Defend!

755 57 4
                                    

Aku tidak tahu, apakah aku mulai lelah atau memang sudah waktunya berhenti. Melihat betapa cinta itu sempurna dalam binar netranya rasanya aku semakin hilang diantara ribuan bintang harapan.

-Fatimah-

-------------

Beberapa menit telah berlalu dengan segala canda yang mengepul di udara. Tawa-tawa itu sukses meluncur dari bibir Kirana dan Panji sesekali dari Aira dan Fatimah. Keempat manusia itu menikmati malam ini dengan jamuan makanan yang sudah diracik sedari tadi.

Namun apa pun yang ada saat ini, itu sama sekali tak bisa membuat Fatimah mengatakan bahwa malam ini adalah malam yang menyenangkan, karena pada kenyataannya adalah ia harus menerima berkali-kali lipat sakit yang menekan dadanya secara brutal. Melihat bagaimana kedekatan Kirana dan Panji malam ini yang terlihat sangat serasi dan romantis membuat dirinya menjadi sangat kecil untuk mengatakan 'Aku baik-baik saja'. Percayalah Fatimah tidak senaif itu. Ia bahkan beberapa kali menunduk hanya untuk memastikan air matanya tak jatuh. Berkali-kali ia coba menahan kecamuk batinnya. Menahan sakit yang mulai merobek-robek hatinya. Apa lagi yang bisa Fatimah lakukan selain menikmati luka malam ini. Membiarkan semesta memporak-porandakan jiwanya yang kelewat lemah. Menyambut nyerih untuk berpesta pora dalam benaknya. Apa lagi yang bisa ia lakukan selain menerima semuanya. Fatimah harus menerima ini, karena ia telah berani mengambil resiko. Resiko mencintai yang pada akhirnya tak pernah bisa dimiliki.

"Apa kau baik-baik saja? Jujur aku sudah mulai muak di sini," bisik Aira dengan nada yang terdengar benci.

Helaan napas berat itu terdengar dari Fatimah. "Aku baik-baik saja. Kita harus tetap di sini. Demi Kirana."

Aira memejamkan matanya. Kenapa Fatimah begitu mempedulikan orang lain saat ia sendiri sekarat. Rasanya ia ingin berteriak pada dua manusia di depannya itu untuk mengatakan bahwa Fatimah sedang sekarat bisakah mereka berdua tidak beradegan mesra! Menjijikan sekali.

"Karena kita sudah menikmati jamuan makan malamnya. Sekarang waktunya kita ke acara kedua yaitu menulis sebait kata mewakili perasaan kita masing-masing malam ini, bagaimana?" ujar Kirana membuat Fatimah dan Aira menoleh dengan ekapresi tak mengerti.

"Maksudnya?"

"Yah kita buat semacam puisi begitu dan setelah menulisnya masing-masing dari kita akan membacanya. Aku ingin malam ini semakin berkesan dengan mendengar ungkapan perasaan kalian."

Kirana begitu bersemangat menjelaskan dengan sesekali menatap Aira dan Fatimah bergantian agar mereka mau mengabulkan permintaannya itu.

"Aku setuju," ujar Panji membuat Fatimah menatapnya dengan pandangan lurus. Panji hanya ingin tahu perasaan macam apa yang akan Fatimah tuangkan dalam tulisannya malam ini.

"Baiklah, karena ini permintaan mu. Aku akan melakukannya." Aira menepuk tangannya sekali dengan mantap. Itu bukan pekerjaan sulit.

"Bagaimana Fatimah? Kau setuju?" tanya Kirana menatap Fatimah yang sedari tadi hanya diam.

"Hah? Eh- iya. Aku setuju." Fatimah tersenyum canggung sebelum Kirana melepaskan senyum manisnya dengan senang.

"Kalau begitu mari kita mulai. Tunggu sebentar aku akan mengambil kertas dan penanya."

Kirana sudah beranjak pergi menyisahkan tiga manusia yang sedang bergelut pada pikiran masing-masing. Aira sudah memikirkan kata-kata yang akan ia tulisan nantinya, Fatimah sendiri malah sibuk menatap bintang di atas langit dengan segala kecamuk batinnya sedang Panji malah sibuk menatap wajah senduh Fatimah dengan perasaan yang kelewat bersalah.

Melody Embara (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang