MENGUTARAKAN
Abah duduk di samping Reza dalam kamar perawatan itu, Ummi Kalsum berada di balik tirai bersama Silvi yang masih terbaring koma. Abah menepuk pundak Reza dengan tegas.
"Ayo katakan, saya serta Ummi ada di sini menemanimu dan Ukhti Silvi agar tidak ada fitnah di antara kalian berdua. Sekarang katakan semua yang kamu rasakan, biarkan Ukhti Silvi tahu," pinta Abah.
Reza mengangguk, Ummi Kalsum menggenggam tangan Silvi yang dingin dengan lembut.
"Nak, Akh Reza ada di sini untuk bicara denganmu. Dengarkan baik-baik ya, Abah dan Ummi ada di sini untuk menemanimu," bisik Ummi Kalsum, tepat di telinga Silvi.
Reza memantapkan hatinya.
"Ukhti Silvi..., maafkan saya. Diam-diam selama beberapa bulan belakangan ini ketika kita sering bertemu untuk membicarakan skripsimu, saya menaruh hati terhadapmu. Hal yang mungkin tidak pantas saya lakukan, karena kamu belum tentu menyukai saya seperti saya menyukai kamu."
Reza terdiam sesaat dan menyeka airmatanya.
"Saya sengaja memperlama proses pengerjaan skripsimu, berulang-ulang memintamu memperbaiki Bab satu hanya agar saya bisa bertemu denganmu setiap hari dan melihatmu berdiam diri dengan menundukan kepala di depanku. Saya yakin kamu akan marah jika sudah tahu maksud saya yang sebenarnya, jika saat sadar nanti kamu mau berhenti dibimbing oleh saya pun, tidak apa-apa. Saya memang salah."
Ummi menangis mendengar pengakuan itu. Seandainya Reza mengatakannya lebih awal, mungkin Silvi bisa memberikan penilaiannya sendiri.
"Setiap kali kamu selesai konsultasi, saya akan mengikutimu ke perpustakaan, karena kamu akan berada di sana mengerjakan skripsi yang sudah saya coret-coret sampai selesai. Batas waktumu sampai jam setengah empat sore, karena kamu akan pulang untuk mengikuti kajian di Masjid sampai selesai Shalat Isya. Saya memperhatikanmu di perpustakaan sejak kita semakin sering bertemu. Saya suka bicaramu yang sedikit, saya suka dengan kesabaranmu, dan saya suka kamu yang apa adanya."
Abah kembali merangkul Reza yang mulai benar-benar menangis lagi. Ummi juga mengusap wajah Silvi karena tak sanggup melihat Wanita itu terus berbaring tak bergerak. Sebuah remasan pada genggaman tangan Ummi Kalsum membuatnya terdiam seketika.
"Ya Allah..., Bah..., Abah..., Ukhti Silvi merespon Bah!!!," seru Ummi Kalsum.
Abah pun segera masuk ke dalam tirai yang jadi penghalang di antara mereka berempat. Silvi benar-benar menggenggam tangan Ummi Kalsum.
"Nak..., panggil Dokter," perintah Abah.
Reza pun bergegas keluar dari ruang perawatan itu dan memanggil Dokter yang sedang berada di pos jaga bersama perawat. Dokter pun bergegas menuju ruang perawatan itu, Abah keluar dan menunggu bersama Reza. Ummi Kalsum tetap di dalam menemani Silvi agar tak sendirian.
Nina datang bersama Dimas dan Najifah untuk menjenguk keadaan Silvi usai selesai dengan kegiatan di kampus, namun mereka terkejut melihat Abah dan Reza yang berada di depan ruang perawatan dengan ekspresi gelisah. Mereka mendekat.
"Assalamu'alaikum Bah..., Pak Reza..., ada apa? Apakah terjadi sesuatu pada Ukhti Silvi?," tanya Nina, panik.
"Tidak Ukhti Nina, hanya saja Ukhti Silvi memberi respon dengan menggenggam tangan Ummi, lebih lama daripada biasanya," jawab Abah.
Nina menghembuskan nafas lega, Dimas segera merangkul Isterinya agar tak kembali panik.
"Alhamdulillah kalau begitu, lalu apa kata Dokter Bah? Sudah ada diagnosa?," tanya Dimas.
"Belum ada Akh, Dokter masih di dalam dan sedang memeriksanya."
Mereka akhirnya ikut duduk dan menunggu di depan kamar itu. Degup jantung rasanya tidak ingin berkompromi dengan pikiran yang berusaha tenang, sehingga akhirnya menimbulkan kegelisahan dalam diri mereka berempat.
Seorang perawat keluar dari dalam kamar itu.
"Suster, bagaimana kondisi pasien di dalam?," tanya Nina dan Reza, yang sudah tak mau menunggu.
"Tunggu sebentar lagi ya Bu..., Pak..., saya akan mengambil obat yang diminta oleh Dokter terlebih dahulu," jawabnya seraya berlari menuju pos-nya kembali.
Nina pun kembali duduk dengan gelisah, Dimas kembali merangkulnya agar tenang. Reza mengacak rambutnya dengan frustrasi, ia benar-benar ingin masuk dan melihat sendiri kondisinya jika saja tak ada batasan yang dia jaga. Prinsip tetaplah prinsip, dan Reza takkan membuang prinsipnya hanya demi sebuah keegoisan. Silvi pasti setuju dengan apa yang ia lakukan saat ini jika Wanita itu yang ada di posisinya.
Perawat tadi bergegas masuk kembali dengan obat yang di tangannya. Waktu rasanya berputar sangat lambat dan mereka semakin gelisah. Dhiba dan Sarifa tiba di rumah sakit tak lama kemudian.
"Assalamu'alaikum..., ada apa ini Ukhti Nina? Kenapa kalian menunggu di sini?," tanya Sarifa.
"Ukhti Silvi memberi respon lebih dari biasanya, Dokter sedang memeriksanya di dalam tapi sejak tadi belum keluar juga," jawab Nina, khawatir.
"Masya Allah..., semoga saja akan jadi perkembangan yang baik untuk Ukhti Silvi," harap Dhiba, cemas.
"Insya Allah, kita berdo'a saja untuk kebaikannya," balas Sarifa.
Tak lama kemudian, Dokter dan perawat pun keluar dari dalam ruangan itu. Mereka semua menatapnya dan menunjukkan kalau mereka butuh jawaban. Dokter itu tersenyum.
"Alhamdulillah, pasien sudah sadar. Kalian boleh melihat kondisinya tapi jangan sampai dia kelelahan. Dia masih harus banyk istirahat," ujar Dokter, tanpa ditanya terlebih dahulu.
"ALHAMDULILLAHI RABBIL 'ALAMIN!!!," ucapan tahmid terdengar seindah kenyataan yang hadir di hadapan mereka.
Nina, Dhiba, dan Sarifa segera menghambur ke dalam kamar perawatan itu untuk melihat langsung kondisi Silvi. Dimas dan Abah berusaha menenangkan Reza yang tengah menangis penuh kelegaan dalam hatinya.
"Alhamdulillah Ya Allah..., terima kasih karena telah membangunkan Sahabatku," ungkap Nina.
"Ukhti Silvi kami rindu padamu...," ungkap Dhiba.
Silvi menatap mereka sendu, Wanita itu masih belum mampu tersenyum, ia hanya mampu meneteskan airmata dari kedua sudut matanya. Tanda bahwa ia mengerti dengan apa yang didengarnya.
Ummi Kalsum membelai wajah Silvi dengan penuh kasih sayang.
"Ummi sayang padamu Nak..., tolong jangan tinggalkan Ummi ya..., Ummi tak mau kamu begini lagi," pinta Ummi Kalsum.
Silvi mengeratkan genggamannya pada tangan Ummi Kalsum, ia ingin sekali bilang 'iya' namun lidahnya masih kelu.
'Di mana dia, Pria yang merobohkan ketidak mampuanku untuk membuka kedua mata ini? Aku menunggumu karena Allah.'
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Mujahidah
Spiritual[COMPLETED] Ya Allah, jika memang bukan takdirku maka ambillah jika memang tak halal untukku maka ambillah jika memang tak baik untukku maka ambillah jika memang tak berkah untukku maka ambillah Namun jika itu adalah takdirku, halal untukku, baik un...