𝙴𝚡t𝚝𝚊𝚗𝚝!

888 157 13
                                    

Dentang waktu akan terus bergulir. Membiarkan hamparan luka menganga. Ratusan rindu mengudara. Jutaan sesak melanda. Dan aku masih berusaha menunggu di persimpangan semesta.

-Panji-

-----------

"Bagaimana dengan Fatimah? Dia sangat baik bukan? Ibu sudah yakin dia sangat cocok untukmu. Apakah kalian sudah saling berbicara banyak? Ibu harap kamu menjaga istrimu dengan baik. Cintai dia sepenuh hatimu."

Suara di seberang telepon begitu bersemangat. Hana benar-benar sangat menyukai menantunya itu. Bahkan tak bosan-bosan ia mengingatkan putranya untuk mencintai menantunya. Panji bahkan tidak tahu harus berkata apa jika ibunya sudah banyak bicara seperti itu. Yang bisa ia lakukan hanya berdehem mendengar dengan saksama.

"Kami baik-baik saja, bu. Tidak usah khawatir."

"Ibu percaya sama kamu, Panji."

Setelah percakapan singkat pagi itu. Panji segera membereskan berkas yang akan ia bawa ke kantor. Baru saja ia ingin keluar dari ruangannya, Fatimah tiba-tiba muncul dengan sebuah kotak berwarna biru.

"Bawalah ini. Aku baru saja membuatnya. Aku hanya khawatir jika kau tidak punya waktu untuk sekadar mencari tempat makan siang," ujar Fatimah tersenyum.

Panji hanya mengangguk paham. Ia segera meraih bekal itu dan menyimpannya di dalam tas. Baru saja lelaki itu hendak pergi, namun tangan lembut Fatimah mencekalnya.

"Ada apa?" tanya Panji.

"Biarkan aku mencium punggung tanganmu. Sekarang ridho kedua orang tuaku sudah berpindah padamu. Maka semoga kau selalu ridho atas diriku," jelas Fatimah langsung mencium punggung tangan suaminya itu.

Panji terdiam. Ia tak tahu harus berbuat apa. Menolak. Itu sama saja membuat masalah. Kali ini biarkan wanita itu melakukan apa yang ia inginkan. Setelah acara mencium punggung tangan itu, Panji segera bergegas pergi. Ia tak mau jika saja Fatimah akan melakukan ritual lain lagi. Baginya menjadi suami-ah tidak. Lebih tepatnya bayangan suami, itu lebih baik, karena sebesar apa pun usaha wanita itu mencari perhatiaannya, ia tetap akan kekeuh dengan penolakannya. Bahwa wanita itu hanya bentuk patuh pada ibunya bukan karena usaha cinta yang ia lakukan. Dan sekali lagi cintanya akan tetap untuk Kirana. Hanya Kirana. Ingat dan hapalkan itu.

Fatimah menatap punggung tegap itu berjalan menjauhinya. Bibirnya mengulum dengan setumpuk harap agar suaminya itu tetap bahagia. Tidak banyak yang wanita itu tuntut dari seorang Panji. Ia hanya berharap keluarga kecilnya akan tetap baik-baik saja dan mereka bisa saling mencintai layaknya suami dan istri. Kemarin, hari ini, hingga seterusnya ia akan berusaha mencintai suaminya itu dengan segenap bisanya.

"Takdir ku adalah kau dan aku adalah takdirmu. Semoga Allah ridho atas penyatuan dua raga kita," gumam Fatimah.

~~~

Setelah meeting dengan kliennya Panji kembali ke ruangannya. Hari ini pekerjaannya cukup padat dan menguras banyak pikiran. Hampir disetiap kegiatan Panji tak pernah absen ia benar-benar bekerja keras untuk kemajuan perusahannya sesuai permintaan ayahnya sebelum beliau tiada. Ia memijit pelipisnya sangat lelah. Detik selanjutnya merebahkan kepalanya ke tumpuan kursi. Ia sejenak memejamkan matanya meminimalisir letihnya setelah hampir tiga jam berusaha melakukan pertemuan yang cukup intens dengan segala konsep menarik yang ia ajukan pada klien-kliennya agar mau bekerja sama dengannya untuk mencapai targetnya memperbanyak cabangnya ke luar negeri.

Melody Embara (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang