EPISODE 26

1.7K 141 1
                                    

PERTENTANGAN

"Tidak Ukhti Nina, jangan lakukan ide gila yang Ukhti pikirkan!," Dimas benar-benar kehilangan kendali.

"Ini bukan urusan Akh Dimas, ini urusan saya. Saya berhak melakukan apapun demi keluarga saya. Almarhum Ayah, Suami dan bahkan Almarhumah Mak Atiyah berhak mendapatkan keadilan atas apa yang sudah menimpa mereka. Saya tidak bisa diam saja terus-menerus seperti ini Akh, hidup saya tidak akan tenang," jelas Nina.

"Tapi tidak dengan cara seperti ini Ukhti Nina. Ukhti sedang mengandung, bagaimana jika mereka benar-benar datang kembali seperti dugaan Ukhti ke rumah itu, dan menyakiti Ukhti lagi seperti sebelumnya?," Dimas memohon.

"Ukhti Nina, apa yang Akh Dimas katakan itu benar. Keselamatan Ukhti dan bayi yang sedang Ukhti kandung akan terancam jika mereka tahu kalau Ukhti tidak hancur seperti yang mereka harapkan," tambah Reza.

"Ukhti, kita akan cari jalan keluarnya, tapi tidak dengan menggunakan ide yang Ukhti utarakan pada Polisi. Mereka mungkin setuju begitu saja karena mereka tidak mengenal Ukhti. Tapi kami semua yang ada di sini sangat mengenal Ukhti dan tidak ingin Ukhti celaka," Fikri ikut tidak setuju.

Ummi Kalsum merangkul Nina dengan lembut.

"Nak, Ummi tahu kamu ingin memberi keadilan untuk keluargamu, tapi apakah kamu sudah berpikir ulang sebelum mencetuskan ide seperti ini? Apakah kamu memikirkan calon bayi yang ada dalam kandunganmu? Apakah menurutmu yang akan kamu lakukan itu adil untuknya?," tanya Ummi Kalsum.

Nina menangis.

"Sudah tidak ada jalan lain Mi, semua akan sia-sia jika saya tidak melakukan apapun. Mereka akan selamanya bebas dan tertawa di atas penderitaan keluarga saya yang sudah mereka bunuh. Ummi lihat sendiri, saya bahkan tidak bisa menguburkan jasad Ayah, Suami dan Mak Atiyah sebagaimana mestinya karena kekejian yang mereka lakukan. Mereka bukan manusia Mi, mereka tidak boleh lolos," ungkap Nina, yang sudah tidak tahan menyimpan dukanya sendiri.

Abah menatap seluruh santri dan santriwatinya yang masih berkumpul di teras rumah itu. Pria paruh baya itu menghela nafas panjang dan menghembuslannya dengan berat.

"Apa yang Nina usulkan adalah hal paling masuk akal yang bisa dia lakukan. Dia benar, hanya itu jalan satu-satunya jika ingin mereka tertangkap," ujar Abah.

"Tapi kondisi Ukhti Nina tidak memungkinkan untuk menjalani rencana tersebut Bah, kami semua takut jika nanti terjadi sesuatu padanya. Bagaimana kita akan mencegah itu?," tanya Ibrahim.

"Astaghfirullah..., mau sampai kapan perdebatan ini terjadi? Apa kalian tidak capek terus saja mengulang-ulang pertanyaan yang sama sejak tadi?," tanya Dhiba, sambil melirik Ibrahim dengan kesal.

Silvi menarik nafasnya beberapa saat.

"Begini saja, kalau memang kalian semua merasa keberatan dengan ide dari Ukhti Nina karena mengkhawatirkan keselamatannya, dan tidak ingin Ukhti Nina melakukan ide itu sendirian, maka lakukanlah ide itu bersama-sama! Kalian ikutlah semua bersamanya agar bisa menjaganya dari bahaya. Bagaimana? Bukankah itu lebih baik?," tanya Silvi.

"Benar itu, daripada kalian semua berdebat terus-menerus tanpa ada ujungnya, lebih baik mengambil jalan tengah. Kami juga akan ikut untuk mendampingi Ukhti Nina di lantai dua rumah itu, dan kalian bisa tinggal di lantai satu untuk memantau keadaan di luar saat malam datang. Lagipula, beberapa anggota kepolisian juga akan ikut melakukan pengintaian di sana," tambah Sarifa.

Mereka pun saling pandang beberapa saat seakan meminta pendapat yang paling baik. Abah dan Ummi Kalsum pun ikut memikirkan usulan tersebut.

"Baiklah, saya setuju. Saya akan ikut," ujar Dimas.

MujahidahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang