Gevan melangkahkan kakinya menyusuri sebuah gang yang akan mengantarkannya ke tempat kontrakannya. Malam yang begitu pekat tak membuat Gevan merasa gentar, bagaimanapun ia sudah terbiasa melewati jalan yang menurut sebagian orang amat menakutkan.
Ia berhenti di sebuah kontrakan yang memang sudah ia tempati selama beberapa bulan terakhir ini.
"aku pulang.." suara Gevan terdengar nyaring tepat saat ia membuka pintu. Namun hanya sepi yang menyambutnya. Yang menyambutnya hanya suara dari tetesan kran di wastafle.
Gevan hidup sendiri di tempat itu, ahh bahkan di dunia ini ia juga sendiri. Meskipun di dunia ini banyak sekali penghuninya namun nyatanya Gevan selalu merasa sendiri.
Dulu sekali ia pernah mempunyai kebahagian dimana ada ayah dan ibu yang selalu ada untuknya. Dulu sekali ia tak pernah merasa kesulitan hanya untuk makan sesuap nasi karena masih ada ayah yang mencari uang dan ibu yang selalu memasak untuknya dan sang ayah.
Namun itu dulu sebelum kecelakaan yang telah merengut semuanya dari Gevan. Ayah dan ibunya mengalami kecelakaan beruntun yang mengakibatkan mereka meninggal di tempat kejadian.
Dan saat itu Gevan baru memasuki kelas 9. Di umurnya yang masih 14 tahun ia sudah kehilangan segalanya. Dan mengharuskannya banting tulang untuk mencukupi kebutuhannya sendiri.
"ayah... Ibu... Bagaimana kabar kalian sekarang?. Gevan kesepian disini ibu. Gevan tak punya siapapun. Gevan lelah ingin menyusul kalian saja.
Ayah dan ibu tau tidak. Gevan punya teman dan dia baik banget sama aku. Setiap hari ia selalu ada untuk Gevan. Gevan sudah merasa nyaman banget sama dia.
Tapi Gevan takut, dia juga akan pergi seperti kalian. Gevan gak mau lagi merasakan kehilangan untuk kesekian kalinya lagi. Tapi Gevan juga gak mau jauh dari dia.Gevan udah terlalu nyaman sama dia".
Gevan membayangkan sosok Gilang yang menjadi temannya beberapa bulan ini. Jujur di dekat Gilang ia tidak kesepian dan bersama Gilang ia bisa tertawa seolah tanpa beban.
Namun di sisi lain ia teramat takut untuk di tinggal lagi saat ia benar-benar udah ketergantungan sama dia. Ia tidak mau merasakan sakit lagi. Tidak mau.
Gevan mengeratkan lagi selimut tipis yang membungkus tubuhnya. Ia kedinginan dan badannya terasa sakit semua. Sepertinya ia demam.
Dan malam ini Gevan habiskan dengan meratapi nasib yang sedang mengujinya. Ia ingin menyerah tapi ia juga tak mau mengecewakan kedua orang tuanya.
Ponselnya terus berdering, tapi tak ia hiraukan. Ia terlampau malas mengambil ponsel yang memang sedang ia charger di ruang tamu.
Biarkan saja terus berbunyi, toh tidak akan ada yang merasa terganggu sebab ia sendirian di kontrakan itu.
✂
✂
✂Hari ini Gilang pergi ke sekolah sendiri. Papa dan kak Saga sudah berangkat dari tadi katanya ada urusan yang harus mereka lakukan terlebih dahulu dan Gilang tak tau apa itu dan dia juga tidak mau tahu.
Gilang memutuskan untuk membawa montor sportnya dari pada naik mobil yang pastinya akan macet. Kalau naik sepeda motor kan ia bisa selip sana selip sini. Kek pembalap gitu.
Sesampainya di sekolahan ia segera memarkirkan sepedanya di tempat parkir. Mengabaikan tatapan murid-murid yang menatapnya dengan kagum. Toh ia sudah biasa.
Awalnya ia memang merasa risih. Tapi Saga bilang untuk mengabaikan saja, di tanggapin juga tambah menjadi.
Sesampainya di kelas ia langsung di sambut dangan Ardan yang sedang memainkan ponselnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
We Are Different
Teen FictionKita memang berbeda, meskipun kita punya wajah yang sama. Semenjak hari itu kita sudah tak sama lagi. Semenjak mereka membuangku. Start ; 7 November 2019