Milly mengerjapkan matanya. Ketika merasakan tepukan halus di pipinya. Perempuan itu menatap Badai yang sedang memangi-manggil namanya. Milly mendudukannya tubuhnya untuk melihat sekelilingnya.
"Dai? Kita dimana?" tanya Milly mengedarkan pandangannya.
"Kita ada di stasuin, Mil. Nanti kita menunggu kereta datang." Badai mengusap peluh di kening Milly.
Angin malam begitu sangat dingin. Milly mengeratkan jaketnya. Bahkan jaket kulitnya tidak mampu menahan dinginnya angin malam. "Kamu kedinginan?" tanya Badai.
Milly menganggukan kepalanya. "Aku cari coffe dulu, ya." ucap Badai tersenyum manis. Sekali lagi, Milly mengangguk.
Badai berdiri lalu berjalan untum membeli coffe. Dari tempat duduknya Milly menatap Badai. Lelaki yang ia kenal selama hampir 19 tahun lamanya. Teman ketika dia dan Badai memasuki bangku kanak-kanak.
Begitu banyak yang di korbankan oleh Badai untuknya. Salah satunya adalah keluarga. Milly merasa bersalah, atas hidup Badai. Badai adalah orang yang paling baik. Berani mengorbankan hidupnya untuk dirinya dan anak dalam kandunganya.
Milly mengusap perut yang masih rata. Usia kandungannya menginjak 3 bulan. Mungkin saja, jika dulu Badai tidak menghalanginya untuk bunuh diri. Dirinya tidak akan menyusahkan Badai.
"Mill?"
"Eh," Milly menghapus air mata yang sempat menetes di pipinya. Badai, lelaki itu sempat melihat air mata Milly.
Badai duduk di tempat duduknya tadi. "Ini coffenya," ucap Badai seraya memberikan cup coffe kepada Milly.
"Terimakasih Dai," sahut Milly dengan senyuman di ujung bibirnya.
Badai memabalas senyuman Milly seraya menganggukan kepalanya. Badai memperhatikan Milly. Perempuan itu melamun lagi.
"Mill, kamu ragu?" tanya Badai sontak membuat Milly menatap kearah Badai.
Milly tersenyum. "Hidup dengan kamu, adalah impian aku, Dai."
Badai menunduk. "Hanya saja, aku merasa tidak pantas. Kamu terlalu baik untuk aku, kamu tidak pantas untuk aku." ucap Milly.
Badai menatap kearah Milly. "Mil?!"
"Dai? Kamu yakin mau hidup denganku? Aku kotor, aku sampah, aku gak pantes buat kamu," ucap Milly.
"Aku gak perduli!" sahut Badai dengan nada di tekankan.
Badai memeluk Milly. Milly menangis di bahu Badai. "Aku sayang sama kamu, mau seburuk apa pun kamu. Aku gak perduli."
Tangisan Milly pecah. Mendengar penuturan dari Badai. Badai melepaskan pelukannya. Lelaki itu mengusap air mata yang membasahi kedua pipi Milly.
"Kita pasti bahagia," ucap Badai mengusap bahu Milly.
Milly tersenyum. Tak berapa lama operator keberangkatan terdengar. Membuat keduanya, berdiri seraya melepar senyum masing-masing.
"Semoga, kita bahagia. Menjemput takdir Kebahagian yang di ciptakan oleh Tuhan..." ucap Milly dalam hati.
***
"Apa!?" tuan Hirosi menatap para bodyguardnya.
"Saya tidak tau tuan. Tadi pagi saya ke kamar non Milly. Tapi non Millynya tidak ada." jelas mbok Sum. Kepala asisten rumah tangga di rumah tuan Hirosi.
Rahang tuan Hirosi mengeras. Menahan amarah yang memuncak. Sementara itu, Ayumi masih terus menangis. Ayumi berdiri lalu berjalan kearah tuan Hirosi.
"Pokonya aku gak mau tau! Kalian harus bisa cari Milly. Kemana pun dia berada. Harus ketemu!" ucap Ayumi kepada para bodyguardnya. Perempuan itu masih saja meneteskan air matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIFFERENT ✔
Short StorySeperti Hal nya Laut Mediterania, dan Laut Atlantik dua air Laut di Teluk Alska yang tak pernah bisa menyatu. Layak nya Katerdal dan Istiqal, hanya mampu bersebrangan tanpa bisa bersatu. Lalu bagaaimana dengan kita? Kita yang berbeda? WARNING!!⚠⚠ C...