Sedikit saja, biarkan aku menghirup udaraku dengan baik. Sebentar saja, biarkan aku menikmati legahnya semesta yang terasa penuh sesak ini. Bisakah?
-Panji-
Fatimah terbangun dari tidurnya. Jam masih menunjuk pukul dua. Ia menoleh ke arah samping dan tidak mendapati presensi Panji di sana. Wanita itu menghela napas berat. Sekali lagi setelah sebulan pernikahan mereka, lelaki itu bahkan jarang bersamanya di kamar luas ini. Sejenak ia terdiam, namun detik selanjutnya menyibak selimutnya menjauh dari ranjang menuju pintu keluar.
Ia lantas mencari Panji. Fatimah tahu bahwa suaminya itu pasti berada di ruang kerjanya. Selalu saja begitu. Panji akan selalu menjadikan alasan ruangan itu agar tak tidur di kamar. Katanya ia sedang sibuk mengurus segala keperluan kantor. Selama itu? Batin Fatimah. Hampir setiap waktu ia menunggu suaminya itu untuk sekadar bercakap-cakap dengannya. Setidaknya sebentar saja, namun lelaki itu bahkan tak pernah sempat. Seolah Fatimah tak pernah ada di pelupuk matanya. Sangat nihil melihat keberadaannya.
Fatimah mencoba mengetuk pintu. Namun, tak ada jawaban. Ia lantas memutar knop pintunya dan ternyata tidak dikunci. Ia masuk dengan sangat pelan. Fatimah tak mau mengagetkan Panji jikalau suaminya itu sedang fokus bekerja atau sudah pulas tertidur. Ia membiarkan pintu itu terbuka. Ruangan itu sangat gelap bahkan hampir ia tak melihat apa pun di dalamnya. Fatimah segera menyalakan lampu dan seketika matanya langsung menangkap suaminya yang tengah tertidur pulas di atas meja kerjanya dengan beberapa berkas yang berantakan.
Fatimah sekali lagi menghela napas.
" Kau sudah tidur rupanya."
Ia segera mendekati Panji dan memapah lelaki itu untuk pergi ke kamar. Ia menuntunnya dengan sangat hati-hati agar Panji tak terbangun dari tidurnya. Setelahnya ia segera merebahkan tubuh Panji dan memperbaiki posisi tidurnya serta menyelimutinya. Fatimah terduduk di lantai tepat di sebelah suaminya yang begitu pulas. Ia menatap wajah tegas nan suram itu dengan hati yang mencelos. Bagaimana pun juga lelaki itu adalah suaminya, lelaki yang telah mempersaksikan janjinya kepada keluarganya dan dirinya untuk menjaga dan melindunginya. Sekali pun hingga saat ini cinta yang sudah bersemi dalam relung hatinya belum nampak sempurna balasannya.
"Kau terlihat letih sekali. Betapa matamu selalu memancarkan kecemasan. Aku tidak mengerti cara pandangmu padaku, tapi aku selalu percaya kau juga sedang berusaha memahamiku bukan? Semoga hari-harimu selalu baik. Aku akan selalu berusaha di sampingmu sebisaku, jadi ku mohon untuk tetap di sini bersamaku, Panji."
Fatimah mengelus puncak kepala suaminya itu penuh cinta. Ia mengecup kening Panji begitu dalam setelahnya ia mengambil air wudhu untuk melaksanakan sholat.
---
Pagi sekali Panji sudah rapi saja dengan pakaian casualnya dilengkapi jaket tebalnya hendak pergi. Fatimah yang melihat itu langsung menghampirinya.
"Pagi-pagi begini mau kemana?"
"Aku mau menikmati udara pagi sebentar. Sudah lama juga aku tidak joging," balas Panji yang masih menatap dirinya di depan cermin.
Fatimah hanya mengangguk. Setelah itu membersihkan kamar. Panji lantas beranjak dari kamar dengan berpamitan pada Fatimah. Langkah cepat Panji membuat Fatimah tak sempat menciumi punggung tangannya seperti kebiasaannya selama ini. Lagi-lagi ia harus merasa sesak dengan segala sikap seorang Panji.
Panji sudah berjalan santai di lorong komplek rumahnya. Udara pagi itu cukup dingin hingga membuat kepulan asap menguar dari dalam mulutnya. Lelaki itu tidak hanya sekadar joging saja, melainkan menikmati jejak-jejak kisah bersama wanita yang ia cintai. Sebelum kehilangan menimpanya, ia selalu menyempatkan diri berjalan-jalan santai sepagi ini bersama Kirana. Wanita itu selalu menyempatkan untuk joging pagi menikmati udara yang menyejukkan jiwa. Sepagi ini pun ia akan selalu disuguhkan senyum paling terbaik dari orang terkasihnya. Kirana benar-benar memberikan kenangan paling membekas dalam hidupnya. Sejumput harap kembali menguar dalam benaknya. Menanti temu yang selalu ia tunggu singgahnya. Menunggu ketidakmungkinan itu hilang di antara ribuan euforia. Ia benar-benar menantikan pertemuan yang sekarang hanya menjadi utopianya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melody Embara (Complete)
Acak❝Bilur itu serempak menganga tatkala semesta menyatukan dua raga yang hampir sama terlukanya. Jika Panji selalu memilih penolakan hanya demi masa lalunya, maka percayalah Fatimah memastikan akan tetap bertahan untuk biduk rumah tangganya. Sekali pun...