Cornered!

944 59 0
                                        

Karena yang terjadi sudah terjadi. Kita tidak  kuasa untuk menghentikan lajunya. Sekarang yang hanya perlu dilakukan adalah memperbaiki yang telah rusak menjadi cerita yang lebih baik.

-Aira-

------------

Nampak guratan kecewa itu di dua wajah yang begitu percaya pada satu sosok yang kini harus menelan segala penyesalan begitu dalam. Farhan menatap lekat pada hazel yang dipenuhi nestapa itu dengan penuh amarah sedang Sari sudah terisak-isak menatap putrinya yang terkulai lemah di atas brankar tanpa sadar. Semua berakhir dengan tumpahan air mata kala Aira mengutaran segala hal yang sudah terjadi dan Panji hanya bisa diam dengan segala rasa bersalahnya.

"Ayah kecewa dengamu Panji. Ayah bahkan sudah menaruh banyak harapan padamu untuk menjaga dan mencintai Fatimah, tapi kamu malah menyia-nyiakan kepercayaan itu dengan membuat Fatimah terluka. Ayah tidak menyangkah kamu bisa sejahat ini," ujar Farhan terlampau kecewa. Ia tidak tahan lagi untuk tidak berkata pada menantunya yang sudah sangat-sangat berani memberikan luka semenyakitkan itu pada putrinya.

"Maafkan aku, Ayah. Maafkan aku."

Satu-satunya kata yang selalu ia lontarkan tatkala harus tersudut bersalah—hanyalah MAAF. Ia tidak punya banyak perbendaharan kata untuk dirangkai dalam penjelasan agar ia bisa membela diri. Bahkan untuk memikirkan pembelaan macam apa yang mesti ia ungkapkan rasanya itu tidak akan pernah bermakna sama sekali, karena sejatinya ia tidak pernah benar di sini. Letak posisinya adalah pelaku yang tidak akan pernah bisa diampuni perbuatannya.

"Jika kamu tidak bisa mencintai atau minimal menjaga putriku harusnya kamu katakan itu diawal sebelum pernikahan terjadi. Harusnya kamu tidak perlu datang menemuinya ... Harusnyaa ..." Sari tak sanggup melanjutkan perkataannya saat ia menyadari bahwa kata 'seharusnya' itu takkan mampu merubah keadan yang sudah terjadi. Putrinya sudah terkulai sekarang dan ia tidak bisa memungkirinya.

"Maafkan aku, Ibu."

Panji tertunduk lesuh. Ia tidak punya kata yang bisa ia lontarkan selain maaf. Hanya itu yang bisa ia hadirkan melalui belahan bibirnya yang sudah bergetar hebat.

"Ayah hanya ingin mengatakan satu hal padamu, Panji. Jika kamu benar-benar tidak bisa menerima Fatimah dalam hidupmu, maka Ayah harap kamu mau segera mengakhiri hubungan ini. Ayah tidak ingin melihat apa pun yang lebih menyakitkan dari ini, cukup sampai di sini Ayah melihat Fatimah terluka, karena walau bagaimana pun setiap Ayah tidak akan pernah tega melihat anaknya disakiti atau dilukai."

Panji mengerjabkan matanya dengan tekanan dada yang makin menyakitkan. Kakinya kebas dengan wajah berat penuh kesedihan. Ia tidak mengerti akan melontarkan jawaban apa selain diam dalam kecamuk hatinya yang merontah sakit.

Apakah dengan pergi dari kehidupan Fatimah akan membuat semuanya kembali baik?

Apakah dengan menghilang dari dunia Fatimah akan membuat semuanya kembali sama?

Apakah dengan mengakhiri hubungan ini akan membuat semua kesakitan yang Fatimah rasakan berakhir dengan tawa bahagia?

Segala pertanyaan muncul di dalam pikirannya. Semua spekulasi yang ia coba bangun untuk membuat dirinya bisa menemukan titik agar bisa memperbaiki segalanya kembali. Ia bahkan rela jika pun harus dienyahkan di dunia ini asal semuanya kembali pada titik awal yang bahagia. Di mana tidak ada air mata, perjuangan menyakitkan, kebohongan, dan kejadian seperti sekarang ini. Panji berharap ini adalah mimpi buruknya di malam hari agar setelah ia membuka mata semua tak pernah benar-benar nyata. Ia berharap semesta mau memihak padanya sejenak saja untuk memastikan ini hanyalah mimpi yang tidak akan pernah terjadi.

Melody Embara (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang