Andai suatu saat nanti aku benar-benar dihilangkan, maka aku berharap saat itu aku mampu bertahan dan tegar untuk tetap bangkit dan berjalan.
-Fatimah-
-------------
Fatimah menghela napas sedikit legah. Ia masih bersyukur untuk pagi ini, karena masih diberi kesempatan menghirup udara pagi dengan baik. Setidaknya ini cukup mampu meminimalisir rasa sakitnya. Untuk Aira ia takkan menampakkan lukanya, karena ia tahu konsekuensi apa yang akan ia terima jika gadis itu mengetahui bagaimana sakitnya ia mempertahankan rumah tangganya yang tak pernah bahagia.
"Fatimaaah!" seru wanita paruh baya dengan girangnya langsung memeluk Fatimah begitu hangat dan melanjutkan, "Sudah lama sekali ibu tidak melihatmu. Maaf yah, saat pernikahanmu ibu tidak sempat hadir."
"Tidak apa-apa kok, Bu. Di doakan saja aku sudah sangat bersyukur."
"Alhamdulillah. Wah tapi ngomong-ngomong setelah menikah Fatimah makin cantik saja," puji Ibu Aira membuat Aira mendengus.
"Oh jadi gitu, giliran Fatimah dipuji-puji, terus apa kabar sama anak sendiri yang sempat dikatain mirip induk sapi? Duh rasanya ingin sekali diriku berteriak," celetuk Aira membuat Ibu dan Fatimah malah tertawa terbahak-bahak.
"Gini nih kalau jombloh selalu saja disakiti," lanjut Aira semakin terlihat menyedihkan.
"Makanya cepat-cepat nikah biar ada yang ngurus kayak Fatimah," ujar Ibunya masih tertawa sedang Fatimah hanya mengulum senyum.
"Ibu sok-sok-an suruh aku nikah, giliran ditinggal ke Korea aja harus dibujuk berkali-kali. Itu mau nyuruh aku nikah," sergah Aira sengit.
"Eh, itukan dulu. Sekarang ibu sudah ikhlas lahir batin kalau ada yang mau melamar kamu. Biar ibu bisa tidur tenang tanpa perlu diganggu hanya untuk ngantar kamu ke kamar mandi," balas Ibunya dan menoleh kepada Fatimah melanjutkan, "kau tahu Fatimah? Aira ini orangnya penakut loh. Takut pergi kamar mandi sendirian."
"Benarkah?"
"Eh-eh, siapa bilang. Ibu, Ih! Jangan dengarkan ibuku. Ibuku kadang memberi informasi yang kurang dipercaya, jangan termakan sama hoaxnya. Ibu bisa dipidana loh karena sudah menjatuhkan harga diri anak sendiri," ucap Aira membela diri membuat Ibunya makin menanggapinya dengan lawakan dan Fatimah sendiri tak henti-hentinya tertawa.
Setelah konversasi ringan dan lucu itu, Aira mengajak Fatimah keluar jalan-jalan. Ia perlu melakukan ini bersama Fatimah, berdua sekadar menikmati udara dan alam semesta yang indah, karena sudah lama sekali dua sahabat itu tidak melakukan ini bersama-sama. Terakhir kali menghabiskan waktu bersama saat kelulusan SMA sebelum Aira memutuskan kuliah S1 di Singapura dan meninggalkan Fatimah yang lebih memilih kuliah di dalam negeri.
"Oh, iya Fatimah. Kemarin itu siapa? Dia sepertinya sangat mengenalmu? Dia temanmu?"
Mendengar itu sontak membuat lamunan Fatimah buyar. "Hah?"
Aira menghela napas lantas menoleh menatap sahabatnya itu. "Kau melamun lagi rupanya."
"Eh, maaf. Kau tadi bilang apa?"
"Kirana, siapa dia? Apa dia temanmu saat kuliah?"
Tiba-tiba saja dada Fatimah menyesak mendengar nama itu. Ia lantas berusaha tersenyum dengan sedikit tertawa terlihat sangat dipaksakan. "Bukan. Aku bertemu dengannya beberapa bulan yang lalu. Kami berkenalan dan begitulah."
"Begitu yah, tapi btw dia itu sangat ramah sekali. Aku saja yang baru kenalan dengan dia kemarin terasa seperti sudah kenal sejak lama. Dia benar-benar bersahabat dan baik," puji Aira membayangkan Kirana dan itu cukup membuat hati Fatimah nyerih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melody Embara (Complete)
De Todo❝Bilur itu serempak menganga tatkala semesta menyatukan dua raga yang hampir sama terlukanya. Jika Panji selalu memilih penolakan hanya demi masa lalunya, maka percayalah Fatimah memastikan akan tetap bertahan untuk biduk rumah tangganya. Sekali pun...