EPISODE 19

1.9K 170 1
                                    

MENGUNGKAP

Silvi membaca beberapa bahan yang di dapatnya dari salah satu rak buku di perpustakaan. Pengajuan proposal sedang dalam proses dan dirinya masih harus kembali menghafal bagian-bagian yang belum dipahami.

Ia berjalan tanpa memperhatikan keadaan di sekitarnya. Tak sengaja, ia menabrak buku-buku yang akan disusun ke sebuah rak hingga berjatuhan di lantai. Silvi pun bergegas memungut buku-buku itu dan menyusunnya kembali seperti semula.

"Assalamu'alaikum Ukhti Silvi, ada yang bisa saya bantu?," sapa Dimas, yang melihatnya saat baru masuk ke perpustakaan itu.

"Wa'alaikum salam Akh, tidak apa-apa, saya tidak perlu bantuan," jawab Silvi tanpa melihat ke arah Dimas.

Usai membereskan buku-buku itu, Silvi kembali meraih bahan-bahan yang ia dapatkan tadi.

"Ukhti Silvi terlalu serius sehingga tak melihat keadaan sekitar. Lain kali hati-hati," saran Dimas yang sedang mencari buku di rak bagian belakang.

Silvi masih tetap tak berbalik untuk melihatnya.

"Akh Dimas, boleh saya tanya sesuatu?," pinta Silvi.

"Boleh, silahkan saja," balas Dimas.

Silvi duduk di sebuah kursi tempat membaca dan meletakkan tas beserta buku-bukunya di atas meja. Dimas sendiri tetap berada di tempatnya yang tadi.

"Apa alasan Akh Dimas mengkhitbah Ukhti Nina? Dan kenapa Akh Dimas bersedia membatalkan pernikahan itu padahal kalian sudah melakukan ta'aruf?," tanya Silvi.

Dimas mengangkat wajahnya dan menatap Silvi yang tengah memunggungi dirinya.

"Selama ini, saya menyukai Ukhti Nina, tepatnya sejak kami masih sama-sama satu kelas di Madrasah Aliyah. Saya kagum dengan semua sifatnya, dan juga kagum dengan akhlaknya. Saya sering memperhatikannya diam-diam, tapi tak berani mengatakan apapun. Saya takut Ukhti Nina marah dan menjauh. Ketika saya melihat dia terluka, rasanya saya tidak tega terhadapnya sehingga saya memberanikan diri untuk mengkhitbahnya," jawab Dimas.

"Kalau memang Akh Dimas sangat menyukainya, kenapa Akh Dimas mengikhlaskan Ukhti Nina untuk menikah dengan Akh Irham? Apakah benar hanya masalah perkara restu dari Ayah Ukhti Nina?," Silvi masih penasaran.

Dimas menarik nafasnya dalam-dalam beberapa saat.

"Begini Ukhti Silvi, perkara restu adalah yang utama bagi saya. Jika Orang tua Ukhti Nina tidak merestui, apa artinya kehidupan yang akan kami jalani? Bukankah seorang anak diharuskan untuk berbakti pada Orang tuanya? Kedua..., jika saya tetap memaksa untuk menikahi Ukhti Nina, apakah dia akan bahagia? Sementara hatinya masih diisi oleh nama Akh Irham, dan harapannya masih bergantung pada Pria itu. Dan apakah saya tidak akan menyakiti hati Pria lain yang telah menunggu Ukhti Nina selama ini, jika saya tetap memaksakan kehendak? Bukankah kita telah diperingatkan untuk tidak bersikap egois?," Dimas bertanya balik.

Silvi terdiam saat mendengar pertanyaan-pertanyaan itu. Ia tak mampu menjawabnya jika dirinya berada di posisi Dimas.

"Saya takut menjadi penghalang di tengah-tengah perasaan orang lain. Meskipun saya menyukai Ukhti Nina, bukan berarti saya harus memaksa untuk memilikinya. Jika Allah tidak berkehendak, maka kita hanya harus bersabar dan menerima kalau apa yang kita inginkan itu bukanlah takdir yang Allah tuliskan."

"Lalu bagaimana Akh akan menjalaninya? Sementara setiap hari Akh Dimas akan selalu bertemu dengan Ukhti Nina di kampus dan juga di pesantren," tanya Silvi lagi.

Dimas tersenyum.

"Banyak-banyak saja beristighfar, dan ingatkan diri sendiri bahwa dia bukan jodoh saya. Insya Allah, jika kita meminta pertolongan pada Allah untuk melupakan seseorang maka Allah akan membantu kita untuk melupakannya," jawab Dimas.

'Lalu bagaimana kalau kau masih tak bisa melupakannya?.'

* * *

Nina baru saja selesai membersihkan dapur ketika Irham akhirnya pulang ke rumah setelah bekerja. Ayahnya telah ia bantu untuk duduk di kursi roda untuk ikut makan bersama malam itu. Mak Atiyah menyiapkan piring dan juga menyajikan makanan di atas meja makan.

Irham mencium tangan Damar lalu segera menuju kamarnya untuk bersih-bersih. Nina mengikuti langkahnya.

"Mas malam ini mau Shalat di rumah atau Shalat di masjid?," tanya Nina.

"Di masjid Dek, Mas sekalian mau mengikuti majelis kajian malam ini," jawab Irham, seraya meraih handuknya lalu menuju kamar mandi.

Nina pun menyiapkan pakaian yang akan dipakai oleh Irham malam nanti. Ia segera kembali keluar dari kamar untuk menyiapkan opor ayam yang masih di masaknya tadi.

Usai mandi Irham pun segera memakai pakaian yang sudah Nina siapkan, ia bergegas keluar dari kamar dan menuju ke ruang depan menemui Damar.

"Yah, bagaimana perasaan Ayah hari ini?," tanya Irham.

"Ba..., ik. Ni..., na ban..., tu A..., yah ma..., kan ta..., di," jawab Damar.

Irham tersenyum.

"Alhamdulillah kalau begitu. Ayah jangan lupa untuk ikut terapi, nanti aku yang antar ke Dokter," pinta Irham.

Damar mengangguk pelan. Nina muncul di ruang depan setelah selesai menyajikan opor ayam di meja makan.

"Ayah, Mas Irham, ayo kita makan," ajak Nina.

Irham pun tersenyum ke arah Isterinya dan segera mendorong kursi roda yang dipakai oleh Damar menuju ke meja makan. Nina menyendok nasi di piring untuk Damar dan Irham, lalu memberi mereka masing-masing semangkuk opor ayam. Ia mulai menyuapi Ayahnya perlahan-lahan.

"Mbak Nina, bahan-bahan makanan di dapur mulai berkurang. Apakah Mbak mau Mak buat daftar yang sudah kosong?," tanya Mak Atiyah.

Nina tersenyum dari balik niqob-nya.

"Boleh Mak, tapi kalau Mak Atiyah capek biar nanti saya saja yang membuat daftarnya. Mak Atiyah bisa beristirahat dulu," jawab Nina.

"Iya Mak, istirahat saja dulu. Mak pasti capek setelah seharian bekerja," tambah Irham.

Mak Atiyah tersenyum.

"Tidak apa-apa Mbak Nina, Mas Irham. Mak baik-baik saja," ujarnya, meyakinkan.

Mak Atiyah pun segera kembali ke dapur untuk membuat daftar belanjaan yang harus dibeli. Irham terlihat sangat menikmati masakan yang Nina buat hari itu.

"Besok Mas libur, nanti Mas antar belanja ya," tawar Irham.

"Lalu siapa yang akan menjaga Ayah kalau Mas menemaniku belanja?," tanya Nina.

"Biar..., Mak Ati..., yah yang ja..., ga A..., yah," jawab Damar.

"Tuh, Ayah juga mengizinkan kok," Irham merasa dibela.

Nina tersenyum, ia tahu betul kalau Ayahnya memang akan selalu membela Irham.

"Iya..., iya..., besok Mas boleh mengantarku belanja," ujar Nina.

Irham tersenyum bahagia.

'Ini pertama kalinya sejak kita menjadi pasangan yang halal. Aku dan kamu benar-benar pergi berdua.'

* * *

MujahidahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang