EPISODE 9

2.5K 209 6
                                    

MENCOBA

Ibrahim tak bisa tidur nyenyak malam itu, hatinya gelisah karena memikirkan pengakuan Nina pada Ummi Kalsum di masjid tadi siang.

Ia ingat betul bagaimana sosok Nina lima tahun yang lalu. Dia wanita paling bersemangat, paling ceria, dan paling sering berdiskusi dengan banyak orang. Lalu ketika peristiwa itu terjadi dua tahun yang lalu, Nina mulai berubah. Pendiam, tak ingin mengatakan apapun, dan tertutup.

Dimas menepuk pundak Ibrahim hingga pria itu terkejut.

"Mikirin apa Akh?," tanya Dimas.

"Ukhti Nina...," jawab Ibrahim, jujur.

Dimas menghela nafasnya yang berat.

"Dulu kita satu kelas dengan Ukhti Nina di Madrasah Aliyah..., dia selalu baik dan sopan. Dia tahu betul kalau kita selalu tidak sempat sarapan pagi, makanya dia membawakan kotak bekal berisi nasi goreng untuk kita," ujar Dimas, mengenang.

"Ya..., dan kita akan makan satu kotak bertiga bersama Akh Fikri," sambung Ibrahim, seraya tersenyum.

"Ukhti Nina tidak pernah pelit, dia selalu mau membantu siapa saja yang kesulitan. Bahkan tanpa dimintai bantuan pun, dia dengan ikhlas akan membantu," Dimas mengingat semuanya.

Fikri terbangun dari tempat tidur bertingkat itu, ia melongok ke bagian bawah dengan mata setengah terpejam.

"Jangan lupa..., dia juga pernah mengambilkan sarung cadangan di masjid untuk kita saat pelajaran olahraga. Dia tak mau kita malu karena lupa membawa pakaian ganti setelah berenang," tambah Fikri sambil menguap.

"Oh..., yang ceritanya waktu itu celana dalammu hilang kan? Padahal nyangkut di kolam bagian ujuuuuuung sekali," tambah Dimas.

HAHAHAHA!!!

Fikri pun melempar bantal gulingnya ke arah Dimas dengan gemas. Ibrahim tak mampu menahan tawanya karena komentar Dimas.

"Nggak perlu kamu ingatkan soal yang itu..., aku lagi ikut membahas Ukhti Nina dengan kalian," gerutu Fikri.

"Iya..., iya..., kita ingat kok Akh Fikri..., siapa yang bisa lupa dengan kejadian memalukan macam itu?," tambah Ibrahim.

"Kamu berendam terus di dalam kolam dan takut keluar..., seandainya Ukhti Nina tidak lewat saat dia mau ke ruang guru, maka kamu akan berendam sampai malam dan kami pun ikut kena imbasnya," lanjut Dimas.

Fikri benar-benar tak habis pikir, kenapa ia bisa bersahabat dengan dua orang macam Ibrahim dan Dimas? Kini ia agak menyesali persahabatan itu, karena semua aib yang ia miliki akan selalu abadi dalam ingatan konyol mereka.

"Hei..., ayolah serius! Kalian mau bantu Ukhti Nina atau tidak?," tanya Fikri.

"Siapa yang tidak mau? Dia itu orang baik, tidak pantas diperlakukan dengan buruk oleh orang lain. Jujur saja, aku kesal setengah mati saat dengar pengakuannya tentang Ibu dan Adik tirinya itu, mereka keterlaluan," ujar Dimas.

"Masalahnya, kita harus melakukan apa agar Ukhti Nina bisa benar-benar membuka dirinya lagi?," tanya Ibrahim.

"To the point saja..., bilang padanya kalau kita ingin membantu. Saya yakin, Ukhti Nina membutuhkan orang yang benar-benar bersedia mendengarkan ceritanya," saran Fikri.

"Kalau gagal?," tanya Dimas.

"Belum juga dicoba..., masa sudah berpikiran gagal? Mana mau sukses kalau kamu terus berpikiran begitu?," sindir Fikri.

"Memangnya kamu sudah sukses?," tanya Ibrahim pada Fikri.

"Astaghfirullah!!! Kalian ini benar-benar keterlaluan ya!!! Mau atau tidak bantu Ukhti Nina???," geram Fikri, gemas.

MujahidahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang