15. Terdayuh

101 8 1
                                    

Jangan lupa vote & komen!
Happy Reading 😉

Pagi-pagi sekali Venus datang kerumahku, ya dia datang memintaku mengantarnya ke Bandara, bagaimana bisa aku akan kuat menahan air mata?

Aku menuruti kemauannya, aku harus bisa membiarkannya pergi, lagian kenapa sih ambil waktu penerbangan pagi? Kenapa nggak malam aja? Supaya dia bisa lebih lama disini?

Di dalam mobil aku hanya diam, menatap keluar jendela, pikiranku kosong, seperti manusia tak punya tujuan, Hingga akhirnya mobil kami terhenti dirumah mewah, rumah Venus tentunya. Aku turun dari mobil lalu mencium punggung tangan Tante Fiona dan om Erik.

"Marsa, baik-baik aja kan?" Tanya tante Fiona.

"Pasti nggaklah ibu! Mana ada manusia yang baik-baik saja jika ditinggal pergi oleh seseorang yang paling ia sayangi," Kata Ame mencawab dengan cengiran polosnya.

Tante Fiona hanya memegang pundakku, dan mengusapnya halus, kalian tahu aku sekarang bagaimana? Aku masih diam seperti patung tak punya nyawa. Kulihat Venus memperhatikanku, aku lihat tatapan sendu itu, aku tak peduli! Karena disini aku juga yang tersakiti.

Aku belum cerita satu hal ya? Jadi Venus masuk ke universitas ini bukan karena uang keluarganya, tapi karena kerja kerasnya, ia bilang dia mau berhasil dengan usahanya bukan memanfaatkan kekayaan orang tuanya. Ya, dia mendapatkan beasiswa.

Mobil yang kami tumpangi sudah melesat ke jalanan kota Bandung, om Erik yang mengemudi dan aku duduk di kursi belakang bersama Venus dan Ame. Aku masih diam, aku enggan bicara apa-apa. Karena percuma saja! Perpisahan tetap jadi jalan keluarnya.

Tak lama mobil kami sampai di Bandara, hatiku sesak sekali ketika melihat koper itu dibawa Venus, kenapa begini? Kenapa secepat ini? Om Erik, Tante Fiona dan Ame pergi ke salah satu tempat makan disini, mereka juga sudah berpelukan bersama Venus, mereka meninggalkan kami berdua, karena katanya kami butuh waktu untuk menerima ini semua.

"Mars," Panggilnya lirih.

"Mars," Aku diam.

"Marsa," Aku menoleh menatap wajahnya, air mata sudah kubendung sejak tadi, tapi lagi-lagi selalu lolos keluar menerobos pintu mataku, aku menatapnya sendu. Ia memelukku dan aku mengeratkan pelukan itu, kemeja hitam yang ia kenakan sudah basah karena air mataku.

"Mars, kamu baik-baik disini ya," Ucapnya.

Aku belum melepas pelukan itu, aku masih betah berlama-lama menangis di dada bidangnya, pelukanku semakin erat, dan dia hanya membiarkan aku, sambil mengelus pelan puncak kepalaku.

"Aku akan pulang untukmu Mars, untuk mimpi kita," Aku melepaskan pelukan itu, aku menatapnya.

"Kamu jangan genit ya!"

"Nggak akan Marsa."

"Jangan jadi pakboi lagi!"

"Nggak, aku sudah punya cinta sejatiku sekarang."

"Bohong!"

"Serius Mars, kamu Cintaku!"

"Janji ya?"

"Iya janji, kamu tunggu aku pulang ya?" Katanya sambil memegang pundakku, aku langsung mengangguk setuju.

"Jangan lupa selalu berkabar," Lanjutnya.

"Iya, yaudah sana, itu sudah boarding," Kataku sambil memasang senyuman paling palsu.

"Jaga diri baik-baik ya Mars, jangan makan eskrim banyak-banyak!"

"Iya, sana cepet jangan banyak bicara, sudah boarding Venus!"

"Kamu tunggu sampai pesawat aku take off ya?"

Venusa MarsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang