EPISODE 43

1.5K 142 3
                                    

KAPAN?

Reza benar-benar tak habis pikir dengan skripsi yang ada di hadapan matanya saat itu, sementara Ibrahim duduk sambil harap-harap cemas di kursinya.

"Begini Akh Ibrahim..., saya mengerti...,  sangat mengerti kalau Akh Ibrahim ini kreatif. Dipertemuan kemarin saya sudah memeriksa Bab satu yang Akh Ibrahim buat dan mengoreksi beberapa hal yang salah. Tapi hari ini, kenapa Bab satunya jadi berubah total? Dan ini malah sudah bukan Bab yang kemarin saya periksa?," tanya Reza, bingung.

Ibrahim tersenyum.

"Jadi begini Pak Reza, kemarin setelah saya melihat betapa banyaknya coretan yang Bapak berikan dalam Bab satu skripsi saya, tiba-tiba saya merasa mungkin Bapak kurang suka dengan isi dari Bab satu kemarin. Jadi, saya mengubah semuanya dan mungkin Bapak akan lebih suka," jawab Ibrahin, tanpa merasa bersalah.

"Astagfirullah Akh Ibrahim! Sabar saya ada batasnya ya! Kalau setiap kali saya memberi coretan di skripsi yang kamu buat lalu kamu mengganti seluruh isinya, kapan kira-kira kamu bisa menyelesaikan skripsimu ini? Saya memberikan coretan, agar bagian yang salah kamu perbaiki..., bukan diganti total!," Reza rasanya ingin menyerah menghadapi Ibrahim.

Ibrahim pun menerima kembali skripsi itu lalu keluar dari ruangan milik Reza. Reza keluar dari ruangannya dan bertemu dengan Hilda di depan ruangan Wanita itu.

"Bagaimana skripsi Akh Ibrahim Pak Reza? Apakah dia sudah konsultasi?," tanya Hilda.

"Dia sudah konsultasi sejak kemarin, tapi setelah saya memberikan koreksi pada skripsinya, skripsi itu bukannya membaik malah tambah memburuk," jawab Reza, jujur.

Hilda mengerutkan keningnya, ia tidak mengerti apa yang Reza maksud.

"Boleh dijelaskan lebih rinci Pak Reza?," tanya Hilda lagi.

Reza menarik nafasnya beberapa saat.

"Begini Bu Hilda. Kemarin saya mengoreksi skripsinya dan memberikan coretan di beberapa tempat agar dia memperbaiki kesalahannya. Tapi bukannya diperbaiki, dia malah mengganti seluruh isi Bab satu yang sudah saya koreksi kemarin," jelas Reza.

"Astaghfirullah hal 'adzhim!," Hilda memijit pelipisnya yang tiba-tiba saja berdenyut, karena penat.

Reza sangat mengerti akan hal itu, masalahnya Ibrahim adalah salah satu mahasiswa di bawah bimbingan Hilda, maka dari itu Hilda merasa sangat bertanggung jawab atas semua hal yang dilakukan oleh mahasiswanya.

"Bagaimana dengan mahasiswa atau mahasiswi saya yang Bu Hilda tangani? Ada masalah?," tanya Reza.

"Tidak ada sama sekali Pak Reza, mereka semua yang ada di bawah bimbingan anda sangat cepat mengerti jika saya berikan arahan untuk mereka," jawab Hilda.

"Kalau begitu, Bu Hilda tidak perlu khawatir. Saya akan bertanggung jawab pada semua mahasiswa dan mahasiswi yang berada di bawah bimbingan Ibu, skripsi mereka Insya Allah akan selesai tepat pada waktunya," janji Reza.

"Baik Pak Reza, syukron. Saya pun akan melakukan hal yang sama pada mahasiswa dan mahasiswi yang berada di bawah bimbingan Bapak," balas Hilda.

Mereka berdua berpisah, dan kembali pada urusan masing-masing.

* * *

HAHAHAHA!!!

Fikri dan Dimas jelas tertawa terbahak-bahak saat mendengar penjelasan Ibrahim tentang apa yang Reza katakan padanya.

"Masya Allah Akh Ibrahim..., bisa-bisanya kamu berpikir sangat kreatif di saat mengurus skripsi. Jelas Pak Reza akan marah, dia pasti berpikir kamu sedang bermain-main," ujar Fikri.

"Ya mana aku tahu kalau maksud coretannya adalah aku harus memperbaiki yang salah. Kemarin Pak Reza tidak mengatakan apapun dan langsung saja mengembalikan skripsiku," balas Ibrahim.

Dimas melepas botol dot dari mulut Najifah saat isinya sudah habis. Ia meraih tissue dan membersihkan sisa-sisa susu dari wajah Puterinya.

"Aku sudah masuk ke Bab tiga sekarang. Lumayan banyak yang harus kuperbaiki," ujar Dimas.

"Kamu nggak repot gitu Akh? Buat skripsi, konsultasi, memperbaiki lagi, sambil urus Najifah?," tanya Ibrahim.

"Nggak repot sama sekali. Malah kalau Najifah nggak ada di sampingku biasanya aku yang uring-uringan dan nggak fokus mengerjakan satu kalimat pun," jawab Dimas.

Najifah berceloteh di dalam gendongannya.

"Ukhti Nina sudah sampai Bab berapa?," tanya Fikri.

"Yang dibahas baru sampai Bab dua, itu pun masih dikonsultasikan pada Bu Hilda. Belum sepenuhnya selesai. Tapi, kalau keseluruhan skripsinya, sudah benar-benar rampung seperti skripsiku. Hanya butuh perbaikan setelah konsultasi," jelas Dimas.

"Wah..., kalian berdua saling kerja sama, tentu saja semua menjadi ringan. Sementara kami selalu saja mendapat jalan buntu," ujar Fikri.

"Siapa bilang yang kami berdua lakukan ini ringan? Saya kadang sering bolak-balik perpustakaan untuk cari referensi, Isteriku juga begitu, dan kami harus membagi waktu untuk mengurus pekerjaan rumah sekaligus mengurus Najifah. Sebenarnya tidak ada yang ringan, hanya saja kami tidak menganggapnya sebagai beban," sanggah Dimas.

"Nah itu yang sulit, cara untuk tidak menganggap skripsi adalah beban masih menjadi misteri untuk kami berdua," balas Ibrahim.

Dimas terkekeh mendengar alasan itu.

"Ada caranya, yang penting Akh Ibrahim mau jalani dengan sungguh-sungguh."

"Bagaimana caranya Akh Dimas?."

"Pertama, berdo'a sebelum mengerjakan skripsi, agar skripsi yang tadinya sulit menjadi mudah. Kedua, lakukan yang terbaik dan jangan mudah putus asa. Ketiga, selesaikan pekerjaan secepat mungkin, jangan ditunda-tunda," saran Dimas.

Mereka berdua menganggukan kepalanya dan mendengar saran itu. Nina muncul tak lama kemudian setelah berkonsultasi pada Hilda.

"Assalamu'alaikum," sapanya.

"Wa'alaikum salam," jawab mereka bertiga.

Nina langsung mengambil Najifah dari gendongan Suaminya, bayi mungil itu sudah pintar meminta gendong pada siapapun yang dikenalnya sejak memasuki usia empat bulan.

"Sudah selesai konsultasi pada Bu Hilda Mi?," tanya Dimas.

"Sudah Bi, hanya ada sedikit perbaikan lalu besok akan masuk ke Bab tiga," jawab Nina.

Dimas tersenyum lega mendengarnya. Ia segera membereskan barang-barangnya dan dimasukan ke dalam ransel.

"Akh Ibrahim, Akh Fikri, saya pulang dulu. Insya Allah besok kita bertemu lagi di sini," pamit Dimas.

"Baik Akh Dimas, kami tunggu di sini besok," balas Fikri.

"Mari Akh, Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam."

Dimas berjalan bersama Nina dan Najifah yang bersembunyi di balik niqob Ummi-nya. Fikri dan Ibrahim menatap mereka yang berjalan menjauh.

"Kapan ya giliran kita punya mahram sendiri?," tanya Ibrahim.

Fikri meraih tumpukan kertas skripsi dan menempelnya di kening Ibrahim.

"Urus saja skripsimu dulu!," jawabnya.

* * *

MujahidahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang