaknya. Umat berhak akan jalan hidupnya, sebagaimana yang diyakininya. Umat tidak lagi diserang dan dirongrong dengan konsep-konsep yang berbeda dengan jati dirinya. Umat tidak lagi ditekan dan dipaksa untuk memenuhi kepentingan politik dan budaya orang lain. Umat tidak lagi dijajah, bukan hanya secara fisik tapi secara budaya dan ideologis oleh orang lain," tambah Reza.

Reza membalik halaman pada bukunya.

"Dengan demikian, maka kebangkitan Islam adalah kebangkitan umat. Kebebasan dari dunia Barat, kebangkitan harga diri. Harga diri umat dan kebanggaan atau izzah, tak lain muncul dari pemahaman akan jati diri. Jati diri yang cemerlang saja, yang akan membawa kebanggaan. Sebagaimana para sahabat terdahulu yang berbahagia dan bangga dengan Islam, meski mereka kurang baik dari segi materi maupun peradaban. Sampai di sini dulu pertemuan kita hari ini, kalian bisa mempelajari lagi tentang Kebangkitan Islam dan Insya Allah besok kita akan lanjutkan lagi materi ini," ujar Reza.

Mereka mulai membereskan buku dan alat tulis masing-masing.

"Baiklah, Wassalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh," tutup Reza.

"Wa'alaikum salam warrahmatullahi wabarakatuh."

Nina keluar lebih awal hari itu dan berjalan dengan cepat sebelum hujan turun karena langit telah menghitam sejak tadi. Reza melihat Nina melewati dirinya.

"Ukhti Nina...," panggil Reza.

Nina pun berbalik ke arah tempat Reza berdiri.

"Iya Pak?," tanya Nina.

"Kenapa buru-buru sekali?," Reza balik bertanya.

"Saya belum memasak di rumah pondok Pak..., takutnya orang-orang yang tinggal dengan saya sudah kelaparan kalau saya terlambat pulang," jawab Nina, dengan jelas.

"Oh..., baiklah. Hati-hati dalam perjalanan," ujar Reza.

"Baik Pak...," balas Nina, lalu mulai berlari karena hujan telah turun.

Reza masih menatapnya menjauh dari gedung kampus, ia tersenyum sendiri.

'Pak??? Memangnya saya sudah terlihat sangat tua di matamu?.'

* * *

MujahidahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang