EPISODE 6

2.7K 230 5
                                    

GUNDAH

Reza memarkirkan mobilnya tepat di garasi bagian samping rumah, ia menutup rolling door sebelum masuk ke dalam.

"Assalamu'alaikum...," ujarnya.

"Wa'alaikum salam..., sudah pulang Nak?," tanya Maryam - Ibunya.

"Sudah Mi..., bagaimana keadaan Ummi? Ummi baik-baik saja kan?," Reza terlihat begitu khawatir.

Maryam tersenyum.

"Ummi baik-baik saja Nak..., jangan terlalu khawatir," jawab Maryam, lembut.

Reza pun balas tersenyum, ia meletakkan sepatunya di sebuah rak dekat pintu depan. Maryam mulai menata meja makan.

"Za..., setelah kamu mandi kita makan sama-sama ya," ajak Maryam.

"Iya Mi..., aku ke kamar dulu ya," pamit Reza.

Maryam pun menganggukkan kepalanya. Reza membuka pintu kamarnya dan masuk ke dalam untuk mandi. Ia meletakan tasnya di atas tempat tidur bersama sebuah berkas dari kampus.

Ketika Reza sedang di kamar mandi, Maryam pun masuk ke dalam kamar itu untuk mengambil baju kotor milik Puteranya. Tak sengaja, ia melihat sebuah foto di dalam sebuah map yang hampir terjatuh keluar, ia meraih foto tersebut dan melihat sosok wanita yang begitu tertutup bahkan termasuk wajahnya. Maryam tersenyum.

Reza keluar dari kamar mandi dan melihat Ibunya yang sedang memegang pakaian kotor miliknya.

"Ummi sedang apa? Nanti baju kotor biar aku yang cuci...," ujarnya seraya tersenyum.

Maryam memperlihatkan foto yang sedang ia pegang seraya tersenyum ke arah Reza. Reza yang terlupa dengan foto itu pun terkejut, wajahnya memerah seketika.

"Ini foto siapa Nak?," tanya Maryam.

"Itu..., mahasiswiku Mi...," jawab Reza, gugup.

"Oh..., mahasiswi. Pasti dia ini salah satu yang terbaik ya?," tanya Maryam lagi sambil membawa foto itu keluar kamar.

Reza segera menyimpan handuknya dan mengejar langkah Ibunya.

"Mi..., fotonya mana?," tanya Reza.

"Katanya cuma mahasiswi..., kok takut betul kalau fotonya Ummi ambil?," goda Maryam sambil mengaduk sup ayam di panci.

Reza tersenyum ke arah Ibunya.

"Foto itu..., untuk data Mi...," kilah Reza.

"Data? Data ke KUA?," tanya Maryam.

Wajah Reza semakin memerah, Maryam pun menarik tangannya untuk duduk di kursi meja makan.

"Ayo cerita..., siapa namanya?," pinta Maryam.

Reza terdiam, ia bingung harus mengatakan apa.

"Kenapa malah diam? Dia ini punya nama kan?," tanya Maryam lagi, seraya menunjukkan foto itu sekali lagi.

"Namanya Nina, dia salah satu santriwati di Yayasan tempatku mengajar Mi. Dia sudah tinggal di sana bertahun-tahun, dan dua tahun belakangan ini dia tak pernah lagi pulang ke rumahnya," ujar Reza.

"Kenapa? Ada masalah?," Maryam menangkap kekhawatiran di wajah Puteranya.

"Dia dibuang oleh keluarganya Mi, tanpa alasan yang jelas," jawab Reza.

"Astaghfirullah..., bagaimana bisa?," Maryam merasa penasaran.

"Awalnya dia akan dijodohkan oleh Orang tuanya, namun saat dia akan pulang Adiknya menelepon dan mengatakan bahwa Pria yang akan dijodohkan dengannya adalah kekasihnya. Dia dituduh ingin merebut milik Adiknya, dan sejak itu dia dilarang pulang Mi..., keluarganya pun tak pernah lagi menghubunginya," jelas Reza.

"Ya Allah..., tega sekali mereka. Apa salahnya sehingga mereka memperlakukan wanita baik-baik dengan begitu kejam?," Maryam tak bisa menyembunyikan kekesalannya.

"Ya..., maka dari itu Mi, pemilik Yayasan meminta tolong padaku untuk mengawasinya. Dia lebih banyak diam selama dua tahun terakhir, dia memilih untuk memendam sendiri apa yang pernah terjadi dalam hidupnya. Dia bahkan pernah di bawa ke Dokter Psikologi, tapi semakin dia sering mengikuti konseling, semakin rapat dinding yang dia bangun," ujar Reza.

Maryam merangkul Puteranya dengan lembut.

"Jadi..., kamu simpati padanya, kasihan padanya, atau menaruh hati padanya?," tanya Maryam.

Reza menatap wajah Ibunya dengan penuh kasih sayang.

"Aku bersimpati padanya Mi..., tidak lebih," jawabnya.

"Yakin?," goda Maryam.

"Mi..., aku hanya ingin membahagiakan Ummi saat ini. Aku belum berpikir untuk melakukan hal lain."

* * *

Dhiba menikmati masakan yang dibuat Nina malam itu, wajahnya begitu berbinar-binar bahagia saat merasakan sedap bumbu di lidahnya.

"Ukhti Dhiba kenapa? Wajah Ukhti sudah mirip bintang iklan jamu pegal linu," tanya Sarifa.

HAHAHAHA!!!

"Astaghfirullah! Aku nggak tahan...," Silvi mengakui.

Dhiba menatap jengkel pada Sarifa.

"Satu kali saja Ukhti Sarifa..., tolong jangan samakan aku dengan bintang iklan jamu...," pinta Dhiba.

"Maunya Ukhti Dhiba disamakan dengan bintang iklan apa?," tanya Nina, sambil mengangkat tahu goreng dari wajan.

"Body lotion...," jawab Dhiba.

Nina terkikik geli mendengar jawaban Dhiba yang ngawur.

"Masalahnya Ukhti..., tidak ada bintang iklan body lotion yang wajahnya seperti orang kena sakit encok," balas Silvi.

"Ukhti Silvi tahu darimana kalau bintang iklan body lotion itu tidak sakit encok? Memang Ukhti Silvi sudah tanya sama orangnya?," Dhiba tetap tak mau kalah.

"Sudah..., sudah..., jangan bertengkar di depan makanan. Malu sama tempe goreng...," sindir Sarifa sambil menambah nasi ke piringnya.

Nina duduk di sebelah Sarifa.

"Ukhti Nina kok jago masak ya..., kita nggak ada yang jago masak seperti Ukhti," puji Silvi.

"Eh..., jangan salah..., aku juga jago...," ujar Dhiba.

"Jago apa?," tanya Sarifa.

"Jago makan...," jawab Dhiba sambil menambah sayur nangka ke dalam mangkuknya.

Nina kembali terkikik geli mendengar jawaban Dhiba, sementara Silvi dan Sarifa menjejalkan lalapan ke dalam mulut wanita itu karena gemas.

"Eh sudah..., sudah..., nanti Ukhti Dhiba tersedak," cegah Nina.

"Ughtyi Nhinya..., mwherekhwa teghwa!," Dhiba mengadu.

HAHAHAHA!!!

"Makan dulu lah Ukhti..., baru bicara lagi. Saya nggak ngerti Ukhti ngomong apa...," Nina tertawa terbahak-bahak.

Sarifa menepuk-nepuk punggung Dhiba, Silvi memberinya minum. Nina menyodorkan tissue untuk mengelap mulutnya yang belepotan.

Nina kembali makan di tempatnya sambil berdiam diri.

"Ukhti..., sering-seringlah bicara lagi dengan kami seperti dulu. Kami rindu pada Ukhti Nina yang biasanya," ujar Silvi, memberanikan diri.

Sarifa dan Dhiba menatap Silvi dengan isyarat bahwa tak seharusnya  ia mengatakan hal itu pada Nina. Namun tanpa mereka sangka, Nina tersenyum.

"Bantu saya Ukhti..., saya mungkin sudah tidak bisa lagi mengatasi masalah saya sendirian," ungkapnya.

Mereka pun memeluk wanita itu dengan erat bersamaan.

'Jangan khawatir, kami di sini.'

* * *

MujahidahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang