Satu-- Cibiru

328 21 4
                                    

           Suara klakson sudah tak begitu bising, aku benar-benar meninggalkan Jakarta. Aku tinggal bersama nenek ku disini.
Hari ini adalah hari pertama aku masuk sekolah kelas 11, aku pindah sekolah, dan sekarang aku sekolah disalah satu Sma negeri di kota Cibiru. Dan ini yang selalu jadi keinginanku sejak dulu. Bandung adalah kota kelahiranku, namun sejak kecil ibu dan ayah memilih menetap di Jakarta. Dan akhirnya aku dijauhkan dari kota ini. Aku suka sekali Bandung, aku cinta pada setiap sudut kotanya. Susana malam harinya membuatku serasa tenang.

Dua hari lalu, aku sudah disini. Dan aku akan tinggal disini sampai aku menyelesaikan pendidikanku.

***

Aku berjalan di kooridor sekolah, mencari kelas baruku disini. Sejak dari tadi senyum dibibirku tak pernah pudar sedikit pun. Suasana pagi di kota Bandung sangat membuatku benar-benar nyaman. Aku terus berjalan tanpa memperhatikan sekitar. Hingga akhirnya.

Brukkk.

Seseorang menabrakku hingga membuatku jatuh tersungkur ke lantai. Ah bokong ku sakit sekali. Aku berusaha bangun, dan merapikan seragam sekolahku, dan membenarkan rambutku.

"Lo jalan pake mata dong!" Ucap salah seorang laki-laki yang kulihat paling tampan diantara yang lainnya.

"Kalo punya mulut bisa gak dijaga?" Jawabku pada laki-laki bertubuh tinggi dan kulit sawo matangnya.

"Udahlah Venus, gausah ngeladenin cewe gakberguna kaya dia," Kata seorang laki-laki berkulit putih, yang kubaca nametag di bajunya adalah Rizky.

"Cewe Sampah!"

"Gaguna idup Lo."

"Kampungan."

"Culun!"

Semesta, dadaku sesak. Seburuk itukah diriku dihadapan mereka? Apa kesalahanku terlalu besar sehingga membuat mereka berkata seperti itu padaku? Semesta, aku benci mereka semua.


"Udahlah kita Pergi."

Aku masih diam, tak berkedip sedikitpun. Anak laki-laki itu sekarang sudah pergi dari hadapanku. Dan perlahan air mata menerobos pintu mataku, kenapa rasanya sesak sekali? Ku kira Bandung adalah kota cinta, banyak manusia ramah. Tapi nyatanya? Tidak seindah yang kubayangkan.

Aku berlari menuju toilet dan mencuci wajahku disana, aku tidak mau ada yang mengetahui jika aku menangis, aku takut sekali. Aku benci air mata.

Aku berbalik arah. Karena aku sudah selesai mencuci wajah, tapi tiba tiba aku menabrak seseorang untuk kedua kalinya.

Brukkk.

Semesta, semoga kali ini tidak akan ada masalah.

"OMG. Kalo jalan pake mata dong, Bedak gue pecah ni," Ucap seorang wanita sambil menatap sinis kearahku.

"Maaf, kak," Jawabku sambil menggigit bibir bawah, karena jujur hatiku merasa takut sekarang.

"Lo harus dikasih pelajaran. Seret dia gais!" Ucap seorang wanita bernama Fitri.

Dua wanita lainnya menggenggam tanganku dan menarik tanganku secara paksa.

"Heh, Sia teh teu waras apa kumaha? Gelo lain?" Suara yang benar-benar melengking.

"Gausah ikut campur!" Ucap Fitri sinis pada wanita yang kelihatannya berniat menolongku.

"Es campur kali ah."

Tanpa aba-aba dua wanita yang menggenggam tanganku melepaskan tanganku secara kasar, mereka berlalu pergi mengikuti Fitri yang sudah berjalan lebih dahulu.

"Ara."

"Hah?" Tanyaku merasa aneh dengan kata yang wanita itu ucapkan.

"Nama gue Ara," jawabnya sambil tersenyum ramah kearahku.

"Marsa Rinjani."

"Parah Men! Lo bukan manusia bumi ya?" Tanyanya mengintrogasi.

"Dari Saturnus."

***

Kini sudah masuk jam pelajaran, aku duduk disampingn Ara, cewe paling heboh dan berisik tentunya.

Oh iya, Tanpa disangka ternyata aku dan Ara satu kelas. Dan itu sangat membuat aku bahagia, ntah kenapa aku senang sekali.

Semuanya berjalan seperti biasa, aku mengikuti pelajaran dengan baik, hingga tanpa terasa bel sekolah sudah berbunyi. Aku merapikan buku, dan alat tulisku.

"Marsha lo harus hati-hati, jangan ceroboh," ucap Ara di sela-sela kegiatannya

"Makasih udah nolongin gue tadi pagi ya Ra."

Ara hanya mengacungkan jempolnya sambil berlalu pergi meninggalkanku, dan sekarang aku sendiri, menatap kelas yang sudah sepi tak perpenghuni, aku menghela nafas panjang dan membuangnya kasar.

"Ternyata hari-hari di kota cinta tidak berjalan sesuai rencana."

Aku berjalan menyusuri kooridor sekolah, dan berhenti di depan gerbang sekolah untuk menunggu angkutan umum.

***

Suasana malam di kota Bandung adalah waktu yang selalu ku nanti, suasana paling nyaman untuk melepas penat dari sekian banyak masalah.

Aku tengah bersiap-siap menggunakan celana panjang, kaos hitam dan kardigan merah maroon yang sudah terpakai rapih di tubuhku.

"Nek, Marsa izin keluar buat beli skoteng ya?" Kataku berbicara ramah pada nenek yang sedang fokus membaca surat kabar.

"Hati-hati ya, pulangnya jangan malam-malam sayang."

"Iya nek, Marsa pergi dulu ya," ucapku sambil mencium punggung tangan nenek.

Sekoteng adalah makanan yang tak aneh lagi di kota Bandung, mungkin memang sudah jadi favorit warga disekitar sini.

Aku berjalan menyusuri jalanan yang kebetulan tidak terlalu ramai, berandai-andai adalah hal yang biasa aku lakukan. Hingga sebuah kedai eskrim membuyarkan lamunanku yang panjang, aku berlari untuk menghampirinya dan segera memesan satu eskrim rasa durian.

"Bang eskrimnya satu rasa durian ya," kataku dengan bersemangat.

"Dua bang, Rasa nanas. Gapapa, rasanya beda yang penting setia."

Venusa MarsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang