EPISODE 37

1.6K 147 6
                                    

MERENUNGI

Hujan deras di luar membuat Ibrahim tertidur di atas karpet ruang tamu. Fikri masih mengerjakan skripsinya sambil menyalin contoh materi dari buku referensi. Dimas berada di kamarnya melakukan hal yang sama dengan Fikri. Rasa kantuk menyerangnya, namun ia tak ingin tidur terlalu cepat.

Tok..., tok..., tok...!!!

"Assalamu'alaikum."

Suara ketukan pintu dan ucapan salam membuat Fikri bangkit dari atas karpet. Ia bergegas membuka pintu tersebut.

"Wa'alaikum salam," jawab Fikri.

Abah tersenyum ke arahnya, payung yang basah oleh air hujan ia simpan di teras. Ibrahim terbangun dan membetulkan sarung yang dipakainya saat melihat Abah.

Abah pun duduk di kursi dan melihat-lihat semua hasil kerja Fikri dan Ibrahim. Ibrahim membawakan teh hangat untuk Abah dari dapur.

"Di mana Akh Dimas?," tanya Abah.

"Ada di kamarnya Bah, sebentar saya panggilkan dulu," jawab Ibrahim.

Ibrahim membuka pintu kamar Dimas dan melihat Pria itu sedang mendengarkan suara video contoh observasi menggunakan earphone. Ibrahim pun menepuk pundaknya, sehingga Dimas berbalik dan menatapnya agak terkejut.

"Abah datang, Beliau ingin menemuimu," ujar Ibrahim.

Dimas pun segera mematikan laptopnya lalu bergegas keluar dari kamar untuk menemui Abah. Abah tersenyum saat melihatnya.

"Masih mengerjakan skripsimu Nak?," tanya Abah.

"Iya Bah, afwan karena saya tidak mendengar kalau Abah datang. Saya sedang mendengarkan video contoh observasi untuk skripsi saya," jawab Dimas.

"Tidak apa-apa, saya mengerti. Sebenarnya, ada yang ingin saya rundingkan pada kalian bertiga," ujar Abah.

Mereka bertiga kini menatap Abah dengan serius.

"Saya berniat, ingin menjodohkan Ukhti Nina."

Deg!!!

Wajah Dimas memucat mendengar apa Abah putuskan untuk Nina.

"Dia sangat tahu diri bahwa dirinya adalah janda yang sudah memiliki satu orang anak. Dia tahu kalau tidak akan ada Pria yang mengkhitbahnya lagi seperti dulu. Jadi, setelah Ummi dan saya menanyakan padanya apakah dia bersedia untuk dijodohkan dengan seseorang yang mungkin nanti akan kami pilih, Ukhti Nina pun menjawab setuju dengan saran kami," jelas Abah.

Fikri dan Ibrahim melirik ke arah Dimas yang tak berkomentar apapun. Pria itu memang terlalu pendiam, mereka sangat tahu itu. Tapi, apakah dalam keadaan seperti ini dia akan tetap diam?

"Saya dan Ummi menjelaskan padanya, bahwa tidak baik jika kita hidup hanya seorang diri. Akan sangat baik jika kita memiliki pendamping yang bisa menjadi penuntun hidup, agar hidupnya tidak ganjil. Lagipula, Najifah butuh sosok seorang Ayah di masa pertumbuhannya nanti," Abah meminum tehnya sambil menatap wajah Dimas yang datar.

Ia berusaha menerka-nerka apa yang sedang Pria itu pikirkan. Sama persis seperti yang Ibrahim dan Fikri lakukan.

Abah pulang setelah hujan berhenti, Fikri mengunci pintu rumah, Ibrahim masih duduk di kursinya, dan Dimas memilih untuk segera masuk ke kamarnya. Ibrahim menatap Fikri namun mereka tak mampu mengatakan apapun.

Dimas berbaring di tempat tidurnya seraya menatap langit-langit kamar. Ia tak mengerti, mengapa dadanya seakan seperti baru saja dihantamkan sesuatu yang berat. Sesak, begitu sesak sehingga ia kesulitan bernafas. Airmatanya mengalir tanpa ia sadari, saat mengingat Nina dan Najifah yang begitu ia sayangi.

Kenapa menjadi seperti ini? Bukankah dirinya ingin Nina bahagia bersama Najifah? Abah benar, hidupnya tidak boleh ganjil dan Najifah harus memiliki sosok seorang Ayah di masa pertumbuhannya. Lalu kenapa tiba-tiba ia merasa takut kehilangan bayi cantik itu? Kenapa tiba-tiba ia takut tak bisa menggendong dan merawatnya? Kenapa?

Tok..., tok..., tok...!!!

Suara ketukan di pintu kamar membuat Dimas sadar dari lamunannya. Ia mengusap airmata di wajahnya lalu membuka pintu kamarnya. Wajah Abah kembali terlihat dengan jelas di depan pintu. Abah kembali ke rumah itu karena meninggalkan kunci rumah di meja, namun saat tahu Dimas mengurung diri, ia pun jadi enggan untuk pulang.

"Ya Allah Nak, sampai kapan kamu akan terus begini?," tanya Abah, yang melihat sisa-sisa airmata di wajah Dimas.

Dimas terdiam di tempatnya berdiri, ia tak tahu harus menjawab apa atas pertanyaan dari Abah.

"Katakan..., kamu bersedia atau tidak untuk menikah dengan Ukhti Nina? Apakah kamu bersedia untuk menjadi Imam yang akan menuntunnya? Apakah kamu bersedia untuk menjadi Abi dari Puterinya dan akan mendidiknya seperti Puterimu sendiri?," Abah menekan semua kata-katanya.

Kedua mata Dimas kembali berkaca-kaca karena menahan airmatanya, ia merasa dadanya semakin sesak.

"Apakah Ukhti Nina bersedia menerima saya? Saya ini banyak memiliki kekurangan, saya tidak seperti Almarhum Akh Irham yang punya banyak kelebihan. Saya takut tidak bisa membahagiakannya dan Najifah karena kekurangan yang saya miliki ini. Saya tidak yakin dengan diri saya sendiri Bah," ungkap Dimas, jujur.

"Kamu merasa kurang dalam hal apa? Coba katakan pada Abah, di mana letak kekurangan dirimu yang kamu takuti itu?."

Dimas kembali terdiam.

"Nak, di dunia ini semua manusia memang memiliki kekurangan. Tapi kekurangan itu bukan untuk ditakuti ataupun menjadikan kita tidak percaya diri. Ketika Allah memberikan kita kekurangan, maka bisa dipastikan pada saat yang bersamaan Allah memberikan anugerah pada kita sebuah kelebihan. Kita bisa saja memiliki banyak kekurangan, akan tetapi jika kita tetap positif bersikap dalam menghadapi kekurangan tersebut, maka kekurangan itu justru bisa berbalik menjadi kelebihan. Jangan terlalu bersedih dengan kekurangan yang kita miliki di dunia ini, bersedihlah jika kita kurang beramal untuk akhirat," saran Abah.

"Akh Dimas, jangan memikirkan apa yang belum tentu di pikirkan oleh Ukhti Nina. Dia tidak pernah menilai orang lain dari kekurangannya. Lagipula, apa kekurangan Akh Dimas? Akh Dimas tidak pernah menyakiti siapapun, Akh Dimas juga tak pernah berbuat jahat, Akh Dimas tidak pernah lalai dalam ibadah, lalu kurangnya di mana?," tanya Fikri.

"Dengar itu..., bahkan sahabatmu sendiri tidak tahu kekurangan yang mana yang sedang kamu takutkan. Nak, percayakan semua pada Allah. Karena Allah tidak akan pernah salah ketika menentukan takdir hamba-hamba-Nya yang beriman. Allah akan selalu memberikan yang terbaik untuk hidupmu dan juga hidup Ukhti Nina. Abah yakin, kalian akan menjadi Orangtua yang sangat baik untuk Najifah. Sekarang putuskan, jika saya menjodohkanmu dengan Ukhti Nina, apakah kamu akan menerimanya, menikahinya, dan menjadi Imam yang baik untuknya?," tanya Abah, bersungguh-sungguh.

Dimas menatap Abah tanpa merasa ragu.

"Iya, Insya Allah saya akan menerima Ukhti Nina dengan semua kekurangan yang dia miliki. Insya Allah saya akan menikahinya dan menjadi Suami serta Abi yang baik untuk Ukhti Nina juga Najifah," jawab Dimas, setelah memantapkan hatinya.

"Alhamdulillah," Ibrahim dan Fikri merasa lega seketika.

Abah tersenyum sambil menepuk-nepuk pundak Dimas dengan tegas.

"Jaga mereka berdua, Insya Allah dengan memegang amanah ini, Allah akan selalu memberikan yang terbaik untuk kehidupan kalian," Abah meyakinkan.

'Insya allah. Amiin yaa rabbal 'alamin.'

* * *

MujahidahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang