Candor!

788 61 3
                                    

Jika dengan menghilang membuat semuanya kembali baik, maka ku pastikan akan tetap hilang selamanya. Sungguh aku benar-benar tidak menginginkan ini, menjadi jahat pada orang yang berhati malaikat.

-Kirana-

--------------

Di sudut semesta seorang wanita malang duduk menatap lurus pada kerlap-kerlip lampu yang menerangi rumah penduduk kota. Sangat terang dan indah. Satu helaan napas lolos dari mulutnya dengan lelah. Semilir angin malam sejenak menerpa raganya hingga kelewat dingin lantas ia mendekap tubuhnya mencoba memberikan kehangatan. Langit nampak megah dengan konstelasi bintang disertai bulan sabit yang nampak elegan. Sungguh kolaborasi yang sempurna malam ini.

Namun jauh di dasar jiwanya yang sunyi. Rasanya tidak ada satu pun yang mampu mengatakan ia baik-baik saja, sekali pun semesta menghadirkan berjuta keindahan di malam ini. Namun tetap saja yang ia rasakan pada detik ini pun hanyalah bertubi-tubi luka membasah yang seolah takkan pernah menemui obat penyembuhnya. Nyerih rasanya tatkala segala harap yang sudah diperjuangankan begitu dalam, namun tetap saja tak menemui ujung akhirnya. Semua terasa lamban dan mustahil untuk diraih dan genggam.

Apa lagi yang bisa ia harapkan selain kesabaran dan kekuatan. Ia bahkan hampir tak mampu menahan setiap hantaman mematikan pada batinnya yang bertubi-tubi datang. Bahu ringkihnya terdengar malang dengan lirihan kecil yang sanggup meruntuhkan segala pertahanannya malam ini juga. Di sudut paling senyap itu, ia terisak dalam diamnya, menangisi kemalangan dirinya yang bahkan sampai saat ini belum mampu merebut seinci pun dari cinta lelakinya. Seolah perjuangannya hanyalah sia-sia yang takkan pernah ada artinya.

"Apa lagi yang harus aku lakukan, Ya Allah?" lirihnya dengan menundukkan kepala menatap rumput hijau yang terlihat muram seolah ikut merasakan sakitnya.

Dari arah belakang Panji sudah berdiri dengan tatapan yang mengerjab tak kuasa. Matanya bahkan memanas saat melihat bahu ringkih itu bergetar hebat sendirian. Ia telah banyak memahatkan nestapa, duka, air mata dan segala kesakitan untuknya. Benar kata Aira kala itu, ia tidak layak disebut lelaki, karena telah mematahkan hati Fatimah yang bersusah paya meraih cintanya sekali pun di titik paling menyakitkan. Sedang Panji malah menolak dan bahkan memberikan kejelasan pertahanan kokoh bahwa ia tidak peduli apa pun yang Fatimah lakukan untuknya. Dadanya tertekan sesak dengan helaan napas berat ia mencoba memberanikan diri melangkah menuju Fatimah yang masih terisak dalam diamnya.

Ia duduk persis di samping Fatimah sejenak menatap getaran bahu kesedihan yang begitu menyakitkan. Betapa selama ini ia telah melakukan dosa yang mungkin takkan pernah diampuni. Andai ia bisa memutar waktu, maka percayalah bahwa Panji akan berusaha memperbaiki segalanya. Malam ini pun ia bahkan berharap masih bisa memperbaiki semuanya.

"Maafkan aku."

Satu kata lolos dari bibir Panji yang membuat Fatimah mendongakkan kepalanya menatap lelaki yang menjadi alasan tangisnya malam ini makin pecah. Dengan wajah yang kusut oleh tangis, mata yang bengkak serta perasaan yang lelah ia hanya mampu menumpahkan air mata dengan isakan lirih yang sanggup merobek gendang telinga Panji.

"Bi .... Sa ... Kah-" Ucapan itu terpotong sebab Fatimah tak kuasa melanjutkannya. Sungguh ia benar-benar sekarat sekarang. Tak kuasa lagi ia menahan gejolak sakit yang meradang dalam hatinya. Ia benar-benar hampir menyerah sekarang tepat di hadapan lelaki yang selalu ia harapkan cintanya.

Panji kemudian meraih tubuh Fatimah dan mendekapnya. Ia menenggelamkanya dalam bidang dadanya mencoba memberikan ketenangan absolut untuk sedikit meredahkan luka yang kian membara itu dalam jiwa Fatimah. Dengan tulus ia mengecup puncak kepala istrinya bersama linangan air mata. Betapa ia telah banyak menggoreskan luka pada Fatimah hingga gadis itu harus banyak menelan sakit yang tak terkira. Kecamuk batinnya kian membara disertai hantaman-hantaman batu yang kian menekan dadanya penuh bersalah. Panji kini memahami segalanya bahwa selama ini ia telah banyak melakukan dosa pada satu wanita yang begitu baik dan sabar untuknya. Ia telah gagal menjadi laki-laki sebagaimana pesan Ayahnya dahulu untuk selalu menghargai setiap wanita, karena darinya segala kehidupan itu ada atas kehendak Pencipta. Ia telah gagal menjadi apa yang Ayahnya harapkan. Ia benar-benar brengsek dan mungkin takkan pernah bisa dimaafkan.

Melody Embara (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang