EPISODE 22

1.7K 142 5
                                    

TERGUNCANG

Nina mengerejapkan kedua matanya perlahan, rasa pusing menjalar di kepalanya. Ia merasakan kesakitan yang tidak dapat ia ketahui sumbernya. Telinganya berdengung sejak tadi, namun sayup-sayup ia mendengar suara yang berasal dari luar kamar itu.

"..., inniii aamangtu birobbikum fasma'uun. Qiiladkhulil-jannah, qoola yaa laita qoumii ya'lamuun. Bimaa ghofaro lii robbii wa ja'alanii minal-mukromiin*... ."

Ia bangkit perlahan-lahan dan berjalan menuju pintu. Sebuah cahaya yang menyilaukan menusuk pandanganya saat ia membuka pintu tersebut, seseorang meraih tubuhnya dengan cepat sebelum ambruk kembali di lantai.

"Astaghfirullah hal 'adzhim!!!," seru beberapa orang yang terdengar oleh pendengaran Nina yang masih berdengung.

"Ukhti..., kenapa bangun dari tempat tidur? Ukhti masih belum sehat, Ukhti harus istirahat," Ummi Kalsum meratapinya.

Wajah itu sangat Nina kenali, wajah yang basah oleh airmata itu terlihat sangat khawatir.

"Ummi...," desis Nina, lemah.

"Iya Ukhti Nina, ini Ummi Nak. Ukhti berbaring lagi ya, jangan lakukan apapun saat ini, istirahat saja," pintanya.

"Saya di mana Mi?," tanya Nina, akhirnya.

"Di rumah Ummi Nak. Kamu jangan khawatir, kamu aman di sini," jawab Ummi Kalsum.

Nina pun segera teringat semuanya, nafasnya kembali memburu dan sesak.

"AYAH SAYA MI!!! SUAMI SAYA!!! MANA MEREKA MI???," Nina kembali histeris.

"Tenang Ukhti! Tenang Nak!," Ummi Kalsum kembali menahan tubuh Nina yang tiba-tiba berontak Hebat.

Dhiba dan Sarifa segera masuk ke dalam kamar itu dan membantu Ummi Kalsum menahan Nina. Silvi dengan berat hati kembali memeluk Nina dengan erat.

"Sabar Ukhti, ini cobaan! Jangan begini terus Ukhti, kami takut terjadi sesuatu pada Ukhti," pinta Sarifa.

"LEPASKAN!!! AKU HARUS MELIHAT MEREKA!!! AKU TIDAK MAU KEHILANGAN MEREKA!!! LEPASKAAAANNN!!!," teriak Nina, semakin histeris.

Dimas menangis di balik mushaf yang tengah ia baca. Ia tak sanggup menahan diri untuk tak menitikkan airmata ketika mendengar teriakan-teriakan itu. Sudah tujuh malam berlalu sejak kejadian tragis itu terjadi, dan Nina masih saja tak mampu menerima kenyataan kalau dirinya telah kehilangan Ayah, Suami dan pengasuh kesayangannya yang sudah seperti Ibunya sendiri.

Ibrahim merangkul Dimas untuk menyabarkannya. Fikri pun ikut merasakan kepedihan itu, dia tahu kalau Sahabatnya sangat menderita melihat wanita yang dicintainya terluka bertubi-tubi.

"Dia Wanita yang baik Akh, dia Wanita yang Shalehah, tapi kenapa Allah memberikan cobaan yang begitu berat padanya?," ratap Dimas.

"Akh, kita tak pernah tahu apa rahasia Allah ketika memberi cobaan pada hamba-Nya. Kita hanya tahu, bahwa saat ini Ukhti Nina butuh dukungan yang kuat dari sisi keimanan agar dia mengakui takdir yang sudah Allah tetapkan," jawab Ibrahim.

"Tapi kenapa harus setragis ini Akh? Kenapa cobaan itu harus datang di saat dia seharusnya memberi kabar bahagia pada Suami dan Ayahnya?," tanya Dimas lagi, airmatanya semakin deras membasahi wajah.

"Mungkin Allah ingin Ukhti Nina lebih menguatkan diri dan keimanannya, sehingga Allah memberikan cobaan itu di saat ini," jawab Fikri.

Nina berhasil keluar dari kamar itu dan berusaha berlari. Ia bahkan sempat terjatuh beberapa kali saat berusaha pergi. Hilda menahannya dan memeluknya dengan erat di hadapan semua orang yang hadir di malam ketujuh kepergian Suami dan Ayah Wanita itu. Dimas pun segera menyeka airmata dari wajahnya yang sembab.

"LEPASKAN!!! JANGAN HALANGI AKU!!! AKU MAU BERTEMU MEREKA!!!," teriak Nina.

"UKHTI NINA CUKUP!!!," bentak Dimas tiba-tiba.

Nina menoleh ke arahnya, tapi tetap tak bisa menatap dengan fokus karena kepalanya sangat pusing.

"Cukup Ukhti..., ikhlaskan. Tolong ikhlaskan kepergian mereka..., meratapi yang sudah meninggal hanya akan membuat mereka semakin tersiksa. Tolong ikhlaskan...," pinta Dimas.

Nina menangis hebat dalam pelukan Hilda, ia tak lagi memberontak seperti tadi. Tubuhnya melemah dan terkulai begitu saja seakan kehilangan tenaga.

"Ukhti harus bangkit, Ukhti harus kuat," tambah Dimas.

Dhiba menangis di pelukan Silvi dan Sarifa. Mereka tak kuasa menahan kesedihan melihat kondisi Sahabat mereka.

"Aku sudah tidak punya alasan untuk kuat Akh..., aku juga sudah tak punya alasan untuk bangkit! Aku rasanya ingin ikut mati bersama mereka," balas Nina, yang kehilangan kendali.

"Istighfar Ukhti..., istighfar..., kuatkan imanmu. Allah tidak buta, Allah akan mengganti semua rasa kehilanganmu dengan sesuatu yang berharga dalam hidupmu," ujar Dimas.

"Allah akan menggantinya dengan apa Akh??? Aku sudah kehilangan segalanya..., aku sudah tak ingin hidup!."

"Tidak Ukhti..., Allah tidak mengambil segalanya dari hidup Ukhti. Allah sudah menggantinya dengan kehidupan yang baru, yang harus Ukhti jaga dengan baik," balas Dimas.

Nina terdiam tak mengerti, Dimas sudah kembali meneteskan airmatanya tanpa ia sadari.

"Ukhti Nina..., Allah menitipkan amanahnya padamu," jelas Hilda seraya menyentuh perut Nina dengan lembut, "..., kenang-kenangan dari Almarhum Suami Ukhti, agar Ukhti menjaga dan mendidiknya dengan baik. Insya Allah, bersama titipan amanah ini, Ukhti akan jauh lebih kuat untuk melanjutkan hidup yang baru."

Nina kembali menangis, kali ini tangannya ikut menyentuh perutnya sendiri. Hal yang tak pernah ia dan Irham sadari sebelumnya, bahwa Nina telah mengandung buah cinta mereka yang akan segera lahir.

* * *

Rena duduk dengan santai di rumah baru yang dibelinya setelah pergi dari Kota Surabaya, Hana terlihat sangat senang dengan pemandangan di luar rumah baru itu.

"Gimana? Kamu suka sama rumah baru ini?," tanya Rena.

"Iya Ma..., suka banget!," jawab Hana.

"Kalau begitu janji ya..., jangan nangis-nangis lagi. Mama sudah mengabulkan permintaanmu untuk membuat Nina menderita seumur hidupnya, jadi sekarang kamu harus gantian membahagiakan Mama," pinta Rena.

Hana tersenyum bahagia.

"Oke Ma..., aku akan membuat Mama bahagia selamanya," janji Hana.

Mereka berdua berpelukan dengan sangat erat.

"Terima kasih ya Ma..., karena Mama sudah membunuh Mas Irham dan benar-benar membuatnya jadi debu. Aku bahagia sekali, karena sekarang Mas Irham benar-benar hanya menjadi milikku," ungkap Hana, seraya memeluk sebuah toples berisi debu yang Rena hasilkan setelah membakar mayat Irham.

Rena tersenyum bahagia.

* * *

*Q.S. Yaa Siin : 25-27

MujahidahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang