Hanya perlu membiasakan
Menerima luka, lalu menikmatinya
Sampai aku lupa caranya untuk tertawa.-Fatimah-
----------
Fatimah menikmati semilir angin malam di balkon. Ia kembali menatap gedung-gedung di seberang sana yang berkelap-kelip sangat indah. Malam ini tidak ada bintang mau pun bulan yang biasa menghiasi langit hingga terlihat menarik. Langit nampak kelompang hanya menyisahkan warna hitam yang terlihat hampa. Persis seperti hatinya.
Malam yang selalu memberikan sesak yang tak bersudah. Malam yang terasa sangat panjang ngilunya. Fatimah memejamkan matanya dalam mencoba menikmati segala tusukan-tusukan jarum tajam yang selalu memadati batinnya. Hanya perlu membiasakan-hingga ia lupa rasanya bahagia. Hingga ia bisa siap menerima dirinya yang akan terhempas jauh dari kehidupan Panji. Selamanya.
"Aku kira kau pergi lagi. Ternyata kau di sini."
Sekali lagi Panji menemukannya di sini. Sekali lagi dengan perasaan yang sama. Masih terluka dan menyesakkan dada.
"Kau suka sekali yah di sini."
Panji meletakkan kedua tangannya di pembatas tepat di sebelah Fatimah yang sudah kembali menatap langit malam.
"Iya, karena hanya tempat ini yang bisa membuatku sedikit lebih tenang saat tidak ada orang yang bisa ku ajak berbicara."
Ungkapan itu sukses membuat Panji menoleh dengan sedikit terkejut pada Fatimah. Hatinya mencelos. Entah kenapa ia merasa ucapan itu menyinggung dirinya sendiri. Sejenak Fatimah pun ikut menoleh menatap dari samping wajah tegas itu yang sudah menengadah menatap langit dengan guratan resah. Ia tidak tahu apa yang sedang lelaki itu pikirkan. Yang jelas Panji nampak seperti sedang memikirkan sesuatu. Namun tiba-tiba pikiran Fatimah menerawang jauh hingga tercetaklah senyum getir yang menyedihkan itu tepat saat bayangan Kirana melintasi pikirannya. Sepertinya ia sedang memikirkan wanitanya. Fatimah tahu itu. Dengan sedikit gugup wanita itu lantas mencoba memulai konversasi malam ini dengan segala kecamuk perasaannya.
"Panji?"
"Iya?" jawab Panji tanpa menoleh.
"Apa aku boleh bertanya sesuatu?"
"Katakan saja."
"Menurutmu apa itu jarak?"
Panji sejenak menoleh dengan menelisik Fatimah yang tiba-tiba menanyainya dengan pertanyaan tak biasa. Namun ia pun tetap menjawab dengan tenang.
"Jarak. Hmmm ... bagiku jarak itu adalah ruang kosong yang tidak bisa diraih, sebab terdapat sekat-sekat yang membuat kita terasa jauh. Yah, tapi aku tidak tahu pasti apakah jawaban ku ini benar atau tidak. Aku hanya berusaha menjawab sesuai pengetahuanku."
"Apa aku bisa menjadikan jawaban itu sebagai gambaran dari hubungan kita saat ini?"
Panji sekali lagi menoleh dengan bingung. Ia menelisik wanita itu dalam mencari sesuatu yang janggal sebelum Fatimah ikut menoleh padanya dan membiarkan sepasang netra itu saling bertubrukan begitu dalam. Panji bisa melihat bagaimana nertra hitam legam itu terasa kelam dan muram. Namun tak mampu melihat bagaimana pantulan luka itu sudah membara di dalam jiwanya yang telah mati oleh rasa.
![](https://img.wattpad.com/cover/214337748-288-k403508.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Melody Embara (Complete)
Random❝Bilur itu serempak menganga tatkala semesta menyatukan dua raga yang hampir sama terlukanya. Jika Panji selalu memilih penolakan hanya demi masa lalunya, maka percayalah Fatimah memastikan akan tetap bertahan untuk biduk rumah tangganya. Sekali pun...