SEUNTAI ASA
Nina menatap ke arah langit sore dari balik jendela masjid. Pandangannya menerawang jauh, persis seperti pikirannya yang juga mulai mengingat sesuatu yang jauh dari hidupnya saat ini.
Ia mengingat dengan jelas bagaimana kehidupannya yang dulu sebelum Almarhumah Ibunya meninggal dunia. Semua dipenuhi kebahagiaan. Canda tawa, perhatian, dan kasih sayang ia terima dengan lengkap dari kedua orang tuanya. Namun semua berubah di kala Almarhumah Ibunya sudah tiada.
Flashback On
Damar menggenggam tangan Nina yang masih berusia dua belas tahun saat itu, ia menatapnya dengan raut wajah penuh permohonan di hadapan Puterinya sendiri.
"Nina..., Ayah mohon padamu Nak. Ayah tidak bisa mengurusmu sendirian karena harus bekerja. Tante Rena ini akan menjadi Ibu yang baik untuk kamu, dia juga punya anak perempuan dan anaknya akan menjadi Adikmu," bujuk Damar.
Nina terdiam seraya menundukkan wajahnya. Ia menangis diam-diam.
"Ibu...," ujarnya, lirih.
"Ibumu sudah meninggal Nak. Ibu tidak akan bisa lagi mengurusmu. Ayah juga tidak bisa selamanya memperhatikanmu, Ayah harus bekerja mencari nafkah untuk kita," jelas Damar.
"Ibu nggak boleh diganti," pinta Nina.
"Kita tidak punya pilihan lain Nak...," Damar terus mencoba.
Rena yang sudah kesal karena terus saja berdiri seperti patung sejak tadi pun segera mendekat dan merangkul Nina dengan lembut.
"Sayang, tidak ada yang akan mengganti Ibumu. Tante akan menikah dengan Ayahmu hanya untuk membantunya mengurus kamu dan memperhatikan kamu. Kamu tidak perlu khawatir, Ibumu tetap akan menjadi satu-satunya Ibu dalam kehidupanmu," bujuk Rena.
Nina menatapnya lekat-lekat. Anak kecil berusia dua belas tahun itu berusaha mencari kebohongan dari kedua mata Rena. Ia ingat apa yang dikatakan oleh Almarhumah Ibunya bahwa mata adalah jendela hati manusia, jadi ia pun berusaha untuk melihat kebohongan dari wanita itu.
"Benar apa yang dikatakan oleh Tante Rena, kamu tidak perlu risau karena Ibumu ya tetap Ibumu. Ayah takkan menggantinya," tambah Damar.
Nina tak bisa lagi menolak. Segala upaya telah ia lakukan untuk mencegah pernikahan itu agar tak terjadi. Tapi..., apalah daya seorang anak kecil berusia dua belas tahun?
Flashback Off
"Ukhti???."
Seseorang menepuk bahunya hingga Nina tersadar dari lamunannya. Ia menatap ke arah Sarifa yang ternyata sudah berulang-ulang kali menegurnya sejak tadi.
"Ukhti Nina kenapa? Ada masalah?," Sarifa terlihat begitu khawatir.
Nina menatapnya lekat-lekat.
"Ya Allah..., kenapa Ayahku sendiri tak pernah menunjukkan kekhawatiran seperti yang kulihat di wajah sahabatku? Apa aku begitu tak berarti bagi Ayahku sendiri?," bisik Nina, dalam hati.
Ia pun tersenyum.
"Saya baik-baik saja Ukhti, afwan kalau saya tidak mendengar teguran Ukhti tadi. Saya terlalu menikmati indahnya langit yang Allah perlihatkan sore hari ini," jawab Nina, tanpa bermaksud berbohong pada Sarifa.
Sarifa pun akhirnya tersenyum lega saat mendengar jawaban itu dari mulut Nina.
"Alhamdulillah kalau begitu. Saya pikir Ukhti kembali memikirkan masa lalu, sehingga saya ketakutan kalau Ukhti akan kembali lagi berdiam diri seperti dulu," ungkap Sarifa, dengan jujur.
Nina menarik tangan wanita itu dan mengajaknya duduk di beranda masjid.
"Kenapa Ukhti berkata begitu? Apa saya begitu menakutkan saat berdiam diri?," tanya Nina.
Sarifa tertawa pelan dari balik niqob-nya.
"Bukan begitu Ukhti..., mana mungkin wajah secantik ini bisa terlihat menakutkan? Bukan itu maksud saya...," jelas Sarifa.
Nina terdiam sesaat.
"Bisa Ukhti..., wajah secantik apapun bisa terlihat menakutkan jika hatinya buruk," ujar Nina.
"Ukhti sedang membicarakan apa? Kenapa tiba-tiba berbicara seperti itu?," tanya Sarifa.
Nina menatapnya.
"Saya sedang membicarakan wanita yang masuk ke dalam hidup Ayah saya dan sekaligus merusak hidup saya Ukhti. Dia adalah orang yang cantik..., sangat cantik..., tapi menakutkan," jawab Nina.
"Menakutkan bagaimana Ukhti?."
"Dulu Almarhumah Ibu saya selalu mengatakan bahwa kita bisa melihat kebohongan seseorang melalui matanya, karena mata adalah jendela hati setiap manusia. Namun percayalah Ukhti, saya tidak pernah bisa menemukan kebohongan dari kedua matanya di wajah cantik itu. Dia begitu sempurna sehingga tak akan ada satu orang pun yang percaya bahwa dia adalah orang jahat," jelas Nina.
"Termasuk Ayah kandung Ukhti sendiri?," Sarifa penasaran.
"Ya..., termasuk Ayah saya sendiri. Saya tidak pernah tahu bahwa saran wanita itu untuk mengirim saya ke sini adalah permulaan baginya untuk menyingkirkan saya dari rumah Orang tua saya sendiri. Bahkan ketika akhirnya dia dan anaknya menyusun rencana untuk merusak perjodohan saya, Ayah saya tetap tidak menyadari betapa jahatnya wanita itu. Ayah saya tetap memilih dia daripada saya," ungkap Nina.
Sarifa merangkul Nina dengan lembut.
"Ukhti..., memang benar bahwa mata adalah jendela hati manusia. Tapi bukan berarti, semua orang bisa melihat kebohongan, kejahatan, dan juga keburukan melalui mata orang lain. Kita sebagai manusia biasa hanya bisa berserah diri kepada Allah agar di jauhkan dari semua hal buruk yang berasal dari manusia lain. Ukhti jangan menyesali apa yang sudah terjadi, serahkan saja kepada Allah agar Ukhti menjadi lebih tenang," saran Sarifa.
Nina tersenyum dari balik niqob-nya.
"Ukhti Sarifa..., apakah menurut Ukhti, Ayah saya baik-baik saja saat ini?," Nina begitu terlihat cemas.
Sarifa tersenyum lembut.
"Insya Allah Ukhti Nina. Allah akan selalu menjaga Ayah Ukhti, jika Ukhti Nina tidak pernah lupa untuk mendo'akannya. Karena Allah selalu tahu, bagaimana cara mengabulkan do'a hamba-hamba-Nya yang Shaleh dan Shalehah," jawab Sarifa.
Nina merasa lega mendengarnya, ia pun bersandar di pundak sahabatnya dengan nyaman.
Seseorang yang mendengarkan percakapan itu hanya berdiam diri di samping masjid tanpa berani menunjukkan dirinya. Ia menatap ke arah langit yang kini telah berubah menjadi gelap. Hatinya bergemuruh hebat setiap kali memikirkan nama Nina. Namun bibirnya tetap terkunci karena rasa takut pada Allah yang mungkin saja tidak menakdirkan dirinya untuk menjadi pendamping hidup wanita itu.
'Allah juga akan melindungimu, aku akan terus berdo'a untuk keselamatan dan kebahagiaanmu. Insya Allah.'
"ALLAHU AKBAR..., ALLAAAHU AKBAR!!!."
Gema takbir yang memanggil setiap hamba-Nya mulai berkumandang. Malam kembali menyelimuti dunia yang fana.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Mujahidah
Spiritual[COMPLETED] Ya Allah, jika memang bukan takdirku maka ambillah jika memang tak halal untukku maka ambillah jika memang tak baik untukku maka ambillah jika memang tak berkah untukku maka ambillah Namun jika itu adalah takdirku, halal untukku, baik un...