Contrition!

863 58 2
                                    

Aku sudah cukup berjuang bukan?
Kini aku sudah memasrahkan keadaan bahwa apa pun yang terjadi aku ikhlas menerima takdir.

-Fatimah-

------------

Langkah kaki itu memburu bersatu dengan deru napasnya. Air matanya terus mengalir menatap wajah pucat pasih yang tak lagi bergerak itu. Pejaman matanya seolah akan merenggut seluruh jiwa Panji pada lautan bersalah tanpa henti menghantam relung hatinya. Darah mulai mengaliri tangannya dan menempel di bajunya. Suara-suara tangis pecah disusul dengan langkah dua wanita yang juga ikut bersamanya. Rumah sakit nampak sepi, karena ini sudah larut malam. Beberapa asisten dokter yang kebetulan lewat dan melihat kepanikan tiga manusia sedang membawa wanita malang yang tak sadarkan diri itu langsung cekatan bergerak mengambil brankar.

"Letakkan di sini," ucap Asisten dokter itu yang baru saja muncul.

Panji segera meletakkan Fatimah di sana dan mengikuti laju dorongan itu sampai ke ruangan UGD.

"Kalian tunggu di sini. Kami akan menangani pasien," imbuh asisten dokter itu langsung merangsek masuk dengan menutup pintu.

Panji, Kirana dan Aira harus menelan kecewa, karena tak bisa menemani Fatimah sampai ke dalam. Wajah gusar penuh kecemasan dan sedih itu berkecamuk hebat  dalam diri mereka masing-masing.

Aira menoleh pada Panji dengan tatapan nyalang. Ia lantas menunjuk wajah lelaki itu benci.

"Kau harus bertanggungjawab!! Kau yang bertanggung jawab atas semua hal yang terjadi pada Fatimah!! Kau brengsek!!"

"Sudah Aira. Ini bukan waktu yang tepat untuk menyalahkan siapa pun. Fatimah sedang sekarat sekarang, kita harus memikirkan dia. Kesampingkan ego kita masing-masing dulu. Minimal sampai Fatimah sadar. Ku mohon," seru Kirana menengahi. Bukan berarti ia tidak salah di sini, bahkan lebih dari pikirannya sendiri ia merasa tak pantas lagi untuk berada di dekat Fatimah. Kirana merasa semua hal terjadi atas dirinya. Ia tidak pernah memungkiri apa yang terjadi malam ini. Ia bersumpah pada diri sendiri jika Fatimah sadar nanti ia akan segera menghilang dari kehidupan Fatimah agar tak ada lagi rasa bersalah yang menggelayuti hatinya.

Cakrawala mengabung duka. Telihat langit malam kian muram disusul hilangnya bintang-bintang berganti hitam pekat yang hampa seolah akan mengelurkan tetesan hujan di sana. Nampak menyedihkan langit itu seolah peka terhadap memar yang sedang diidap oleh Panji saat ini. Di sudut ruangan berdinding putih tulang itu ia berkali-kali merapalkan brengsek pada dirinya sendiri. Ratusan kali kutukan yang ia lontarkan pada diri sendiri sebab tak mampu menghalau apa yang sudah terjadi. Di ruangan berpetak putih itu nampaklah satu sosok manusia tanpa dosa terbaring lemah tak berdaya disusul dengan bantuan pernapasan yang tak kalah menyayat hati. Kepala yang terbalut khimar itu dikelilingi perban yang terlihat memerah sebab darah yang terus mengalir tanpa henti. Benar kata Aira, ia yang harus bertanggung atas semua hal  yang terjadi pada Fatimah.

Apalagi yang mampu Panji katakan selain kutukan diri? Walau bagaimana pun juga semua yang terjadi berawal dari perbuatannya sendiri. Berawal dari ego yang merangsek masuk pada jiwanya untuk melumpuhkan satu jiwa tak bersalah yang mati-matian berjuang untuknya. Kini segala penyesalan diambang akhir yang menyakitkan. Seolah pintu maaf itu sudah rapat ditutup untuk dirinya bisa masuk.

Di tempat yang sama dua wanita dengan wajah kusut akibat tangis hebat itu menatap Fatimah dari balik jendela kaca. Tetesan-tetesan bulir hangat itu masih setia merebas pada pipi mereka. Sejatinya tak ada yang menginginkan kejadian ini sekali pun Kirana dilanda kalut yang penuh murka pada Fatimah yang tengah berbaring tanpa sadarkan diri. Ia masih punya sisi yang berdetak untuk harapan agar Fatimah bisa segera membuka mata. Ia masih berharap ada keajaiban yang turun dari langit untuk Fatimah yang malang.

Melody Embara (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang