EPISODE 25

1.8K 154 2
                                    

BERJIHAD

Dimas melepas earphone yang sejak tadi ia pakai untuk mendengar Radio dari ponselnya. Acara itu sudah selesai, ia lega karena Nina bisa melaluinya tanpa merasa canggung dengan rekan yang baru dikenalnya. Ia hendak kembali menuju kelas yang di ajarnya di MTs itu, namun keberadaan Silvi yang sama-sama KKN dengannya di sana membuatnya berhenti melangkah.

"Bagaimana siarannya? Apakah Ukhti Nina terdengar baik-baik saja?," tanya Silvi, yang tak sempat mendengarkan sendiri siaran itu melalui ponselnya.

"Alhamdulillah, Ukhti Nina terdengar baik-baik saja. Dia tidak canggung sama sekali," jawab Dimas.

Ada kelegaan yang tergambar di wajah Silvi, Dimas melihatnya sekilas.

"Alhamdulillah Ya Allah. Afwan karena saya bertanya pada Akh Dimas, saya tadi tidak sempat mendengarkan sendiri, karena ternyata kelas yang saya ajar mengadakan ulangan hari ini," jelas Silvi.

"Ya, tidak apa-apa Ukhti. Saya mengerti," balas Dimas.

Pria itu segera berlalu meninggalkan Silvi. Silvi menatap punggungnya dan mendesah sesaat. Dimas tak lagi sama dengan Dimas yang dulu ia kenal. Bukan lagi sosok ceria yang selalu tersenyum di manapun dan kapanpun. Sejak tragedi yang menimpa Nina terjadi, Dimas seakan kehilangan sesuatu dalam dirinya, sama seperti Nina yang sempat depresi.

Ponsel Silvi bergetar dan ia segera mengangkat telepon itu ketika melihat nama yang tertera di layarnya.

"Assalamu'alaikum," sapa Silvi.

"Wa'alaikum salam Ukhti Silvi, jam berapa Ukhti pulang nanti sore?," tanya Hilda.

"Insya Allah sekitar jam empat sore saya sudah pulang Bu. Ada apa sehingga Ibu menelepon saya?," Silvi bertanya balik.

"Ada petugas dari kepolisian datang ke sini. Mereka ingin menyampaikan beberapa hal pada Ukhti Nina, terkait dengan perkara pembunuhan yang dilakukan oleh Ibu Tirinya," jawab Hilda.

Silvi terdiam beberapa saat.

"Apakah ada perkembangan dalam kasus itu Bu?," Silvi mencoba tenang.

"Menurut mereka ada beberapa perkembangan, rinciannya akan mereka sampaikan sendiri pada Ukhti Nina."

"Baik kalau begitu Bu, saya akan segera menjemput Ukhti Nina pulang ke pondok begitu jam mengajar saya selesai."

Silvi menjadi gamang untuk beberapa saat. Ia memikirkan banyak spekulasi yang akan terjadi, jika Nina mungkin saja akan lepas kendali lagi ketika mendengar apa yang akan Polisi sampaikan kepadanya.

Ia pun berinisiatif untuk memberitahu Dhiba dan Sarifa, agar mereka berdua pun ikut menemani Nina nanti sore.

Dimas menutup teleponnya setelah Abah memberi tahu kabar yang sama dengan yang Silvi terima. Ia duduk di tempatnya sambil memejamkan kedua matanya. Seseorang menepuk pundaknya tiba-tiba.

"Astagfirullah Akh, kamu membuatku kaget!," seru Dimas.

"Masya Allah Akh..., apa yang kamu pikirkan sehingga begitu serius dan tak menyadari kedatanganku sejak tadi?," tanya Ibrahim.

Dimas menatap Ibrahim dengan serius.

"Abah meneleponku. Beliau bilang Polisi datang ke Pesantren dan mencari Ukhti Nina, ada perkembangan yang akan mereka sampaikan padanya mengenai kasus pembunuhan itu," jawab Dimas.

"Lalu, apakah Ukhti Nina sudah diberitahu?," tanya Ibrahim lagi.

"Entahlah, Abah bilang Ummi sudah meminta seseorang untuk memberitahunya. Tapi aku tidak tahu siapa orang itu."

Ibrahim menghela nafasnya beberapa saat. Mereka sama-sama terdiam.

"Kira-kira, apa reaksi Ukhti Nina nanti? Apakah dia benar-benar bisa bertahan?," Ibrahim bertanya pada dirinya sendiri.

Dimas tak bisa memberi jawaban.

* * *

Nina duduk di sofa tepat di samping Ummi Kalsum. Dhiba, Silvi dan Sarifa ada di belakang mereka.

"Begini Ibu Nina, kami sudah mencari jejak tersangka namun belum mendapatkannya. Namun ada satu hal yang mungkin bisa kami berikan saat ini pada Ibu Nina," ujar Polisi tersebut.

"Apa itu Pak?," tanya Nina.

Polisi itu mengeluarkan sebuah map berisi surat-surat dan segera menyerahkannya pada Nina.

"Itu adalah surat-surat rumah milik Almarhum Orang tua Ibu Nina. Jadi, tersangka menjual cepat rumah tersebut dengan harga sangat murah sebelum melarikan diri. Tetangga di dekat rumah itu membelinya tanpa curiga dan saat wajah tersangka masuk dalam berita di televisi, barulah mereka melaporkan kepada pihak kepolisian," jelas Polisi tersebut.

Nina menitikkan airmatanya perlahan ketika mengingat semua kenangannya bersama Almarhumah Ibu dan Almarhum Ayahnya, namun ia segera menyeka airmata itu dengan cepat.

"Kalau boleh tahu Pak, siapa tetangga saya yang membeli rumah itu?," tanya Nina.

"Namanya Pak Ali Khairul, Beliau juga ketua RT yang baru di kompleks perumahan itu," jawab Polisi itu lagi.

"Saya akan menemui Beliau untuk berterima kasih dan mengganti kerugian atas pembelian rumah itu. Tapi, saya punya rencana jika Pak Polisi mau membantu saya," ujar Nina.

"Apa yang bisa kami bantu Ibu Nina?."

Semua orang menatap Nina dengan serius.

"Begini Pak, Rena memiliki seorang Puteri bernama Hana. Hana itu memiliki gangguan mental. Lebih tepatnya dia sering berhalusinasi mengenai apa yang ia inginkan. Dia sering berpikir seakan-akan bahwa dirinya adalah orang yang paling berhak memiliki keinginan. Saat ini, saya yakin sekali kalau Hana sedang berada dalam halusinasi tentang memiliki Almarhum Suami saya yang begitu dia inginkan. Dia pikir, dengan meninggalnya Suami saya, maka hanya dia yang bisa memiliki Suami saya meskipun dalam keadaan mati," jelas Nina.

"Tunggu..., tunggu dulu..., jadi maksud Ukhti, Ibu Tiri Ukhti itu membunuh Suami Ukhti karena permintaan Hana? Agar halusinasinya terpenuhi?," tanya Hilda, yang kebingungan.

"Iya Bu, itu yang saya maksud. Niat Rena mungkin hanya ingin membunuh Mas Irham, tapi tanpa dia duga ternyata Ayah saya yang selama ini disembunyikan ternyata masih hidup dan dia pun akhirnya ikut membunuhnya bersama Mak Atiyah pengasuh saya," jawab Nina.

"Jadi intinya, tersangka Rena ini hanya ingin membunuh Suami Ibu Nina saja? Dan dia membunuh Ayah beserta pengasuh Ibu karena mereka berada di tempat yang salah saat itu?," tanya Polisi itu.

"Benar Pak, itulah yang sebenarnya pasti terjadi. Bapak lihat sendiri surat-surat ini, seandainya saja dia tidak tahu kalau Ayah saya masih hidup, maka rumah ini tidak akan pernah dia jual. Dia mati-matian menyingkirkan saya dan Almarhum Ayah saya dari rumah itu untuk menguasai semuanya. Namun karena dia melakukan kesalahan, maka dia segera melepas rumah ini dengan cepat sebelum Polisi menemukannya."

"Baiklah, jadi apa rencana Ibu Nina?."

Nina pun memantapkan hati.

* * *

MujahidahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang