EPISODE 32

1.7K 148 18
                                    

BATIN

Ummi Kalsum menggendong bayi cantik itu dengan sangat hati-hati. Usai satu bulan berada dalam inkubator, akhirnya Nina diperbolehkan membawa Najifah pulang bersamanya ke Surabaya. Abah dan Ummi Kalsum sendiri yang menjemput Nina, karena sahabat-sahabatnya yang pulang lebih dulu satu bulan yang lalu untuk menyelesaikan KKN mereka yang tertunda, tak dapat pergi menjemputnya.

"Alhamdulillah..., akhirnya cah ayu ini tiba di rumah. Kamu pasti capek," Ummi Kalsum berbicara dengan Najifah karena gemas.

Abah terkekeh melihat tingkah Isterinya yang baru pertama kali menggendong bayi dalam seumur hidupnya.

"Jangan ditanya-tanya, Najifah sudah pasti capek dan ingin istirahat seperti Abahnya ini. Benar kan cah ayu?," tanya Abah.

Ummi Kalsum pun ikut terkekeh pelan.

"Kalau Abah tidak perlu ditanya, setiap saat pasti capek terus," sindirnya.

Nina tersenyum mendengar apa yang Abah dan Ummi Kalsum perbincangkan. Ia masih sibuk membereskan kamarnya dan mengeluarkan barang-barang keperluan Najifah. Popok, baju, botol dot kecil dan juga susu formula ia susun dengan rapi di atas nakas.

"Nak..., istirahatlah dulu. Nanti kamu kelelahan kalau memaksakan diri," pinta Ummi Kalsum.

"Iya Mi, sebentar lagi saya akan istirahat. Tapi saya selesaikan dulu semua ini, baru saya akan memandikan Najifah sebelum dia tidur," jawab Nina, seraya tersenyum dari balik niqob-nya.

Ummi Kalsum menggeleng-gelengkan kepalanya seraya tersenyum dari balik niqob-nya. Nina tetaplah Nina, yang akan selalu lebih mendahulukan kepentingan dan kenyamanan orang lain daripada dirinya sendiri.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam, mari Nak masuk ke dalam," jawab Ummi Kalsum.

Silvi, Dhiba dan Sarifa pun segera menghambur ke arah Ummi Kalsum yang tengah menggendong Najifah yang selalu tenang. Mereka sangat merindukan bayi mungil itu setelah selama satu bulan tak bertemu.

"Masya Allah, semakin cantik keponakanku tersayang ini...," puji Dhiba, merasa gemas.

"Iya, aku gemas sekali kepengen cubit pipinya," tambah Silvi.

"Eh nggak boleh cubit-cubit! Awas ya kalau sampai Najifah terganggu karena kalian berdua!," ancam Sarifa.

Mereka semua tertawa mendengar ancaman Sarifa. Nina keluar dari dapur dengan sebotol dot susu untuk Najifah dan segera ikut diserbu oleh sahabat-sahabatnya dengan pelukan.

"Siapa tadi yang marah-marah? Aku dengar suaranya dari dapur," tanya Nina.

"Ukhti Sarifa yang marah-marah..., dia melarang kami mencubit-cubit pipi Najifah," jawab Silvi.

Nina tertawa mendengarnya.

"Masya Allah, Puteriku sudah punya Bibi yang overprotective sekarang," ujar Nina.

"Tenang Ukhti, di mana ada saya di sanalah Najifah akan selamat dari cubitan siapapun," ujar Sarifa.

Mereka kembali tertawa bersama. Abah segera mengambil Najifah dari gendongan Ummi Kalsum, agar mereka bisa memasak di dapur untuk makan malam nanti.

Abah menimang-nimang Najifah sambil bershalawat untuknya agar semakin tenang. Fikri melihat Abah di halaman rumahnya dan mampir untuk melihat Najifah yang telah dibawa pulang.

"Assalamu'alaikum Bah," sapa Fikri.

"Wa'alaikum salam Nak, ayo ke sini," jawab Abah.

Fikri benar-benar mendekat dan melihat Najifah yang tertidur di dalam gendongan Abah dengan tenang.

"Alhamdulillah, akhirnya Ukhti Nina dan Najifah sudah diperbolehkan pulang," ungkapnya.

"Iya Nak, saya dan Ummi sendiri yang menjemputnya tadi," ujar Abah.

Fikri tersenyum.

"Dia tenang sekali ya Bah," ujarnya.

"Hmm..., kalau menurut Ukhti Nina, Najifah ini mirip sekali dengan Almarhum Ayahnya. Mulai dari wajahnya dan juga sifatnya. Sangat tenang," balas Abah.

Fikri menganggukan kepalanya sambil mengusap pipi bayi mungil itu dengan lembut. Ibrahim dan Dimas yang baru akan menuju rumah pondok santri pun melihat punggung Fikri dari kejauhan, mereka ikut mendekat ke arah Pria itu berdiri bersama Abah.

"Assalamu'alaikum," ujar Dimas dan Ibrahim, serempak.

"Wa'alaikum salam," jawab Abah dan Fikri.

Fikri berbalik ke arah mereka berdua dan memperlihatkan siapa yang hadir di antara mereka. Dimas dan Ibrahim pun tersenyum saat melihat Najifah dalam gendongan Abah. Bayi cantik itu menggeliat tiba-tiba dan menangis pelan seakan sedang merengek.

"Wah, cah ayu terbangun. Kenapa? Kangen dengar suara siapa sampai kamu terbangun?," tanya Abah, senang.

Ia pun segera menyerahkan Najifah pada Dimas ke dalam gendongan Pria itu. Dimas menggendongnya dengan sangat hati-hati dan lembut.

"Wah dia tenang kembali. Dia rindu sama kamu itu Akh," ujar Fikri.

Dimas tersenyum mendengar pernyataan itu dari Fikri.

"Betul, kamu kan orang pertama yang berinteraksi dengan Najifah, bahkan mengadzaninya sesaat setelah lahir. Dia terusik ketika mendengar suaramu dan protes minta digendong," tambah Ibrahim.

"Alhamdulillah kalau ternyata kamu tidak lupa untuk Adzan di telinganya. Saya sebenarnya ingin menanyakan hal itu pada Ukhti Nina, tapi belum sempat," ujar Abah, lega.

"Insya Allah saya tidak akan lupa Bah. Saya sangat menyayangi bayi cantik ini, jadi saya tidak sia-siakan kesempatan untuk menjadi yang pertama Adzan di telinganya," ungkap Dimas, bahagia.

"Masya Allah, saya sangat bersyukur karena Najifah sangat disayangi oleh orang-orang Shaleh dan Shalehah. Insya Allah, hidupnya akan sangat bahagia karena selalu menerima limpahan do'a dan kasih sayang dari kalian," Abah bersyukur.

"Abah tidak perlu khawatir, meskipun Almarhum Akh Irham tidak akan mendampinginya dalam masa pertumbuhannya nanti, kami akan berusaha untuk menjaganya seperti Puteri kami sendiri. Insya Allah, Ukhti Nina pasti juga akan mendidiknya dengan baik," Ibrahim meyakinkan Abah.

Abah menganggukan kepalanya, Ummi Kalsum keluar dari dalam rumah untuk mengambil Najifah agar bisa mandi sore. Dimas pun menyerahkannya pada Abah sebelum diberikan pada Ummi Kalsum. Ketika Dimas, Fikri dan Ibrahim hendak berpamitan, Najifah kembali menangis seperti tadi. Ummi Kalsum berusaha menenangkannya, Dimas pun mendekat lalu mencium kening bayi cantik itu.

"Tenang ya, nanti Paman ke sini lagi menemani Najifah. Insya Allah," janji Dimas.

Najifah pun kembali terdiam dan tenang seperti tadi. Ummi dan Abah saling menatap satu sama lain saat hal itu terjadi. Nina pun tak jadi melangkahkan kaki keluar untuk mengambil Najifah, di dadanya ada rasa sesak yang begitu mengganjal. Namun ia tak tahu, mengapa rasa sesak itu bisa hadir tiba-tiba.

* * *

MujahidahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang