𝙴𝚗𝚎𝚛𝚟𝚊𝚝𝚎!

616 87 2
                                    

Seberapa keras ombak menghantam karang. Maka tetap saja ia akan diam dengan segala kekuatannya bertahan. Sama seperti diriku yang bahkan jika pun dikoyak ratusan kali untuk patah, maka tetap saja tidak bisa. Aku masih ingin berjuang dan bertahan.

-Fatimah-

-------------


Seulas kurva itu tertarik nyaris tanpa cela. Tak ada bongkahan kesedihan di sana serta wajah pias yang menghiasi wajahnya. Ia cukup terlihat baik-baik saja, seolah segala hantaman kenyataan yang sedang ia perankan hanyalah mimpi buruknya tanpa perlu dikhawatirkan datangnya. Pagi ini Fatimah sudah bersiap-siap untuk keluar rumah.

Tepat setelah sholat subuh seseorang telah mengirim pesan padanya dan mengajaknya bertemu di salah satu kafetaria dekat Kota Tua. Setelah dirasa siap, maka detik selanjutnya kaki wanita itu mengayun ringan menuju pintu utama. Namun belum juga sempat membuka seseorang sudah lebih dulu membukanya. Dua pasang netra itu bertemu sepersekian detik sebelum Panji memutuskan lebih dulu.

"Mau kemana?"-kata pertama yang keluar dari bibir Panji tatkala netranya mendapati sang istri sudah sangat rapi.

"Aku ingin ke Kafetaria. Seseorang sedang menunggu di sana."

"Kau mau pergi, tapi tak meminta izin pada suami?" Panji menelisik wanita di depannya itu yang bungkam.

"Aku tadi sudah mengirimkan mu pesan dan mencoba menelfon mu, tapi sepertinya ponselmu tidak aktif."

Panji terlihat melebarkan mulutnya setengah terkejut. Ia bahkan lupa satu fakta bahwa ungkapan Fatimah benar. Semalaman Panji sengaja menonaktifkan ponselnya hanya untuk menemani Kirana tanpa perlu diganggu. Rasanya ia ingin menertawai dirinya yang seolah menuntut pada Fatimah hanya karena tak meminta izin padanya lantas dirinya sendiri malah sibuk dengan wanita lain. Benar-benar brengsek!

"Kau ingin bertemu dengan siapa?"

"Sahabatku. Dia kemarin malam baru saja tiba di Indonesia."

"Lelaki?"

"Bukan. Dia Wanita. Teman masa kecilku."

Panji mengulum senyumnya sejenak lantas berujar. "Baiklah. Temui teman kecilmu itu. Ku rasa kau juga butuh refresing. Kau terlalu banyak menghabiskan waktu di dalam rumah. Pergilah, semoga hari-harimu menyenangkan."

Panji menepuk pundak Fatimah lantas berlalu pergi. Tidak ada balasan yang pasti dari pihak wanita yang ada hanya seulas kurva yang terlihat getir. Hanya melihat hazel itu sudah sukses membuat pertahanannya rapuh. Fatimah hampir saja kehilangan kendali tatkala suara madu itu menggemah di telinganya sekali lagi.

"Apa perlu ku antar?"

Fatimah sejenak diam dengan satu helaan napas. "Tidak usah. Aku naik taxi saja. Lagi pula kau baru saja pulang. Istirahatlah dan jika kau lapar aku sudah menyiapkan makanan di meja."

"Baiklah. Jaga dirimu baik-baik. Jika sudah selesai pulanglah segera. Jika ada sesuatu hubungi aku yah."

Andai saja ungkapan itu benar-benar tulus, maka Fatimah tentu akan menyahutinya dengan sangat antusias. Merasa bahagia karena begitu dipedulikan oleh sang suami. Namun itu hanya sebuah utopia yang selalu menjadi harapan-harapan Fatimah setiap harinya. Berharap segala atensi dan perlakuan Panji memang nyata untuknya. Tidak dengan segala kebohongan yang begitu dipaksakan. Harusnya ia bisa merasakan desiran-desiran yang sempat hadir menggelitik hatinya tatkala secuil perhatian itu menguar, tapi sekarang semua seolah tidak lagi sama. Fatimah tahu kebenaran yang sebenarnya. Ia akan segera disingkirkan. Tidak tahu kapan, di mana dan bagaimana, tapi tulisan itu sudah menjelaskan posisinya yang sudah siap dijatuhkan ke jurang paling menyakitkan.

Melody Embara (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang