𝚅𝚎𝚛𝚊𝚌𝚒𝚝𝚢!

611 87 10
                                    

Cinta tidak harus dipaksakan. Tanpa dimiliki pun ia akan tetap baik-baik saja. Jadi simpanlah baik-baik cintamu untuk orang yang lebih tepat dan sungguh mencintaimu. Bukan aku.

-Panji-

----------


Surya cukup hangat pagi ini ditambah lagi dengan segala kemustahilan yang sempat terngiyang di pikiran Fatimah pada malam-malam panjang yang sempat membuatnya terpuruk. Kini sebagaimana hatinya melegah, presensi yang selalu ia amat tunggu hadirnya itu ada di depan matanya. Tak lagi beranjak sebagaimana sebelumnya yang harus membuat air matanya tumpah. Panji benar-benar nyata sekarang dalam bidikan matanya. Bahkan lebih dari itu senyum madu yang selalu ia impikan hadir dalam netranya kini nyata dalam pandangannya. Lelaki itu bahkan beberapa kali membuat hatinya berdebar tak karuan, hanya karena atensi Panji terus memandangnya lekat.

"Apa perlu aku bantu?"

Kata pertama yang meluncur dari bibir Panji setelah sepuluh menit berlalu tanpa adanya konversasi. Fatimah sejenak menoleh dengan kegugupannya.

"Tidak usah. Aku bisa mengerjakannya sendiri. Lagi pula ini adalah tugasku, jadi tidak masalah jika aku mengerjakannya sendiri."

Tak mendapat jawaban setelah itu tak lantas membuat Fatimah legah, karena setelahnya tangan kekar itu malah memeluknya dari belakang tanpa disangka-sangka dengan menumpuhkan dagunya pada pundak Fatimah begitu tenang. Hingga yang terdengar hanya hembusan napas yang sedikit resah. Fatimah berusaha menahan keterkejutannya. Ia mencoba terlihat baik-baik saja dengan posisi ini. Mencoba meminimalisir desiran yang kian membuncah tak karuan dalam hatinya.

Semoga ini adalah pertanda baik, Ya Allah. Batin Fatimah dengan segala kekhawatirannya.

"Kenapa diam? Lanjutkan saja pekerjaanmu. Aku hanya perlu di sini sebentar melihat aktivitasmu yang sempat ku abaikan."

Fatimah kembali dengan senyum getirnya. Ia berusaha menahan sesak yang hampir saja mengalihkan desiran bahagianya sebelum lelaki itu melanjutkan dengan suara yang kian melembut dan itu terdengar tulus.

"Setidaknya sekarang aku ada di sini. Bersamamu dan melihat semua yang kau lakukan dengan begitu sempurna."

Seulas senyum tertarik begitu bahagia. Panji memang selalu mampu menamatkan resahnya hanya dengan segala perhatian dan ucapan manisnya. Fatimah bahkan harus dibuat lupa pada posisi yang sedang Panji buatkan untuknya. Sebatas istri yang tak mampu meraih cinta sang suami.

"Sebaikanya kau duduk saja. Kalau kau memelukku begini, aku malah tidak bisa melakukan apa-apa sama sekali."

Panji diam sejenak sebelum tangan kekar itu terlepas dari pinggang Fatimah. Sesaat Fatimah boleh legah, tapi detik berikutnya ia kembali dikejutkan dengan kecupan pertama yang mendarat pada pipinya hangat. Apa yang bisa ia lakukan sekarang selain berdebar-debar. Perlakukan Panji sangat-sangat tidak diduga. Fatimah bahkan harus beberapa kali mengatur napas menahan segala desiran yang menggelitik hati dan perutnya.

"Bekerjalah. Aku akan menunggumu di sofa. Aku tunggu makanan terbaikmu."

Setelah kata itu diucap, Panji bergegas menjauh dan mendudukkan dirinya di sofa yang tak jauh dari tempat Fatimah yang bergelut dengan bahan-bahan makanan.

Masih dengan debaran-debarannya Fatimah terus bekerja. Walau sesekali melirik pada presensi suaminya yang bahkan sudah bertumpuh dagu menatapnya tanpa beranjak itu semakin membuat Fatimah kikuk setengah mati dan sukses membuat Panji melipat bibirnya ke dalam menahan tawa.

Pagi itu semua terasa baik-baik saja. Indah dan bahagia. Setidaknya Fatimah bisa kembali hidup dari hari-hari sebelumnya yang terasa suram.

****

Melody Embara (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang