EPISODE 58

1.5K 138 0
                                    

ADIL

Sarifa menatap baik-baik dua buku catatan siswa yang sedang dipegangnya. Ia sama sekali tak mengalihkan pandangannya untuk benar-benar fokus pada kedua buku itu saja. Batinnya bergejolak sejak seminggu yang lalu, di mana ia mendapati dua buah buku dengan tulisan yang sama persis namun beda pemilik.

Ia bahkan telah meminta pendapat Dhiba, dan Wanita itu juga yakin sekali kalau tulisan dalam kedua buku itu memang sama persis. Sama sekali tidak bisa dibedakan.

Sarifa memutar otak sambil menunggu jam pelajarannya yang akan berlangsung satu jam lagi. Kedua buku itu ia simpan dalam tasnya bersama buku-buku milik siswa lain.

Fikri dan Ibrahim tiba di Ruang Guru usai mengajar di jam pelajaran mereka masing-masing. Sarifa pun mendekat secepatnya.

"Akh Fikri..., Akh Ibrahim..., boleh saya meminta tolong?," tanya Sarifa, sopan.

"Iya Ukhti, tentu saja boleh," jawab Fikri.

"Apa yang bisa kami bantu Ukhti?," tanya Ibrahim.

"Begini, saya ingin meminta pada Akh Fikri dan Akh Ibrahim untuk mengumpulkan buku catatan siswa dan siswi di kelas Sepuluh-Tiga. Hanya buku catatan yang sesuai dengan Mata Pelajaran yang Akh Fikri dan Akh Ibrahim ajar," jawab Sarifa.

Fikri dan Ibrahim saling pandang sejenak.

"Baiklah Ukhti, saya akan meminta siswa kelas Sepuluh-Tiga untuk mengumpulkan buku catatan Al-Qur'an Hadits," balas Fikri.

"Saya juga akan meminta mereka mengumpulkan buku catatan Fiqih," tambah Ibrahim.

"Alhamdulillah..., syukron Akh, saya sangat menghargai bantuan kalian berdua hari ini," ungkap Sarifa, lega.

Sarifa masuk ke kelas Sepuluh-Tiga yang akan diajarnya hari ini.

"Assalamu'alaikum," ucap Sarifa saat memasuki pintu.

"Wa'alaikum salam," jawab semua siswa dan siswi dalam kelas itu.

Sarifa meletakkan buku catatan di atas mejanya dan meminta salah satu siswi untuk membagikannya pada pemilik buku. Sarifa membuka buku Panduan Mata Pelajaran Ekonomi, ia tidak meminta Sekretaris kelas untuk menulis seperti biasanya. Ia hanya diam sampai semua buku catatan selesai dibagikan.

"Baiklah, semua buku catatan kalian sudah dibagikan. Sekarang Ibu akan mendiktekan materi hari ini, dan kalian harus langsung menulis di buku catatan masing-masing. Setelah selesai nanti dikumpulkan lagi untuk Ibu nilai," ujar Sarifa.

Mereka pun segera menyiapkan alat tulis untuk mencatat apa yang akan Sarifa diktekan pada mereka hari itu.

Tok..., tok..., tok...!!!

"Assalamu'alaikum, maaf Bu Sarifa saya mengganggu sebentar," ujar Fikri.

"Wa'alaikum salam Pak Fikri, silahkan."

Fikri menatap ke arah seluruh siswa dan siswi dalam kelas itu saat ia berdiri di ambang pintu.

"Tolong kalian semua kumpulkan buku catatat Al-Qur'an Hadits ya, Bapak belum memberi nilai untuk hasil catatan kalian. Nanti serahkan pada Bapak di Ruang Guru setelah jam Mata Pelajaran Ibu Sarifa selesai," pinta Fikri.

"Baik Pak!."

"Baik Bu Sarifa, syukron atas waktunya."

"Afwan Pak Fikri."

Sarifa kembali menatap buku panduannya. Ibrahim muncul tak lama kemudian di ambang pintu yang sama.

"Assalamu'alaikum Bu Sarifa, boleh minta wakti sebentar?," tanyanya.

"Wa'alaikum salam, silahkan Pak Ibrahim."

Ibrahim menatap ke arah siswa dan siswi kelas itu sama seperti yang Fikri lakukan.

"Tolong kalian semua mengumpulkan buku catatan Fiqih ya, Bapak akan mengambil nilai dari catatan kalian," pinta Ibrahim.

"Baik Pak!."

"Syukron Bu Sarifa," ujar Ibrahim.

"Afwan Pak Ibrahim."

Sarifa bersorak senang dalam hati. Misi awalnya berjalan lancar tanpa hambatan.

* * *

Sarifa duduk berdampingan dengan Dhiba dan Ummi Kalsum saat memperlihatkan apa yang ia temukan. Fikri dan Ibrahim pun menatap tak percaya pada catatan dua orang siswa yang tulisannya bisa sama persis pada tiga mata pelajaran yang berbeda.

"Astaghfirullah hal 'adzhim..., saya sama sekali tidak pernah memeriksa buku catatan mereka selama ini. Saya benar-benar tidak menduga hal seperti ini bisa terjadi," ujar Ibrahim, merasa bersalah.

"Lihat ini Akh Ibrahim..., Akh Fikri..., ini adalah hasil tulisan tangan dari Ahmad Ali saat kemarin saya mendiktekan materi secara langsung," Sarifa memberikan tulisan yang berbeda.

"Jadi tulisan yang rapi dan bagus ini adalah milik Muhammad Zainal?," tanya Abah.

"Betul sekali Bah, dan Abah harus tahu kalau Zainal ini sangat pendiam. Dia tidak pernah membalas jika diejek, dan juga tidak melawan jika diperintah-perintah oleh teman-temannya," jawab Sarifa.

"Kalau begitu hal ini tidak bisa dibiarkan terus-menerus. Akan jadi hal yang buruk bagi Zainal jika kita tidak memberi sanksi pada Ali," ujar Ummi Kalsum.

"Assalamu'alaikum," ujar Zainal dan Ali bersamaan.

"Wa'alaikum salam."

Mereka berdua masuk ke dalam Masjid yang sedang tak di pakai pagi itu. Semua yang ada di sana menatap mereka.

"Apa kalian berdua tahu kenapa kalian dipanggil ke sini?," tanya Abah.

"Tidak Bah," jawab mereka, serempak.

"Saya menerima laporan dari ketiga Guru kalian, bahwa tulisan dalam buku catatan kalian berdua sama persis. Lalu bagaimana kalian akan menjelaskan masalah ini?," tanya Abah lagi.

Ali melirik ke arah Zainal sesaat, ia memberi tanda untuk berpura-pura tidak tahu.

"Kami tidak tahu Bah, mungkin memang gaya menulis kami sama," jawab Ali, tenang.

Sarifa tertawa kesal dari balik niqob-nya karena mendengar jawaban itu. Ia menatap ke arah Ali dengan sinis.

"Apa kamu bilang? Gaya menulismu dan Zain memang sama? Lalu ini apa?," tanya Sarifa sambil memperlihatkan hasil tulisan tangan asli milik Ali saat ia mendikte materi kemarin.

Ali terdiam, Sarifa pun membanting buku catatan itu ke lantai.

"Jadi kamu membully Zain dan menyuruhnya menulis di semua buku catatanmu? Begitu?," tekan Sarifa.

"Tidak Bu! Saya tidak menyuruh Zain untuk menulis apapun di buku catatan saya!," balas Ali keras, tanpa rasa takut.

"Ali! Turunkan nada bicaramu!," bentak Ibrahim.

Sarifa kembali tersenyum sinis di balik niqob-nya.

"Saya sudah tidak asing ketika mendengar seorang pembully yang mengelak akan perbuatannya. Sekarang saya akan bertanya pada kamu Zain," Sarifa menatap Zainal yang terus saja menunduk sejak tadi, "..., katakan pada Ibu bagaimana bisa tulisanmu ada di buku catatan milik Ali?."

Zainal tetap diam, ia terlihat sekali merasa takut pada orang yang ada di sampingnya. Sarifa mengerti akan hal itu, ia segera mendekat pada Ummi Kalsum dan membisikkan sesuatu. Ummi Kalsum pun memberitahu Abah, lalu Abah pun mengangguk setuju dengan ide yang Sarifa sarankan.

Sarifa kembali berdiri di hadapan Ali dan Zainal.

"Saya akan memberikan kalian berdua hukuman. Kalian harus menulis sebanyak lima ribu halaman tentang permintaan maaf dan penyesalan. Hukuman ini akan dibatalkan jika ada salah satu dari kalian berdua yang mengakui siapa pembully dan siapa yang dibully!," tegas Sarifa.

* * *

MujahidahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang